Perkembangan teknologi akan membuat dampak tersendiri terhadap dunia tenaga kerja. Diprediksi sekitar 75% pekerjaan rutin dan mekanis akan digantikan dengan mesin atau robot. Apalagi perkembangan teknologi kecerdasan buatan semakin lama semakin menarik.
Karakter perubahan yang sangat cepat, mau tidak mau, mengharuskan industri untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman. Para pengusaha dituntut untuk lebih memfokuskan berinvestasi menggantikan perangkat kerja, juga sistem kerja. Pada akhirnya hal itu akan menyebabkan pengurangan pada kebutuhan sumber daya manusia.
Sebuah laporan dari McKinsey, misalnya, memprediksi berbagai sektor industri, terutama bagian teknik akan digantikan dan kecerdasan buatan dalam beberapa waktu ke depan. Proses automatisasi ini akan mengurangi kebutuhan tenaga kerja sampai 78%.
Bagian yang terkena dampak adalah pekerjaan pemrosesan data, terutama yang terkait keuangan dan asuransi. Diperkirakan juga akan tergerus 69%. Selanjutnya, bagian pengumpulan data akan terautomatisasi 64%. Sementara itu, pekerjaan yang paling minim tergantikan oleh robot adalah yang berkaitan dengan cara berpikir manusia seperti memanajemen orang lain dan pengambilan keputusan.
Menjelang 2030 robot dan kecerdasan buatan mulai menjadi sesuatu yang umum. Banyak perusahaan di dunia mulai bersiap memanfaatkan teknologi canggih tersebut. Automatisasi menjadi unsur yang acap kali digaungkan robot dan kecerdasan buatan.
Sayangnya menurut laporan Oxford Insights dan International Development Research Center yang bertajuk Government AI Readiness Index 2019 menunjukkan, Indonesia dalam penerapan AI di pemerintah peringkat kelima di ASEAN. Sedangkan di dunia, Indonesia berada di posisi 57 dari 194 negara dengan skor 5,420.
Sementara itu, dalam sebuah riset Microsoft bertajuk Future Ready Business: Assessing Asia-Pacific’s Growth with Artificial Intelligence (AI) menyebutkan, industri keuangan di Asia Pasifik yang menerapkan kecerdasan buatan mencatat perbaikan di lima area. Area tersebut adalah keterlibatan pelanggan, daya saing, inovasi, margin, dan kecerdasan bisnis.
Peningkatan tertinggi terjadi pada margin yang diperkirakan melaju hingga 2 kali lipat, yaitu dari 17% pada 2019 menjadi 35% pada 2021. Selain itu, laporan ini juga menyebutkan kecerdasan buatan berkontribusi meningkatkan daya saing hingga 41% pada 2023.
Presiden Direktur Microsoft Indonesia Haris Izmee menyebutkan, ada pemain baru di industri keuangan Indonesia yang telah menerapkan layanan berbasis teknologi. Mereka cukup berhasil menjangkau pelanggan melalui kecerdasan buatan. Ini sekaligus menjadi tantangan bagi pemain lama untuk memanfaatkan data dan kecerdasan buatan demi meningkatkan daya saing.
Moula, perusahaan rintisan di Australia menerapkan kecerdasan buatan untuk layanan pengambilan keputusan kredit secara real-time. Di samping juga memanfaatkan Azure dan machine learning yang dapat memprediksi kemungkinan terjadi kredit macet. Hal yang sama juga diterapkan di Indonesia pada perusahaan teknologi finansial (tekfin) yang menyediakan pinjaman produktif secara online kepada masyarakat.
Di Indonesia sendiri, perkembangan teknologi itu pelan-pelan sudah mulai bergerak. Mesti kecepatannya tidak sehebat di negara-negara maju, tetapi mau tidak mau, Indonesia pasti akan memasuki era tersebut.
Menyambut perkembangan yang semakin cepat ini, misalnya, pemerintah telah menetapkan kebijakan berupa kartu prakerja, yang dimungkinkan untuk menambah keterampilan calon tenaga kerja agar bisa sesuai dengan kebutuhan industri. Hal ini dipentingkan untuk memanfaatkan bonus demografi yang kini dinikmati Indonesia.
Tenaga produktif yang berlimpah harus dibentuk untuk dapat menjawab kebutuhan zaman. Di lain sisi, serikat-serikat pekerja harus mulai menyadari perkembangan yang sangat cepat ini sehingga mereka mampu melihat persoalan yang dihadapi dunia usaha dengan kacamata yang lebih clear. (E-1)