Indonesia.go.id - Indonesia Tak Lagi Ekspor Coklat Mentah

Indonesia Tak Lagi Ekspor Coklat Mentah

  • Administrator
  • Jumat, 26 Juli 2019 | 12:24 WIB
KOMODITI
  Biji kakao saat proses penjemuran di Teluk Raya, Kumpeh Hulu, Muarojambi, Jambi, Jumat (19/4/2019). Sumber foto: Antara Foto

Indonesia telah menjadi penyuplai bahan baku kakao terbesar ketiga di dunia.  Dan Indonesia adalah negara unggulan eksportir barang jadi produk untuk kakao.

Indonesia mempunyai potensi yang akan memacu daya saing dalam momentum revolusi Industri 4.0. Potensi itu, antara lain, jumlah angkatan kerja sebagai bonus demografi, permintaan domestik yang besar, pertumbuhan ekonomi yang stabil, memiliki struktur produksi manufaktur yang dalam, serta ketersediaan sumber daya alam yang melimpah. Implementasi peta jalan Making Indonesia 4.0, dan banyak inisiasi yang telah dilakukan oleh pemerintah  juga mendukung penerapan industri 4.0 di sektor industri.

Industri kakao misalnya, salah satu sektor hasil perkebunaan ini memiliki potensi pertumbuhan yang besar di Indonesia karena didukung oleh sumber daya pertanian yang berlimpah dan permintaan domestik yang besar.

Menurut data BPS, sepanjang 2018, nilai ekspor lemak dan minyak kakao mencapai USD824,05 juta. Indonesia telah menjadi penyuplai bahan baku kakao terbesar ketiga di dunia. Diharapkan, di masa depan, Indonesia bisa menjadi negara unggulan eksportir barang jadi produk kakao, bukan lagi eksportir bahan baku.

Sementara itu, Jaringan Perguruan Tinggi untuk Pengembangan Ekspor Indonesia atau University Network for Indonesia Export Development (UNIED) memprediksi, nilai ekspor kakao tahun ini akan  tumbuh 8,3 persen dibanding tahun lalu.

Faktor utama dari peningkatan tersebut adalah permintaan dari Amerika Serikat terhadap produk lemak atau minyak kakao yang terus tumbuh. Diketahui, Paman Negeri Sam merupakan pasar utama kakao Indonesia. Persentase mencapai 27 persen.

Pada 2018, ekspor kakao Indonesia ke AS tumbuh 6,7 persen menjadi sekitar 324 juta dolar AS, seiring tingginya permintaan terhadap produk lemak atau minyak kakao. Pada tahun ini, pertumbuhan ke Amerika masih tetap terjadi hingga 16,2 persen.

Setelah AS, Malaysia menjadi pasar utama kedua dari komoditas kakao Indonesia dengan persentase sekitar 17 persen. Tapi, menurut data yang diolah UNIED, pertumbuhan tersebut terus mengalami penurnan sejak 2017. Pada tahun ini, penurunan diprediksi terjadi sekitar 1,70 persen, dari 189,19 juta dolar AS pada 2018 menjadi 185,98 juta dolar AS di tahun ini.

Selain itu juga terjadi peningkatan ekspor ke pasar-pasar non tradisional untuk komoditas kakao. Di antaranya, ke Cina, terutama untuk produk pasta kakao. Sementara itu di Belanda menjadi pasar alternatif lain dari produk lemak atau minyak kakao dan India menjadi importir untuk biji kakao saja. 

Peran ekspor ke ketiga negara ini cukup besar karena berkontribusi hampir 20 persen ekspor kakao nasional.

Potensi kakao sebagai komoditas ekspor unggulan, menurut UNIED, telah bergeser dari biji kakao menjadi lemak atau minyak kakao. Minyak kakao menjadi jenis produk kakao dengan nilai ekspor tertinggi pada 2017 dengan nilai mencapai USD 681 juta.

Hingga September 2018, akumulasi nilai ekspor minyak kakao telah mencapai USD603 juta.

Selain itu, minyak kakao menjadi produk kakao dengan daya saing tertinggi di antara jenis produk lainnya. Hal ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata Revealed Symmetric Comparative Advantage (RSCA) sebesar 0,85.

Dan, Indonesia menjadi negara kedua dengan daya saing ekspor minyak kakao tertinggi di dunia setelah Belanda.

UNIED mencatat, daya saing biji kakao Indonesia menurun drastis sejak penerapan adanya Bea Keluar (BK). Pada tahun 2017, nilai RSCA biji kakao Indonesia sebesar -0,27 yang berarti Indonesia tidak kompetitif dalam mengekspor biji kakao.

Firdaus mengatakan, konsumsi kakao dunia pada 2017 sebesar 4,5 juta Metriks Ton (MT). Sementara, ekspor kakao Indonesia sempat mengalami penurunan 9,59% menjadi USD1,12 juta pada 2017.

"Namun hingga November 2018, nilai ekspor kakao tumbuh cukup baik sebesar 10,39% dibandingkan tahun lalu," kata Muhammad Firdaus, seorang peneliti di UNIED.

"Walaupun secara rata-rata lima tahun terakhir masih positif sebesar 0,18, namun dengan tren ekspor biji kakao yang terus menurun UNIED memperkirakan daya saing biji kakao Indonesia juga akan terus menurun di tahun-tahun mendatang," terang Firdaus.

Proyeksi harga yang stabil juga membuat nilai ekspor kakao Indonesia tumbuh moderat di tahun 2019. Posisi terakhir harga kakao di awal tahun 2019 sebesar 2.394 per MT yang sudah berlangsung sejak akhir 2018. Penyebabnya, permintaan tinggi dari perayaan Natal dan Tahun Baru.

Firdaus memperkirakan, harga kakao di tahun 2019 diprediksi lebih stabil dibandingkan tahun 2018. Pada kuartal I hingga kuartal II diperkirakan harga akan cenderung menurun yang diakibatkan oleh meningkatnya pasokan kakao dari negara-negara Afrika.

Tapi, mulai masuk kuartal III, harga kakao diperkirakan akan mulai meningkat seiring adanya ekspektasi cuaca yang kurang baik yang dapat mengganggu pasokan dunia.

Sepanjang tahun lalu, tercatat pertumbuhan ekspor Indonesia semua komoditi baru mencapai 6,48%. Tahun ini pemerintah menargetkan ekspor mampu tumbuh mencapai 7% terhadap produk domestik bruto (PDB). (E-2)