Kawasan Laut China Selatan meliputi perairan dan daratan yang sangat luas. Dari gugusan kepulauan dua pulau besar, yakni Spratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough. Kawasan ini terbentang dari Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan. Luas keseluruhan perairan ini mencapai 3,5 juta meter persegi.
Karena bentangan wilayah yang luas dan juga sejarah penguasa tradisional yang silih berganti pada kawasan ini di masa lalu, kini beberapa negara seperti Tiongkok, Taiwan, Vietnam, Filipina, Malaysia, dan Brunei Darussalam, terlibat saling klaim atas sebagian ataupun seluruh wilayah perairan tersebut. Laut China Selatan jadi perairan yang rawan konflik setelah pemerintah Tiongkok mengklaim hampir 90 persen wilayah ini.
Bicara sejarah sengketa Laut China Selatan muncul pertamakali pada dasawarsa 1970-an, berulang kembali di dasawarsa 1980-an, dan terjadi lagi pada dasawarsa 1990-an, pun tak kurang memanasnya memasuki dasawarsa 2010 dan bahkan hingga kini.
Seperti diketahui, sengketa klaim kepemilikan teritorial di Laut China Selatan sesungguhnya merujuk kepada wilayah kawasan laut dan daratan di dua gugusan kepulauan Paracel dan Spratly. Ya, kedua gugusan pulau-pulau yang tidak berpenghuni ini bisa dikata ialah titik didih utamanya. Pasalnya, sudah tentu kekayaan mineral pertambangan di kawasan gugusan pulau-pulau tersebut.
Negara-negara kawasan yang terlibat dalam konflik Laut China Selatan lazimnya menggunakan dasar historis dan geografis dalam memperebutkan kepemilikan atas kawasan laut dan dua gugusan kepulauan tersebut.
Tiongkok, misalnya, pada 1947 mengeluarkan peta baru yang merinci klaim kedaulatan mereka terhadap teritorial perairan Laut China Selatan, atau sohor dengan istilah “Sembilan Garis Putus-putus” (Nine-Dashed Line). Legitimasi negeri tirai bambu didasarkan pada sejarah penguasaan tradisional di masa lampau. Sementara itu, Filipina, Vietnam, Taiwan, Brunei Darussalam, dan Malaysia, mengklaim bahwa sebagian wilayah Laut China Selatan masuk dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) negara-negara tersebut berpijak pada Konvensi Hukum Laut Internasional atau United Nations Convention on the Law of Sea (Unclos, 1982).
Indonesia sebenarnya sejak awal bukanlah negara pengklaim. Indonesia tidak pernah mengklaim wilayah perairan dari Laut China Selatan, yang diperselisihkan oleh Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan, dan Vietnam di satu sisi, dengan Tiongkok di sisi lain. Indonesia juga tidak berada dalam perselisihan klaim terhadap dua gugusan kepulauan besar di Laut China Selatan.
Namun sejak 2010 Indonesia jadi “terlibat” dalam sengketa Laut China Selatan, setelah China secara sepihak mengklaim terhadap keseluruhan perairan Laut China Selatan. Termasuk di dalamnya ialah perairan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia, yaitu sebuah kawasan di utara kepulauan Natuna Provinsi Kepulauan Riau.
Ketika itu Indonesia berupaya menahan kapal-kapal penangkap ikan Tiongkok di Laut China Selatan, namun kemudian disusul nota protes pemerintah Tiongkok yang meminta kapal itu dilepaskan. Kasus serupa terjadi kembali pada 2013 dan berpuncak di tahun 2016.
Ya, pada 17 Juni 2016, sebuah kapal Angkatan Laut bernama KRI Imam Bonjol, menghadapi tujuh kapal nelayan dan dua kapal coast guard di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Menarik dicatat di sini, jika di tahun 1990-an Kementerian Luar Negeri Tiongkok sekadar menyiratkan bahwa perairan di utara kepulauan Natuna ialah “daerah penangkapan ikan bagi Tiongkok dari dulu” (traditional Chinese fishing grounds), maka sejak 2016 pemerintah Tiongkok untuk pertama kalinya menyatakan hal ini secara eksplisit.
Pada 23 Juni 2016, Presiden Joko “Jokowi’ Widodo mengenakan jaket bomber, ia menaiki KRI Imam Bonjol, dan mengadakan rapat kabinet terbatas di sana. Kunjungan Presiden Jokowi ke Natuna dimaksudkan untuk mengirim sinyal ke pemerintah Tiongkok di Beijing, bahwa Indonesia akan melindungi hak-hak kedaulatan di ZEE-nya.
Lebih dari itu, Indonesia segera bergerak sigap. Pada 2017, Indonesia meluncurkan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia versi baru. Peta tersebut menitikberatkan pada perbatasan laut Indonesia dengan negara lainnya. Nama Laut China Selatan juga diganti menjadi Laut Natuna Utara. Nama perairan yang diubah itu hanyalah wilayah laut dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, sesuai konvensi Unclos 1982.
Upaya penamaan Laut Natuna Utara juga dilakukan Indonesia setelah adanya temuan fakta dari Pengadilan Arbitrase Permanen di Den Haag-Belanda pada 2016, terkait perselisihan Laut China Selatan antara Filipina dan Tiongkok. Pengadilan Arbitrase menyimpulkan, bahwa klaim sepihak dari Tiongkok berdasarkan pada konsep nine-dashed line itu sama sekali tidak memiliki dasar hukum atau historis.
Belakangan, isu seputar klaim Tiongkok atas teritorial perairan Laut China Selatan ini mengemuka kembali di Indonesia. Ini terjadi setelah kapal pencari ikan dan coast guard milik Tiongkok berlayar masuk di kawasan perairan Natuna, yang berdasarkan Unclos 1982 termasuk kawasan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Mengulangi momen peristiwa di 2016, pada 8 Januari 2020 Presiden Jokowi kembali mengunjungi Laut Natuna Utara dengan KRI Usman Harun. Selain itu, pemerintah Indonesia juga menempuh jalur diplomasi untuk menyelesaikan masalah ini dengan melayangkan nota protes terhadap pemerintah Tiongkok melalui duta besar mereka di Jakarta.
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menyatakan, Indonesia akan mengedepankan diplomasi damai untuk menyelesaikan persoalan sengketa ini. Setidaknya ada empat sikap dan langkah Indonesia merespons kasus ini, yaitu:
Pertama, menyatakan bahwa Tiongkok telah melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Indonesia juga menolak klaim dari Tiongkok terkait wilayah yang mereka klaim sebagai traditional fishing ground, yang menurut kacamata hukum internasional dianggap tidak memiliki landasan hukum.
Kedua, Indonesia menolak klaim penguasaan perairan Laut Natuna Utara atas dasar Nine Dash Line. Ketiga, TNI akan melakukan operasi penjagaan secara intensif di kawasan Laut Natuna. Dan terakhir atau keempat, peningkatan kegiatan ekonomi di sekitar wilayah perairan Laut Natuna atau kawasan Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia.
Forum Regional ASEAN
Setengah abad lebih pasang surut konflik di kawasan Laut China Selatan telah terjadi, dan hingga kini problem ketegangan kawasan ini masih jadi pekerjaan rumah bagi ASEAN. Belakangan negara-negara di luar kawasan ASEAN seperti Amerika, Jepang, Australia, India, dan Rusia, juga terlihat terlibat. Keterlibatan mereka bukan tidak mungkin justru membuat sengketa di kawasan Laut China Selatan makin rumit.
Mengantisipasi ini, negara-negara anggota ASEAN—melalui Forum Regional ASEAN—sejak awal dekade 1990-an telah mengambil inisiatif untuk merespons potensi meningkatnya konflik di Laut China Selatan. Pada 22 Juli 1992 di Manila-Filipina, para Menteri Luar Negeri dari negara-negara anggota ASEAN mengeluarkan ASEAN Declaration of Conduct on the South China Sea. Deklarasi ini berisi seruan kepada semua pihak untuk menyelesaikan sengketa dengan damai dan diterapkannya prinsip Treaty of Amity and Cooperation (TAC).
Sepuluh tahun kemudian, pada 4 November 2002 kesepakatan formal berhasil dicapai. ASEAN-Tiongkok sepakat mengeluarkan Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea (DOC). Ditandatangani di Phnom Penh, Kamboja. Deklarasi ini berisikan komitmen ASEAN-Tiongkok untuk mematuhi prinsip-prinsip hukum internasional, menghormati freedom of navigation di Laut China Selatan, dan komitmen untuk menyelesaikan sengketa secara damai.
Sembilan tahun kemudian, pada 2011 ASEAN-Tiongkok berhasil menyepakati Guidelines for the Implementation of the DoC (Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea). Keberhasilan merumuskan guidelines ini sering disebut sebagai terobosan dan capaian besar ASEAN di tahun 2011. Indonesia saat itu ialah ketua forum regional tersebut.
Kesepakatan ini juga merupakan langkah awal dimulainya pembahasan Code of Conduct in the South China Sea (CoC). Code of Conduct ini sedianya berfungsi sebagai mekanisme operasional terkait pencegahan konflik, yakni dengan mengatur tata perilaku negara-negara yang bersengketa secara efektif di dalam kawasan Laut China Selatan.
Nah, bicara perihal upaya perumusan kode etik antara ASEAN-Tiongkok, pada 3 November 2019 lalu di Bangkok-Thailand telah dirumuskan pernyataan bersama antara para pemimpin negara-negara anggota ASEAN dan Tiongkok. Ada delapan belas pernyataan bersama hasil kesepakatan forum ASEAN-China Summit ke-22. Sementara itu, forum ASEAN-China Summit sendiri ialah bagian dari forum KTT ASEAN ke-35.
Pada poin kedelapan belas terlihat adanya capaian kemajuan diplomasi penanganan sengketa di kawasan Laut China Selatan. Poin kedelelapan belas ini memastikan, pentingnya menjaga dan mengutamakan perdamaian, keamanan, stabilitas, keselamatan, dan kebebasan navigasi masuk dan keluar di kawasan Laut China Selatan. Tujuannya ialah memahami bersama kemanfaatan dari Laut China Selatan sebagai kawasan yang damai, stabil, dan makmur.
Pernyataan bersama ini juga kembali menggarisbawahi pentingnya implementasi secara efektif dan sepenuhnya atas Declaration on Conduct of the Parties in the South China Sea 2002. Lebih jauh, pernyataan bersamaan forum ASEAN-Tiongkok itu menyimpulkan bahwa, penyelesaian pembacaan bersama atas rancangan naskah tunggal risalah Code of Conduct in the South China Sea patut segera dituntaskan, di mana tahapan-tahapannya (timeline) telah disepakati bersama.
Selain menyambut baik pencanangan proses pembacaan kedua sebagai kelanjutan dari proses yang telah berlangsung (first reading), forum ini memperkirakan tiga tahun atau kurang dari itu diharapkan forum konsultasi terkait Code of Conduct in the South China Sea (CoC) dapat diselesaikan.
Menarik digarisbawahi di sini, bahwa pernyataan bersama forum ASEAN-Tiongkok itu juga telah bersepakat untuk mendorong tercapainya resolusi damai terhadap penyelesaian sengketa dengan merujuk pada hukum internasional Unclos 1982. (W-1)