Dokumen rencana pembangunan ketenagalistrikan versi yang terbaru telah dirampungkan oleh PT PLN (Pesero). Buku tebal itu bertajuk Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2020- 2029. Buku itu telah diserahkan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada pertengahan Agustus lalu. Dokumen RUPTL itu diperbarui setiap dua tahun dan berlaku sebagai rencana strategis jangka menengah.
Seperti tertuang dalam rencana strategis itu, pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) tetap menjadi bagian penting guna menekan penggunaan energi berbasis fosil. Tekad kuat itu tak lepas dari target pemerintah untuk mencapai target bauran energi sebesar 23 persen pada 2025.
Maka, RUPTL itu diharapkan dapat mendorong percepatan bauran EBT yang kini tercatat baru sampai di kisaran 9,15%. Namun, mengacu data di Kementerian ESDM, sudah terjadi lonjakan yang cukup signifikan. Pada 2008, EBT hanya ada 5.800 MW dan menjadi 10.300 MW di 2019.
Guna mengakselerasi pembangunan EBT, menurut Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, pemanfaatan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) akan terus digenjot. Pemerintah terus melakukan terobosan inovasi dengan menyediakan berbagai kemudahan bagi kontraktor di sektor panas bumi. Tekad ini yang terlihat jelas pada RUPTL terbaru dari PT PLN itu.
Kemudahan itu sudah dimulai dengan terbitnya Undang-Undang nomor 21 tahun 2014 tentang Panas Bumi. Di sana ditentukan bahwa pembangunan PLTP bisa dilaksanakan di area hutan produksi, hutan lindung, atau hutan konservasi. Kemudahan itu berlanjut pada tingkat peraturan menteri dan seterusnya, termasuk kebijakan PLN.
Jalan mulus dan lempang telah disiapkan untuk investasi di PLTP ini. Berbagai pungutan yang membebani usaha PLTP dihapuskan. Agar masyarakat sekitar ikut menikmati kehadiran PLTP, Menteri Arifin Tasrif mendorong agar investor menerapkan corporate social responsibility (CSR) sesuai ketentuan.
“Kami mengimbau kontraktor panas bumi melaksanakan program kesejahteraan masyarakat melalui skema CSR. Kami juga mendorong pemerintah daerah memaksimalkan penggunaan pendapatan daerah dari bonus produksi,” tutur Arifin, dalam siaran pers di situs Kementerian ESDM, Rabu (9/9/2020).
Khusus energi panas bumi, pemerintah telah menetapkan energi berbasis nonfosil sebagai bagian strategi untuk mengurangi emisi karbon. Energi panas bumi ditetapkan sebagai salah satu dari tulang punggung penyuplai energi nasional di masa depan.
Potensi Besar
Bila dilihat potensinya, negara ini memiliki potensi energi panas bumi lebih dari 23,9 gigawatt (GW). Dengan potensi itu, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia.
Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), yang diperkuat oleh kebijakan RUPTL dari PT PLN, menargetkan kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) mencapai 7.000 megawat (MW) pada 2025.
Pembangkit listrik panas bumi adalah bagian dari pembangkitan energi baru dan terbarukan. Komitmennya target 23 persen terpenuhi di 2025. Untuk mencapainya, kapasitas PLTP panas bumi ditetapkan meningkat 1.000 MW, tenaga hidro (3.900 MW), bioenergi (1.200 MW), dan panel surya (2.000 MW).
Bagaimana dengan kondisi faktual pemanfaatan energi baru dan terbarukan? Seperti disebut Menteri Arifin Tasrif, pemanfaatannya masih relatif kecil, baru menuju ke 10,4 Gigawatt (GW). Pada akhir 2019, produksi EBT itu masih 7,5 Gw atau 12 persen dari 63 GW kapasitas nasional. Potensi EBT itu sendiri mencapai 417,8 GW. Pemanfaatan terbesar sejauh ini dari pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
Di sisi lain, pemanfaatan listrik berbasis panas bumi bisa dikatakan masih kecil. Ini diakui oleh Menteri Arifin Tasrif. “Kapasitas terpasang listrik panas bumi yang sudah termanfaatkan baru mencapai 2,13 GW atau 8,9 perssen dari potensi panas bumi di Indonesia yang sebesar 23,9 GW,” ujarnya.
Namun, Arifin menyakini panas bumi bakal menjadi salah satu tulang punggung penyediaan energi nasional ke depan. Kata dia, pemerintah terus mengejar target peningkatan kapasitas energi panas bumi hingga mencapai 9.000 MW pada tahun 2025. "Peluang energi panas bumi masih terbuka lebar dan diperlukan kerja keras yang luar biasa untuk mencapai target yang ditetapkan," ungkap Arifin.
Saat ini, pemerintah juga sedang menyiapkan peraturan presiden (perpres) untuk meregulasi kembali harga energi terbarukan. “Ini untuk menarik investasi ke sektor EBT, termasuk pada pengembangan panas bumi,” ujar Arifin.
Tingkat ketergantungan Indonesia pada bahan bakar fosil masih cukup besar. Ketergantungan itu mendapat sorotan dari Bank Dunia. Perwakilan Bank Dunia di Jakarta, Satu Kahkonen, menyatakan bahwa Indonesia punya peluang besar mengejar target bauran energi, seraya menurunkan emisi karbonnya, dengan mengoptimalkan penggunaan sumber daya EBT yang ada.
Bahkan, ia membayangkan, dengan melimpahnya potensi panas bumi yang dimiliki negara ini cukup untuk menurunkan ketergantungan terhadap batubara, dalam memasok setrum untuk kebutuhan di sistem utama seperti Jawa-Bali dan Sumatra.
Tidak hanya memasoknya ke sistem utama, panas bumi juga bisa mengisi kekurangan listrik di wilayah Indonesia bagian timur. Sebab, selama ini setrum untuk Indonesia bagian timur masih banyak dipasok oleh energi berbasis BBM seperti diesel.
Selain memperluas bauran EBT, pemanfaatan panas bumi pun dinilai bisa menekan tingginya biaya membeli BBM. Ada potensi sekitar 20 GW panas bumi yang dapat dikembangkan untuk menggantikan PLTU (batu bara) di sistem utama. “Setiap pengembangan satu sampai dua GW pembangkit panas bumi, ternyata biaya produksi listriknya bisa lebih efisien dibanding diesel," kata Satu Kahkonen dalam Digital Indonesia International Geothermal Convention 2020 yang digelar secara daring, di Jakarta, Selasa (8/9/2020).
Namun, ada persoalan yang harus dibenahi agar panas bumi maupun EBT lainnya, terutama terkait harga. Energi listrik dari batu bara harganya sangat murah, sekitar USD7 cent--USD9 cent per kilowatt hour (kWh) di Jawa-Bali dan Sumatra. Sedangkan harga listrik panas bumi masih berkisar di angka USD10 cent--USD12 cent per kWh. “Pemerintah tengah menyiapkan kebijakan regulasi terkait harga panas bumi agar menarik kembali investasi,’’ janji Arifin.
Sejumlah insentif telah diberikan bagi investor. Insentif itu, antara lain, di bidang fiskal, seperti tax allowance, pembebasan pajak bumi dan bangunan (PBB) serta bea masuk impor. Yang terbaru adalah mengurangi risiko ekplorasi, pemerintah pun kini menginisiasi skema pembangunan PLTP, yakni proses pengeboran dilakukan pemerintah. Ini tentu kabar baik bagi pelaku usaha.
"Untuk mengurangi risiko eksplorasi, pemerintah menawarkan pola development geothermal, yakni pengeboran dilakukan oleh pemerintah di mana eksplorasi dilakukan oleh pemerintah," tutur Arifin.
Di tengah pandemi ini, segala ikhitiar dilakukan guna mengundang investasi. Pemerintah yakin, bahwa setelah badai Covid-19 berlalu, permintaan akan listrik akan kembali kencang. Peluang menarik itu memang seperti tersembunyi di balik kegaduhan wabah corona ini.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini