Menteri Riset Teknologi dan Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (Menristek/Kepala BRIN) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan dalam persaingan kendaraan listrik global, Indonesia akan memulai usaha pengembangan kendaraan listrik dari sepeda motor listrik (GESITS) dan baterai listrik. Menteri Bambang memiliki target Indonesia mampu memproduksi dua juta motor listrik pada 2025. Prioritas ini sesuai dengan kebutuhan kendaraan di tengah masyarakat.
Bambang mengungkapkan dalam bersaing dengan negara lain di sektor kendaraan listrik, Indonesia tidak harus memulai dari kendaraan listrik berbentuk mobil pribadi, walaupun Indonesia akan tetap menuju ke sana. “Tentu saja ini ambisius, tapi ada kompetisi saat ini pada revolusi industri keempat, kita perlu ada 'lompatan katak'," kata Bambang.
Presiden Joko Widodo dalam pidato penyampaian visinya beberapa waktu lalu mengatakan akan berfokus pada pengembangan teknologi dan digital seperti yang dilakukan India dalam upaya loncat kataknya (leapfrog). Istilah loncat katak ini kerap digunakan untuk menggambarkan “lompatan” yang dilakukan negara tersebut dari ekonomi pertanian ke ekonomi digital.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1575870716_DATA_BPS.JPG" style="height:238px; width:812px" />Berdasarkan data BPS, perkembangan jumlah sepeda motor di Indonesia tahun 2017 mencapai 113 juta kendaraan, jauh di atas mobil di angka 15 juta kendaraan.Sumber: BPS
Data beberapa tahun terakhir, menyebutkan bahwa Indonesia mengkonsumsi sepeda motor lebih banyak daripada mobil penumpang. Oleh sebab itu industri kendaraan listrik Indonesia kelak akan difokuskan pada kendaraan motor listrik. Pemerintah pasang target pada 2025 lebih dari dua juta dan pada 2050 sebanyak tiga belas juta (motor listrik). “Jadi semuanya harus disiapkan,” ungkap Menristek/Kepala BRIN Bambang, saat menjadi pembicara utama pada ‘Electric Vehicles Indonesia Forum and Exhibition yang diadakan’ oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) di The Tribrata di Kebayoran Baru, Jakarta beberapa waktu lalu.
Sepanjang semester pertama (Januari-Juni) tahun 2019, Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) mencatat penjualan mobil di Indonesia (wholesales) mengalami penurunan cukup signifikan yakni 13 persen dibanding periode sama tahun lalu (481.577 unit dari 553.651 unit). Tapi berbeda dengan pasar sepeda motor. Mengutip data Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), pada periode yang sama penjualan sepeda motor naik 7,4 persen dibanding pencapaiannya tahun lalu. Pada periode Januari-Juni 2019 sudah ada 3.226.619 unit sepeda motor baru yang dikirim ke diler, sedangkan tahun sebelumnya hanya 3.002.753 unit. Maka dapat disebutkan peredaran motor baru lima kali lipat lebih banyak dibanding mobil.
Salah satu kunci agar Indonesia dapat bersaing di persaingan industri kendaraan listrik global, menurut Bambang, adalah dengan menciptakan ekosistem yang baik bagi pengembangan kendaraan listrik, mulai dari regulasi yang mendukung bagi iklim kendaraan listrik, riset dan inovasi kendaraan listrik, ‘grand design’ pengembangan kendaraan listrik hingga hilirisasi di dunia industri (triple helix). Pengembangan industri kendaraan listrik harus bersifat menyeluruh, tidak hanya produk akhir berupa motor atau mobil listrik, juga komponen-komponen penting bagi kendaraan listrik. Lompatan yang diambil pemerintah dimulai dari suku cadang dan baterai karena semua kendaraan listrik di Indonesia dan luar negeri pasti membutuhkan suku cadang dan baterai.
“Tidak ada mobil tanpa mesin. Tidak ada mobil listrik tanpa baterai dan tidak ada mobil tanpa ‘spare parts’ yang banyak, jadi kita juga perlu kembangkan ekosistem dari kendaraan listrik, termasuk industri suku cadang dan baterai,” ungkap Bambang Brodjonegoro.
Pemerintah saat ini mendorong banyak lembaga penelitian untuk mengembangkan baterai kendaraan listrik, terutama pengembangan baterai lithium dengan bahan mineral nikel yang banyak ditemukan di Indonesia. Para peneliti di perguruan tinggi ini mulai mengembangkan produk baterai lithium. Juga Pertamina, LIPI, dan juga anak perusahaan dari PLN, PT Indonesia Power, juga mengembangkan baterai kendaraan listrik.
Selain motor listrik dan baterai saat ini lima perguruan tinggi sedang mengembangkan bus listrik, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan Universitas Sebelas Maret (UNS).
Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri atau Kadin Indonesia Johnny Darmawan mengatakan Tiongkok telah berhasil mengaplikasikan sepeda motor dengan tenaga listrik. Dia yakin pabrikan di Indonesia telah mampu memproduksi baterai listrik untuk sepeda motor. Johnny yakin Indonesia berpeluang menjadi produsen utama kendaraan listrik di kawasan ASEAN. Sebab, Indonesia memiliki Sumber Daya Alam (SDA) bahan baku baterai lithium yang melimpah. Dan biaya produksi kendaraan listrik tertinggi adalah pada komponen baterai.
Sebelumnya Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan baterai lithium dalam negeri, telah dirilis kebijakan pelarangan ekspor biji (ore) nikel. Luhut mengatakan selama ini sebanyak 98% nikel diekspor ke Tiongkok. Padahal, biji nikel dapat dimanfaatkan sebagai material untuk membuat baterai lithium.
Meski begitu, melimpahnya potensi bahan baku saja belum cukup. KADIN mengharapkan, kementerian teknis segera menerbitkan regulasi pendukung sebagai turunan dari Perpres 55/2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle/BEV) untuk Transportasi Jalan.
Kebijakan tersebut harus berdasarkan aspek kajian pada semua proses industri, input, output, dan proses pabrikasi, sehingga terbangun struktur industri kendaraan listrik yang ideal dan berkelanjutan. KADIN juga berharap pemerintah bisa melakukan percepatan peta jalan BEV tanpa harus menunggu kesiapan industri komponen utama. Pasalnya, negara-negara lain juga telah memulai langkah serupa untuk menyambut era mobil Iistrik, termasuk Thailand.
Saat ini industri otomotif Indonesia masih kalah dari Thailand. Pesatnya kemajuan industri otomotif Thailand itu disebabkan oleh besarnya dukungan yang diberikan pemerintah. Beragam kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Thailand di antaranya, insentif pengurangan bea masuk impor barang modal dan komponen. Kemudian, pemerintah Thailand juga mendukung kegiatan riset dan pengembangan industrinya melalui insentif pajak penghasilan minimal tiga tahun dan insentif perpajakan berdasarkan lokasi pabrik.
Juga, semakin jauh lokasi pabrik dari Bangkok, insentif yang diberikan semakin besar. Adapun bagi perusahaan yang memproduksi kendaraan listrik akan mendapatkan insentif berupa pembebasan pajak 6-10 tahun, jika mereka menghasilkan komponen utama, seperti baterai dan kereta listrik di dalam negeri. Mesin yang diperlukan untuk memproduksi semua jenis kendaraan listrik dibebaskan dari tarif impor. Hal itu berdampak signifikan terhadap produksi otomotif.
"Indonesia perlu mengeluarkan kebijakan serupa sebagai implementasi Perppres No 55 Tahun 2019 agar bisa berkompetisi dengan Thailand dalam produksi kendaraan listrik," kata Ketua Umum Kadin Rosan P Roeslani suatu ketika.
Data ASEAN Automotive Federation menyebutkan, produksi kendaraan Thailand pada 2018 telah mencapai 2,1 juta unit. Sedangkan Indonesia 1,3 juta unit. Produksi kendaraan Thailand jumlah ekspornya mencapai 53% dari jumlah produksi 2018. Sementara itu, produksi kendaraan Indonesia 74% untuk pasar dalam negeri dan ekspornya sekitar 26%. (E-2)