Indonesia.go.id - Sebuah Filsafat Perenialisme Tertua

Sebuah Filsafat Perenialisme Tertua

  • Administrator
  • Sabtu, 1 Februari 2020 | 04:48 WIB
BHINNEKA TUNGGAL IKA
  Cover buku Kakawin Sutasoma by Mpu Tantular (ilustrasi/dok foto: goodreads.com)

Mpu Tantular sangat jauh melampaui zamannya. Jauh sebelum para filsuf Eropa membangun Masyarakat Teosofi di akhir abad ke-19 dan merumuskan Filsafat Perenial bagi publik Eropa di abad ke-20, Mpu Tantular telah merumuskan sebuah batu pijak bersama bagi titik temu agama-agama di Nusantara.

Sebuah karya PJ Zoetmulder yang bernilai magnum opus karena berikhtiar merangkum sastra Jawa Kuno, Kalangwan, Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, mencatat bahwa di zaman Majapahit setidaknya terdapat dua kakawin besar yang ditulis oleh pujangga yang sama. Berjudul Arjunawijaya dan Sutasoma, nama pujangga yang menggubahnya ialah Mpu Tantular.

Ada dugaan, Arjuna wijaya digubah lebih dahulu dari pada Sutasoma. Sama-sama digubah saat Raja Rajasanagara bertahta, atau sohor dikenal sebagai Hayam Wuruk, di era Kerajaan Majapahit tengah berada di puncak kemegahannya. Diakhir Sutasoma, sang pujangga ini memuji sang raja karena menyebabkan semua penjahat menyembunyikan dirinya.

Ya, bicara nama Mpu Tantular tentu cukup popular bagi publik Indonesia. Pasalnya, tujuh abad setelah Sutasoma ditulis, para founding parents republik mengutip penggalan bait dari karya mpu ini. Motto “bhinneka tunggal ika” dijadikan simbol bagi pendirian negara-bangsa bernama Indonesia. Frasa Jawa Kuno dari abad ke-14 ini disematkan pada simbol negara, Garuda Pancasila.

Merujuk  Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, sebuah buku yang diterbitkan oleh Sekretariat Jenderal MPR RI, frasa dalam bahasa Jawa Kuno ini secara harfiah mengandung arti : bhinneka (beragam), tunggal (satu), ika (itu) yaitu beragam satu itu. Atau lazim dimaknai sebagai “berbeda-beda namun tetap satu jua.”

Masih dari sumber di atas, dikatakan bahwa motto Bhinneka Tunggal Ika pada awalnya mulai jadi materi diskusi terbatas antara Muhammad Yamin, Bung Karno, dan I Gusti Bagus Sugriwa di sela-sela sidang-sidang BPUPKI, antara Mei-Juni 1945. Ada dugaan, Yamin ialah pengusulnya setelah ia membaca tulisan Hendrik Kern yang berjudul Verspreide Geschriften, di mana frasa Jawa Kuno itu termuat.

Konon, di sela-sela sidang BPUPKI itu, Yamin menyebut frasa Bhinneka Tunggal Ika. Mendengar itu, sontak I Gusti Bagus Sugriwa yang berasal dari Bali berucap, “Tan hana dharma mangrwa.” Respons spontan ini menyenangkan hati Yamin, sekaligus menunjukkan bahwa saat itu di Bali frasa Bhinneka Tunggal Ika masih hidup dan dipelajari orang. Meskipun Sutasoma ditulis oleh seorang pujangga Budhis, jangkauan pengaruhnya cukup besar di lingkungan masyarakat Hindu-Bali.

Lain pendapat Mohammad Hatta. Dalam Bung Hatta Menjawab, wakil presiden pertama ini menuturkan bahwa frasa Bhinneka Tunggal Ika adalah usulan Bung Karno. Ide ini secara historis diusulkan setelah Indonesia merdeka, saat momen munculnya kebutuhan untuk merancang lambang negara dalam bentuk Garuda Pancasila.

Masih seturut ingatan Bung Hatta, simbol Garuda Pancasila dengan dua kaki mencengkeram pita putih bertuliskan Bhinneka Tunggal Ika, yang merupakan hasil dari kreasi Sultan Hamid II itu, dipakai secara resmi dalam Sidang Kabinet RIS (Republik Indonesia Serikat) yang dipimpin Bung Hatta pada 11 Februari 1950.

Potongan bait gubahan Mpu Tantular tersebut oleh para pendiri bangsa diberikan perspektif baru karena dinilai relevan dan kontekstual dengan kebutuhan strategis bangunan Indonesia merdeka. Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state), bagaimana pun ialah realitas multietnis, multibudaya, multiagama dan kepercayaan, serta multibahasa.

Oleh karena itu, Indonesia bukan saja butuh sesanti negara sebagai perekat kebangsaan. Indonesia juga butuh panduan falsafah dasar, atau philosofische grondslag, atau weltanschauung, sebagai kerangka ketatanegaraan hidup bersama. Tanpa adanya azas universalisme kebangsaan ini “yakni Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika” bukan mustahil jebakan cangkang partikularisme dalam rupa sektarianisme sempit, baik atas nama etnis atau agama atau kombinasi keduanya (ethno-religious), bakal jadi ancaman hidup bersama.

 

Mpu Tantular dan Kakawin Sutasoma

Merujuk laman Kemendikbud, frasakutipan Bhinneka Tunggal Ika ini berasal Kakawin Sutasoma, dari pupuh 139, bait 5. Bait ini secara lengkap ialah, seperti di bawah ini:

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,

Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,

Mangka ng Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal,

Bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Terjemahan:

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.

Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?

Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal

Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Kembali merujuk Zoetmulder. Menurutnya, keberadaan Sutasoma menjadi penting karena kakawin itu memberikan pengetahuan tentang bagaimana hubungan antara Budhisme-Mahayana di satu sisi dan Hindu-Siwaisme di sisi lain pada zaman Kerajaan Majapahit. Sekalipun Sutasoma sendiri diidentifikasi sebagai susastra Buddha, sang pujangga tak ragu menampilkan suatu cara terbaik di mana Budhisme-Mahayana dan Hindu-Siwaisme terus hidup berdampingan, mencari titik temu, dan menapaki kesejatian yang tunggal.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1580551166_garudda.png" style="height:762px; width:700px" />

Foto : wikipedia.org

 

Menurut Zoetmulder bisa dipastikan Mpu Tantular ialah pujangga yang memeluk agama Buddha. Nama Mpu Tantular sendiri berarti, tan (tidak) dan tular (terpangaruh). Dengan demikian, citra Mpu Tantular seturut namanya adalah seorang mpu (cendekiawan, pemikir, pujangga) yang berpendirian teguh, dan tidak mudah terpengaruh siapa pun.

Mpu Tantular tentu menyadari, bahwa Budhisme-Mahaya dan Hindu-Siwaisme memang merupakan praktik ritus dan teologi yang berbeda satu dengan lainnya. Toh demikian,ketika bicara perihal tujuan tertingginya (ultimate reality), juga disadari oleh Mpu Tantular bahwa teologi Budhisme-Mahayana dan Hindu-Siwaisme itu niscaya tiba pada realitas yang satu dan sama.

Masih seturut Zoetmulder, poin substantif perihal harmoni atas perbedaan teologis antara Budhisme-Mahayana dan Hindu-Siwaisme itu, bahkan ditegaskan dalam Sutasoma sebagai “Mangkan ng jinatwa kalawan siwatattiva tunggal”, yakni yang diterjemahkan sebagai pada kenyataannya (yang paling dalam) Buddha dan Siwa adalah satu dan sama.

Bukan hanya Zoetmulder yang tiba pada kesimpulan demikian. Sebutlah Hendrik Kern (1833 – 1917). Seorang orientalis dan ahli bahasa Sanskerta berkebangsaan Belanda kelahiran Purworejo, Hindia Belanda ini justru adalah orang pertama yang menulis tentang terjadinya fenomena sinkretisme atau campuran (vermenging) antara Hindu-Shiwaisme dan Budhisme-Mahayana.

Tak kecuali, Agus Aris Munandar (2013) dalam Kemaritiman Majapahit Berdasarkan Data yang Tersedia. Munandar bahkan menyimpulkan bahwa penggabungan Siwa-Buddha adalah salah satu puncak peradaban Majapahit. Apa pasal? Dalam zaman Mataram Kuno di Jawa Tengah, juga zaman Airlangga  dan Kadiri, Siwa dan Buddha masih berkembang sendiri-sendiri.

Persemaian dari penggabungan Hindu-Siwa dan Budhisme-Mahayana barulah terjadi di era Singhasari dan kemudian dikembangkan lebih lanjut di era Majapahit. Saat itu dipahami bahwa hakikat tertinggi dari kedua agama itu, yaitu Siwadan Buddha, dipandang setara dan sederajat, tidak ada dharma yang mendua.

Selain itu, masih mengikuti Munandar, di tanah kelahirannya, di India sana, kedua agama itu selalu dalam kondisi yang bersaing dan konflik satu dengan lainnya. Fenomena ini nisbi tidak terjadi di Nusantara.

Pada titik ini, tak berlebihan jika dikatakan Mpu Tantular ialah pujangga besar. Meskipun hidup di zaman Majapahit abad ke-14, pemikirannya telah terbukti melompat jauh ke depan. Kakawin Sutasoma jelas adalah hasil perenungan dan kontemplasi Mpu Tantular terhadap ayat-ayat suci, baik dalam agama Hindu-Siwaisme maupun Budhisme-Mahayana sekaligus.

Ya, Mpu Tantular jauh melampaui zamannya. Jauh sebelum para filsuf Eropa seperti Agostino Steuco (1497–1548), atau Marsilio Ficino (1433–1499), atau Giovanni Pico della Mirandola (1463–1494). Atau bahkan jauh sebelum HP Blavatsky (1831–1891) dan Annie Besant (1847–1933) menelurkan ide “Kebijaksanaan Kuno” dan membentuk Masyarakat Teosofipada abad ke-19. Tentu juga melebihi sosok Aldous Huxley (1894 –1963) yang sohor sebagai pelopor kelahiran filsafat perenialisme di abad ke-20.

Ya, jauh melampaui semua filsuf itu, Mpu Tantular di abad ke-14 telah meletakkan fondasi titik temu teologis dalam khazanah keagamaan di Nusantara.

Menariknya, A Teeuw dan Stuart Owen Robson (1983) dalam Kunjarakarna Dharmakathana: Liberation through the Law of Buddha pernah memaparkan, hingga kini agama Hindu-Siwaisme dan Buddha-Mahayana dari era Kerajaan Majapahit ini masih menemukan kontinuitasnya di Bali. Senyawa kedua agama ini di Bali dikenal dengan sebutan “Siwa-Buddha”.

Kakawin Sutasomo, yang ditulis oleh Mpu Tantular di sekitar tahun 1350-an, tujuh abad silam, ternyata di antara isi pesannya terus bergulir hingga hari ini dan turut berproses membingkai negara baru Indonesia. Belajar dari sejarah masa lalu, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika, memang patut tumbuh dan mekar mengejawantah sebagai “agama publik” (civic religion). 

 

Penulis : Waskito
Editor Bahasa : Ratna Nuraini