Krisis keuangan global 1997 - 1998. Popular disebut “krismon” atau krisis moneter. Bermula dari Thailand, kemudian menyebar cepat ke negara-negara tetangga. Dari Indonesia, Korea Selatan, dan hingga Malaysia, krisis keuangan Asia ini menjadi krisis global ketika fenonena yang sama kemudian juga menghantam Rusia dan Brasil pada 1999, serta disusul Argentina dan Turki pada 2001.
Di Indonesia sendiri diawali jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Bank-bank kehabisan modal karena banyak kredit macet. Sesuai resep IMF, situasi ini berbuntut lahirnya kebijakan penutupan 16 bank swasta nasional. Namun sialnya kebijakan ini ternyata malah berdampak pada kondisi ekonomi yang kian memburuk.
Merujuk artikel Sejarah Bank Indonesia: Moneter Periode 1997 – 1999 yang diterbitkan Bank Indonesia, kala itu depresiasi rupiah bahkan mencapai hingga 600% dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, yaitu dari Rp2.350 menjadi Rp16.650 per 1 USD. Depresiasi terhadap nilai tukar rupiah ini bukan saja berakibat pada terjadinya kelangkaan likuiditas, laju inflasi impor karena kenaikan tajam kurs dolar, dan, lebih dari itu, akhirnya juga berdampak pada kemacetan sektor riil berupa penutupan pabrik-pabrik yang bahan bakunya impor.
Tentu saja, situasi ini memiliki dampak sangat buruk terhadap roda perekonomian, dan sedikit banyak membawa trauma tersendiri. Di sini perlu diingat, bicara krisis keuangan Asia saat itu, yang terjadi di Indonesia ialah yang paling buruk dibandingkan negara lain. Krisis moneter ini bukan saja bermuara pada krisis ekonomi yang berlarut-larut, juga sekaligus memantik krisis sosial-politik dan delegitimasi hingga berujung ambruknya rezim Orde Baru. Kita menyebut fenomena ketika itu sebagai “krisis multidimensional.”
Namun bersama itu tentu saja juga ada banyak pelajaran penting bisa disimak. Antara lain, kini pengawasan terhadap likuiditas sektor perbankan telah diatur secara ketat dan transparan. Ada regulasi yang mengatur kewajiban rasio ketercukupan likuiditas bagi perbankan.
Selain itu, bicara fenomena 'hot money', misalnya, kini aspek tersebut juga telah ditangani secara lebih hati-hati. Pemerintah bukan saja telah membatasi utang jangka pendek pemerintah; memiliki instrumen lindung nilai untuk mengantisipasi volatilitas atau terjadinya penurunan kurs rupiah secara tiba-tiba; ada pembatasan rasio utang pemerintah terhadap PDB; juga tak terkecuali monitoring atas utang swasta yang saat krisis 1997 - 1998 bisa dikata tak diketahui; dan lain sebagainya.
Pembenahan mendasar terhadap sektor moneter dan pasar keuangan ini, sebagai buah pelajaran berharga dari krisis moneter 1997 – 1988, kini setidaknya nisbi telah berhasil dilaksanakan dengan baik. Pertanyaannya ialah apakah indikatornya, sehingga bisa disimpulkan demikian?
Fakta ini setidaknya terlihat ketika ekonomi dunia kembali mengalami krisis global di tahun 2008 – 2009. Disebut banyak ekonom sebagai krisis finansial terburuk di sepanjang 80 tahun terakhir, krisis 2008 - 2009 disebut sebagai “the mother of all crises.”
Krisis berawal dari Amerika dan kemudian meluas ke hampir seluruh belahan dunia. Bursa saham berjatuhan. Perusahaan-perusahaan keuangan multinasional bangkrut. Banyak perusahaan di AS akan melakukan pengurangan pekerja. Tak terkecuali, para investor portofolio di bursa saham pun ramai-ramai menarik dananya. Hampir semua bursa saham di dunia saat itu rontok. Tak pelak, nilai tukar mata uang dari banyak negara di Asia secara simultan juga ikut tumbang satu persatu.
Yang penting dicatat di sini: Indonesia sebagai sebuah perekonomian yang terbuka dan dalam situasi saling ketergantungan antarnegara dan kawasan, maka Indonesia secara alamiah (nature) tentu tidak bakalan sepenuhnya kebal dari penularan dampak guncangan eksternal. Namun perekonomian Indonesia di sepanjang 2008 – 2009, toh masih tercatat tumbuh positif.
Tahun 2008 tumbuh di kisaran 6,01 persen dan 2009 kisaran 4,6 persen. Saat itu pada tingkat regional Asia sendiri, Indonesia bahkan bisa dikata merupakan negara yang mengalami dampak negatif paling ringan dibandingkan negara-negara tetangga lainnya.
Peran pemerintah tentu saja sangatlah besar. Dalam krisis 2008 – 2009 Indonesia dapat terhindar dari situasi keterpurukan halnya krisis 1997 - 1998. Selain memperkuat sektor riil, saat itu pemerintah juga mengeluarkan beberapa Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk mengatasi ancaman krisis keuangan global 2008 – 2009.
Beberapa produk regulasi yang dirumuskan oleh pemerintah sebagai upaya melakukan mitigasi terkait dampak resesi ekonomi global, antara lain ialah Pertama, Perpu No 2/2008 berisi tentang Perubahan Kedua UU No. 23 Tahun 1999 tentang Perubahan atas UU tentang Bank Indonesia. Kedua, Perpu No. 3/2008 tentang Mengubah Nilai Simpanan yang Dijamin Lembaga Penjamin Simpanan. Dan ketiga, Perpu No. 4/2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
Benar, banyak pihak mengatakan, ‘selamat’nya Indonesia dari guncangan krisis keuangan 2008 – 2009 adalah justru dikarenakan minimnya proporsi ekspor terhadap PDB. Indonesia hanya memiliki rasio ekspor atas PDB sebesar 29%.
Sementara itu, bagi negara-negara yang memiliki rasio ekspor terhadap PDB dengan angka tinggi, mudah dipastikan akan serta-merta mengalami kontraksi dan mencatatkan pertumbuhan ekonomi secara negatif. Sebutlah, Singapura yang rasio ekspornya atas PDB mencapai 200 persen, misalnya. Jika pada 2008 masih tercatat tumbuh kisaran 1,78 persen, maka pada 2009 sudah tercatat minus pada angka -0,60 persen.
Penelitian Imam Sugema, Krisis Keuangan Global 2008-2009 dan Implikasinya pada Perekonomian Indonesia juga tiba pada kesimpulan yang serupa. Menurutnya, Indonesia memiliki “keberuntungan yang tidak disengaja” sehingga implikasi resesi global justru tidak berdampak signifikan.
Pertama, Indonesia tidak terlalu bergantung pada ekspor. Nilai pangsa ekspor Indonesia tidak mencapai setengah dari PDB. Kedua, sektor perbankan dan sektor finansial tidak mengalami dampak seberat negara lain karena tingkat kebergantungannya nisbi tidak sedalam negara-negara lain. Ketiga, di samping terkena dampak yang relatif lebih kecil, penurunan indeks bursa saham juga tidak terlalu memberikan pengaruh pada gejolak ekonomi dalam negeri karena pelaku pasar saham hanyalah 0,5% dari penduduk Indonesia.
Dan terakhir atau keempat, fakta lain yang paling menarik dicatat ialah ekonomi Indonesia bisa dikatakan sebagai self sustaining economy. Ini karena Indonesia notabene memiliki potensi pasar domestik yang sangat besar. Adanya potensi pasar domestik ini, bagaimanapun merupakan sebuah keunggulan komparatif tersendiri bagi Indonesia.
Walhasil, sekalipun pasar ekonomi global tengah terkontraksi, sekiranya Indonesia berhasil mengelola permintaan pasar domestik dan menjaga daya beli masyarakat, maka bisa dipastikan Indonesia bakal sanggup mempertahankan stabilitas ekonominya di tengah krisis ekonomi global.
UMKM sebagai Obat Kuat?
Belajar dari serangkaian krisis ekonomi global, fakta lain harus disimak ialah keberadaan UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah). Pasalnya, sejauh ini UMKM merupakan modalitas ekonomi Indonesia saat menghadapi krisis ekonomi global. Skala bisnis di tingkat UMKM ini bukan saja terlihat pejal menghadapi dampak krisis, melainkan juga sanggup survival sebegitu rupa di tengah situasi resesi global. Fenomena ini setidaknya terlihat baik pada momen krisis keuangan global 1997 – 1998 maupun pada momen krisis 2008 – 2009.
Menurut Ketua Dewan Direktur CIDES (Center for Information and Development Studies) Rohmad Hadiwijoyo, sekalipun posisi UMKM nisbi belum signifikan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional, menyimak potret ekonomi selama dua dekade ini, bagaimanapun UMKM telah berperan penting menjadi backbone dan buffer zone yang menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan ekonomi yang semakin dalam.
Data BPS memperlihatkan, pascakrisis ekonomi 1997-1998 jumlah UMKM tidak berkurang, melainkan justru tercatat meningkat terus, bahkan di tahun 2012 tercatat mampu menyerap 85 juta hingga 107 juta tenaga kerja. Pada 2012, jumlah total pengusaha di Indonesia sebanyak 56.539.560 unit. Dari jumlah itu keberadaan UMKM tercatat sebanyak 56.534.592 unit atau 99.99%. Sisanya, sekitar 0,01% atau 4.968 unit adalah usaha besar.
Potret keberadaan jumlah pelaku usaha yang notabene didominasi oleh UMKM masih tercatat sama di tahun 2016 – 2017. Merujuk data dari sumber www.depkop.go.id, total jumlah pelaku usaha di tahun 2016 ialah 61.656.547 unit. Dari jumlah itu, jumlah pelaku usaha untuk kategori UMKM ialah sebesar 61.651.177 unit atau sebesar 99,99 persen.
Menariknya, entitas binis pada skala ini ternyata memiliki serapan tenaga kerja hingga mencapai 112.828.610 jiwa atau sebesar 97,04 persen. Sedangkan sisanya, yaitu 5.370 unit adalah pelaku usaha skala usaha besar atau sebesar 0,01 persen dengan serapan tenaga kerja hanya berkisar 3.444.746 jiwa.
Menariknya lagi, pada 2017, masih dari sumber yang sama, tercatat terjadi kenaikan jumlah pelaku usaha kategori UMKM sebanyak 1.271.440 unit dengan penambahan jumlah serapan tenaga kerja sebanyak 3.844.806 jiwa. Sementara, di sisi lain pelaku usaha skala usaha besar ternyata jumlahnya hanya naik 90 unit menjadi 5.460 unit dengan penambahan total jumlah serapan tenaga kerja sebanyak 142.023 jiwa.
Pertanyaannya ialah, apakah kata kunci yang jadi faktor penentu sehingga membuat unit usaha skala UMKM justru sanggup berlayar di tengah terjangan badai dan gelombang krisis ekonomi global?
Pertama, bicara karakteristik bisnis UMKM umumnya bergerak pada sektor barang konsumsi dan jasa yang notabene dekat dengan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Sehingga meskipun pada derajat tertentu daya beli masyarakat juga merosot seiring terjadinya krisis ekonomi, hal itu tidak berpengaruh banyak terhadap permintaan barang dan jasa yang dihasilkan UMKM.
Kedua, pelaku usaha UMKM secara umum cenderung memanfaatkan sumber daya lokal, baik itu untuk sumber daya manusia atau tenaga kerja, modal, bahan baku, hingga peralatan atau teknologi. Artinya, sebagian besar kebutuhan UMKM tidak mengandalkan barang impor.
Ketiga, pada umumnya bisnis UMKM cenderung tidak ditopang dana pinjaman dari bank, melainkan dari sumber pemodalan sendiri. Sehingga ketika sektor perbankan lazimnya cenderung mengeluarkan kebijakan suku bunga tinggi saat krisis ekonomi terjadi, maka entitas bisnis skala UMKM pun cenderung tidak terpengaruh. (W-1)