Di tengah upaya pemerintah pusat mengembangkan pembangunan Papua yang berbasis budaya dan kearifan lokal, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jayapura melakukan hal selaras dengan melibatkan masyarakat adat. “Orang Papua harus mulai dengan keahlian sendiri untuk membangun negeri ini,” kata kata Bupati Jayapura Mathius Awoitauw.
Menurut Mathius, selain mengadopsi ilmu pengetahuan dari negara maju, orang asli Papua harus pula kembali kepada adat dan budayanya. Untuk kemudian, kata dia, mengembangkannya menjadi satu kekuatan untuk membangun daerahnya. “Kampung adat harus terus didorong untuk mengambil peran. Melalui dewan adat suku juga penting dibicarakan bagaimana mengawal dan mendampingi kampung-kampung adat itu agar bisa tumbuh lebih baik,” ungkapnya.
Di berbagai kesempatan, Mathius meminta kepada seluruh dewan adat suku yang ada di Kabupaten Jayapura untuk terlibat aktif dan mendampingi program kampung-kampung adat yang ada di wilayah adat masing-masing. Tujuannya, agar kampung adat dapat tumbuh dari keaslian-keaslian budayanya. Yang penting, masyarakat adat bisa memproteksi tanah dan hutannya untuk kesejahteraan diri sendiri dan generasi berikutnya.
“Oleh karena itu, gagasan mengembangkan kampung adat ini adalah bagian dari upaya kita mengembalikan jati diri masyarakat adat di seluruh Papua. Sebab, solusi untuk Papua adalah solusi budaya, yaitu mengembalikan jati diri masyarakat adat. Ini jauh lebih penting dari semua solusi yang lain,” kata Bupati Jayapura Mathius Awoitauw, dalam peluncuran buku yang ditulisnya “Kembali ke Kampung Adat” beberapa waktu lalu.
Menurut Mathius, dalam kacamata masyarakat adat, kehidupan sosial, politik, dan ekonomi akan berkelanjutan jika seluruh masyarakat merawat alam dan lingkungannya. Dengan kata lain, gagasan tentang kesatuan manusia dengan alam lingkungannya sangat relevan dengan masalah ekologi, terutama di Papua. Gagasan itu menyadarkan manusia untuk menaruh hormat pada alam lingkungan dan melestarikannya.
“Tentu saja, prinsip ini cukup berlawanan dengan mentalitas teknologi yang selama ini mendominasi pembangunan, termasuk di Papua, dan telah menguras sumber alam secara kasar, serakah, dan membahayakan kelestarian lingkungan hidup. Di sinilah peran masyarakat adat sangat besar dan luar biasa. Maka, perlu gagasan restorasi pembangunan dan itu melalui pendekatan kampung adat ini,” ujarnya. Perlu diketahui, di Kabupaten Jayapura ada sembilan Dewan Adat Suku (DAS). Kesembilan DAS itu adalah Imbi Numbai, Demutru, Moi, Elseng, Yowari, Sentani Buyakha, Oktim, Tepera, dan Djoukari.
Buku “Kembali ke Kampung Adat” ini mendorong pemerintah senantiasa untuk menggali ke dalam akar budaya, atas segala macam soal yang selama ini melilit orang-orang Papua. Bagi Mathius, gagasan kampung adat sebagai gerakan pembangunan di tanah Papua merupakan jalan budaya yang harus dilakukan di seluruh Papua, sekaligus sebagai antitesis dari berbagai pembangunan yang selama ini sudah dilakukan di Papua.
“Dengan kata lain, pembangunan fisik maupun sosial budaya orang asli Papua di tanah Papua seharusnya disesuaikan dengan nilai budaya, hukum adat, norma, dan aturan budaya orang Papua. Agar, rencana pembangunan tersebut dapat didukung dengan potensi alam dan kondisi sosial budaya masyarakat asli Papua,” tuturnya.
Kembali ke kampung adat memang digagas Bupati Jayapura Mathius Awoitauw, sejak kampanye pencalonannya pada periode pertama. Tujuannya, demi mengembalikan jati diri masyarakat adat. Ketika Mathius memenangkan Pilkada 2012–2017 di Jayapura, pelibatan masyarakat adat dalam pembangunan di kawasan itu pun langsung dilaksanakan.
Dalam menata organisasi perangkat daerah, misalnya, Mathius memberi kesempatan kepada anak asli Jayapura untuk menjadi pimpinan OPD. Ia juga megubah struktur di organisasi pemerintahan setempat dengan menambahkan bidang baru yang secara khusus ditujukan untuk mengurus adat dan kampung.Mathius mengajak semua pihak bersungguh-sungguh kembali ke kampung adat.
Bupati Jayapura juga mengajak para pakar dari perguruan tinggi dan pemerhati masyarakat adat untuk menyumbangkan saran dan masukan yang konstruktif agar bisa menambah bobot upaya dalam merealisasikan program Kampung Adat Membangun di Kabupaten Jayapura. Kontan saja, dukungan kemudian meluncur berbagai pihak. Ada dari perguruan tinggi, ahli hukum adat, dari Aliansi Masyarakat Adat (AMAN), World Vision Indonesia, dan sebagainya. AMAN juga memberikan bantuan kepada tim yang melakukan pemetaan wilayah adat.
Kesatuan masyarakat adat memiliki kewenangan penuh berdasarkan hak asal-usul dan adat-istiadat dalam sistem pemerintahan yang menjadi amanah Pasal 18 b UUD 1945. Itu sebabnya, dalam UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, perubahan nama desa menjadi kampung bukan perubahan nama belaka. Melainkan, mempunyai makna perubahan secara format dan substansinya.
Perubahan itu terjadi dalam tiga hal, yaitu perubahan orientasi (re-orientasi), restrukturisasi, dan berfungsi sebagai kampung adat membangun. Reorientasi merupakan perubahan yang secara murni dilakukan dari bawah, kemudian memiliki kewenangan istimewa (bersifat keaslian), bukan kewenangan yang diserahkan (penyerahan), pengaturan dan pembangunan sepenuhnya oleh masyarakat kampung adat, sedangkan distrik dan kabupaten sebagai fasilitator dan motivator.
Sementara itu, restrukturisasi adalah bagian dari upaya me-review struktur dan sistem norma. Termasuk, mewujudkan keondoafian (struktur pemerintahan adat) tunggal dan menghilangkan dualisme kepemimpinan, antara kepala kampung adat versus kepala pemerintahan adat. Sedangkan, kampung adat membangun memiliki batas-batas wilayah dan potensi sumber daya alam yang jelas, memiliki sumber daya manusia yang berkarakter budaya (jati diri, norma, dan nilai yang bermartabat), membangun ekonomi komunal bukan ekonomi kapitalis (individual), serta memiliki posisi yang setara dengan pemerintah daerah dan dunia usaha.
Perubahan ini telah menjadi semangat baru di Kabupaten Jayapura. Namun di lain pihak, ada transisi berpikir dari semangat kampung administrasi ke kampung adat. Begitu pula belum efektifnya pendampingan kampung adat dalam menjalankan fungsinya sebagai kampung adat. Saat ini sudah ada 14 kampung adat yang menjadi pilot project. Kampung-kampung itu tinggal menunggu nomor registrasi desa dari Kementerian Dalam Negeri.
Mathius juga mengeluarkan SK Bupati 188.4/266/2018 tentang Pembentukan Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) yang tugasnya membantu masayarakat menumbuhkan kembali semangat mengelola kampung adat. GTMA juga sedang bekerja melakukan pemetaan wilayah adat, mencari batas batas wilayah adat yang satu dengan yang lainnya. Tim ini mendidik anak-anak muda untuk terlibat dalam kegiatan pemetaan, dan inventarisasi kekayaan dan hak-hak yang berkaitan dengan masyarakat adat.
Pemetaan wilayah adat ala GTMA ini mendapat sambutan luar biasa dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Wakil Menteri ATR/BPN Surya Tjandra beberapa kali datang ke Kabupaten Jayapura untuk menyempatkan diri hadir di Sekretariat Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA). Dalam kunjungan itu, Wamen menyampaikan, yang ada di Jayapura merupakan sesuatu yang spesial dan terbaik, karena di sana terdapat Gugus Tugas Masyarakat Adat (GTMA) yang menggandeng berbagai NGO, masyarakat adat, dan organisasi perangkat daerah dalam berkolaborasi. Tujuannya jelas, demi memberi pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat adat di tanah Papua.
Berdasarkan SK Bupati 320/2014 tentang Pembentukan Kampung-Kampung Adat, tercatat ada sebantak 139 kampung di Kabupaten Jayapura. Seiring itu, pada 2019, sebanyak 14 kampung dari 24 kampung persiapan di Kabupaten Jayapura disahkan oleh Kementerian Desa sebagai kampung adat. Yaitu Kampung Yokiwa di Distrik Yokiwa, Kampung Yoboi di Distrik Sentani, Kampung Baborongko di Distrik Ebungfauw, Kampung Dondai dan Kampung Bambar di Distrik Waibu, Kampung Iwon di Distrik Gresi Selatan, dan Kampung Bundru di Distrik Yapsi.
Sedangkan dilakukan pula perubahan status dan nama kampung. Di mana, Kampung Ayapo menjadi Kampung Adat Itakiwa, Kampung Asei Kecil menjadi Kampung Adat Khleublouw, Kampung Ifar Desar distrik Sentani menjadi Kampung Heasei Yomoheai, Kampung Simporo menjadi Kampung Adat Homfolo distrik Ebunggauw, Kampung Necheibe distrik Ravenirara menjadi Kampung Adat Nechei've, Kampung Waibron distrik Sentani Barat Moy menjadi Kampung Adat Waibron Banu, Kampung Kaitemung distrik Nimboran menjadi Kampung Adat Ketemung.
Tonggak penting dalam sejarah pelibatan masyarakat adat oleh Pemerintah Jayapura adalah penyerahan SK Bupati nomor 319, yang mengatur pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat di Kabupaten Jayapura. 24 Oktober 2013 kemudian diperingati sebagai hari Kebangkitan Masyarakat Adat. Momentum itu juga dijadikan sebagai upaya mendorong masyarakat adat agar bangkit menata dirinya, berkaitan dengan hak-haknya di tengah ketidakpastian hukum, demi mewujudkan masyarakat adat yang berdaulat secara ekonomi dan mandiri secara politik.
Ide besar tersebut bersambut. Tiga tahun kemudian DPR Kabupaten Jayapura mengesahkan satu Peraturan Daerah (Perda) nomor 8 tahun 2016 tentang Kampung Adat. Setahun kemudian diperkuat dengan Perda nomor 13 Tahun 2017 tentang Pemerintahan Kampung. Gerakan pemberdayaan masyarakat adat ini disambut baik oleh masyarakat adat dan menjadi pemacu bagi mereka untuk dapat menentukan pilihan dalam mengelola semua sumber daya alam yang dimiliki, di setiap kampung-kampung yang ada di Kabupaten Jayapura.
Ini dimaknai sebagai salah satu implementasi roh UU nomor 21 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, yaitu afirmasi terhadap masyarakat asli Papua atau perlindungan, keberpihakan, dan pemberdayaan masyarakat Papua.
Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo/ Elvira Inda Sai
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini