Indonesia.go.id - Buddhisme, antara Sriwijaya dan Borobudur

Buddhisme, antara Sriwijaya dan Borobudur

  • Administrator
  • Rabu, 22 Mei 2019 | 17:00 WIB
SEJARAH
  Kapal jung penanda kebesaran Sriwijaya diduga kuat didokumentasikan pada relief Borobudur. Sumber foto: Dok Kemendikbud

Adanya korelasi kuat dan khusus antara Buddha di Sriwijaya dan Syailendra inilah, kata kunci di balik pembangunan Borobudur. Kekayaan gabungan antara Jawa dan Sumatra inilah menurut interpretasi Bernard HM Vlekke membuat bangsa Nusantara sanggup mendirikan Borobudur yang agung.

Sriwijaya dan Borobudur ialah salah satu bukti, Buddhisme pernah hadir sebagai salah satu unsur dominan yang mewarnai perjalanan sejarah di Indonesia. Menariknya, sekalipun agama Buddha bukanlah asli Indonesia, tetapi catatan rekam jejaknya terasa sekali, tak sekadar mewarnai, pun memantik munculnya kemampuan adaptif dan kemajuan bangsa Indonesia di zaman itu.

Artinya posisi bangsa Indonesia saat itu bukanlah bangsa konsumen yang pasif dalam mencerna sistem gagasan atau ide-ide. Bangsa Indonesia jelas juga sanggup mensublimasikan sistem gagasan atau ide-ide tersebut secara kreatif, sehingga membuat posisinya tumbuh menjadi bangsa kreator atau produsen.

Menariknya lagi, bicara kapabilitas Indonesia sebagai bangsa kreator ini tak saja tecermin pada kebesaran Sriwijaya di aras nasional atau lokal, melainkan juga terlihat pada besarnya apresiasi masyarakat luas hingga di aras regional Asia.

Ya, ketika itu selain dikenal sebagai negeri bahari, Sriwijaya di tingkat regional Asia pun dikenal sebagai pusat pendidikan Buddha terkemuka. Banyak pelajar mancanegara tercatat pernah belajar ke sana. Sebutlah Atisha Dipankara, misalnya seorang bhiksu dan sekaligus filosof Buddha dari Bengali atau Bangladesh sekarang.

Merujuk laman chinabuddhismencyclopedia.com, dikisahkan pada usia tiga puluh satu, Atisha dengan diikuti oleh 100 muridnya berangkat melakukan perjalanan laut selama tiga belas bulan ke Sumatra untuk belajar Buddhisme.

Dikenalnya Sriwijaya sebagai pusat pendidikan Budha-Mahayana tidak lain karena peranan Suvarnadvipi Dharmakrti, yang dalam tradisi Buddha Tibetan disebut dengan nama Serlingpa (Gser-gling-pa) dan dianggap Guru Bodhichitta. Selain merupakan bhiksu tertinggi di Sriwijaya yang pengetahuannya dikenal luas, Dharmakriti dicatat telah menyusun kitab Abhisamayalamkara.

Demikian populernya Dharmakriti membuat Atisha berani menempuh resiko mengarungi lautan luas ke Sriwijaya untuk belajar. Konon, dalam bentang masa belajarnya selama tigabelas tahun, yakni dari tahun 1011 hingga tahun 1023 Masehi, Atisha juga pernah menyempatkan diri ziarah ke Borobudur di Jawa, dan belajar perihal teks Mahayana yang dipahatkan menjadi bangunan candi.

Namun demikian sayangnya potret sejarah Sriwijaya sendiri secara utuh belum sepenuhnya terkontruksi baik. Ambil contoh nama Sriwijaya sendiri, seumpama, tak sedikit orang masih bersilang kata.

Dalam bahasa Sanskerta, sri berarti “bercahaya” atau “gemilang,”, dan wijaya berarti “kemenangan” atau “kejayaan.” Sriwijaya bermakna "kemenangan yang gilang-gemilang". Jika Hendrik Kern menafsirkan istilah yang ditemukan pada inskripsi Kota Kapur itu sebagai nama seorang raja; maka Goerge Coedes memberikan tafsiran sebagai nama kerajaan.

Tentu banyak hal lain masih meraba-raba. Bagaimana hubungan antara Sriwijaya dengan Syailendra di Jawa, misalnya, sejauh inipun belum sepenuhnya diketahui. Bahkan selama ini antara Sriwijaya dan Syailendra dalam konteks pembacaan sejarah, sering dilihat masing-masing sebagai berdiri sendiri secara parsial.

Tak kecuali tentang hubungan Sriwijaya dengan konteks regional Asia secara lebih luas, pun masih jauh dari terungkap terang benderang. Sejauh ini yang tampak mengemuka barulah sebatas serpihan-serpihan peristiwa belaka.

Athony Reid dalam “Menuju Sejarah Sumatra” pernah menyatakan, jika dibandingkan jejak Sriwijaya (Sumatra) dengan jejak Majapahit (Jawa) dalam penulisan historiografi nasional, posisi Sriwijaya nisbi kurang beruntung. Pasalnya peneliti Belanda tampak lebih terpusat meneliti Jawa. Penelitian Belanda tentang Sumatra terlihat lebih sederhana dan terpisah satu sama lain.

Walhasil, bicara penelitian tentang Sumatra atau Sriwijaya secara mendalam selalu merupakan karya-karya bangsa Eropa selain Belanda. Sebutlah Goerge Coedes (1918) dan Gabriel Ferrand (1922), misalnya, dua peneliti dari Perancis inilah yang berhasil memberikan bukti-bukti kuat Sriwijaya ialah sebuah kerajaan besar.

Kronik Sejarah dan Ragam Interpretasi

Selain inskripsi yang ditemukan dalam berbagai prasasti, bicara sejarah Sriwijaya lazimnya didasarkan pada sumber-sumber berita dari China, India, dan Arab.

Fah-Hsien, peziarah Buddhis, pada 414 Masehi pernah mengunjungi suatu pulau yang disebutnya Ye-p’o-t’i. Bernard HM Vlekke dalam Nusantara: a History of Indonesia mengidentifikasi istilah itu sebagai Jawadwipa atau Jawa. Fah-Hsien menulis dengan nada muram, bahwa di daerah itu penduduknya sedikit yang tahu tentang, atau tertarik mengikuti, ajaran Buddha.

Namun dari catatannya itu juga diinformasikan, pada 420 Gunawarman, Raja Khasmir, telah menjadi bhiksu dan pergi mengajar jalan keselamatan hingga tiba di negeri yang bernama Cho-p’o. Sepuluh tahun kemudian, lanjut Fah-Hseien, negeri yang sama ini mengirim duta ke Kaisar China. Lebih jauh menurut Vlekke, Cho-p’o  ini bisa jadi Jawa atau Sumatra.

Dua abad lebih sejak catatan Fah-Hsien, lagi-lagi berita dari China patut disimak. Utamanya dari I-tsing, seorang bhiku Buddha, yang bermaksud melakukan ziarah mengunjungi tanah kelahiran Pangeran Siddharta di tanah India di seperempat terakhir abad ketujuh. Karena perjalanan dari China ke India atau sebaliknya membutuhkan waktu beberapa tahun, lazimnya para peziarah itu akan berhenti di tengah jalan, entah di Sumatra atau di Jawa.

Dalam perjalanan pulang ke China ia tinggal selama empat tahun di suatu tempat. Dia menggambarkan tempat itu sebagai berikut:

“Banyak raja dan kelapa suku di pulau-pulau Laut Selatan memuja dan percaya (pada Buddhisme), dan hati mereka penuh tekad menghimpun perbuatan baik. Di kota berbenteng Bhoga, bhiksu-bhiksu Buddhis berjumlah lebih dari seribu dan pikiran mereka terarah pada pengetahuan dan karya yang baik. Mereka meneliti dan mempelajari segala perkara yang sama seperti di Kerajaan Tengah (Tiongkok); peraturan dan upacara tidak jauh berbeda. Kalau seorang bhiksu China ingin pergi ke barat untuk mendengarkan (ajaran) dan membaca (teks asli) sebaiknya dia tinggal di sini satu dua tahun dan berlatih menjalankan peraturan yang tepat lalu meneruskan perjalanan ke India Tengah.”

Ziarah I-tsing terjadi antara 671 dan 692 Masehi. Suatu tempat di mana teologi dan filsafat Buddhisme berkembang pesat ini diduga kuat ialah berada di Sumatra dan merujuk pada keberadaan Sriwijaya.  Fo-shih adalah transkrip Cina untuk Sriwijaya, lengkapnya yaitu Shi-li-fo-shih.

Catatan I-tsing juga menginformasikan, sepulangnya dari sana membawa hampir 400 teks Buddhis yang berbeda ke China. Dari catatan I-tsing tampak jelas, Sriwijaya bukanlah semata merupakan kerajaan Budha namun juga salah satu pusat belajar Buddhisme terkemuka.

Setidaknya hingga saat ini telah tertemu 18 situs di Sumatra dari masa Sriwijaya. Beberapa di antaranya memiliki penanggalan sekitar abad ke-7 sampai ke-9, antara lain, Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Kota Kapur. Inskripsi paling tua bertarikh 682 M, yaitu Kedukan Bukit di Palembang.

Bisa jadi tak ada seorangpun orang Indonesia pernah mendengar tentang Sriwijaya sampai 1920-an, sebelum sarjana Prancis yaitu George Coedes mempublikasikan penemuannya dalam surat kabar berbahasa Belanda dan Indonesia. Coedes memproklamasikan kelahiran kerajaan niaga maritim itu melalui esainya “Le Royaume de Çrivijaya.”

Selain Palembang, tempat lain seperti Muaro Jambi atau Sungai Batanghari di Jambi atau bisa juga di Riau merupakan ibu kota Sriwijaya. Coedes lebih menempatkan Palembang sebagai ibu kota, dan barulah sekitar 1992 – 1993 Pierre Yves Manguin mengukuhkan hipotesa tersebut.

Ya, barangkali saja nasib Sriwijaya tak semujur Borobudur. Borobudur ialah kuil dan monumen Budha terbesar di dunia. Selesai dibangun sekitar 830 M oleh Raja Samaratungga, informasi tentang candi ini praktis telah terpublikasikan sejak seperempat awal abad ke-19 dengan terbitnya The History of Java karya Sir Thomas Stamford Raffles (1817).

Jelas, menurut Vlekke Syailendra dari Jawa pastilah penguasa yang sangat kaya dan kuat, mengingat wangsa ini bisa membangun monument sebesar dan sesempurna Borobudur. Wangsa Buddhis yang berkuasa di Jawa Tengah ini, yaitu wangsa Syailendra, pastilah memiliki hubungan khusus dengan Kerajaan Sriwijaya yang berlokasi di Sumatra.

Pertanyaannya ialah, siapakah Syailendra? Nama Syailendra dijumpai pertama kali dalam prasasti Kalasan (778 M). Kemudian muncul lagi dalam inskripsi Kelurak (782 M), Abhayagiriwihara (792 M), Sojomerto dari sekitar akhir abad ke-7 Masehi, dan Kayumwunan (824 M). Sedangkan dari luar Indonesia nama ini ditemukan dalam prasasti Ligor (775 M) dan Prasasti Nalanda. Merujuk tafsiran Vlekkek, Syailendra yang berarti “Raja Gunung” pastilah sudah dipakai lebih lama di Fu-nan di Kamboja sebelum diperkenalkan di Jawa.

Banyak tafsiran seputar asal usul wangsa ini. Majumdar beranggapan, keluarga Syailendra baik di Sriwijaya (Sumatra) maupun di Medang Kamulan (Jawa) berasal dari Kalingga (India Selatan). Pendapat yang sama juga dikemukakan Nilakanta Sastri dan Moens. George Coedes lain lagi, peneliti ini lebih condong kepada anggapan asal Syailendra ialah Funan (Kamboja).

Sementara itu tafsiran Syailendra berasal dari Indonesia mengemuka dari, salah satunya tokoh Poerbatjaraka. Teori ini mengajukan hipotesa, wangsa Syailendra bisa jadi berasal dari Sumatra dan kemudian berpindah ke Jawa, atau mungkin juga asli Jawa tetapi mendapatkan pengaruh dan dukungan kuat dari Sriwijaya atau Sumatra.

Bahkan menurut Poerbatjaraka, sebenarnya Sanjaya dan keturunannya yang ialah pendiri candi-candi Hindu pertama di Jawa ialah raja-raja dari keluarga Syailendra. Pada awalnya mereka memang menganut agama Hindu-Siwa. Namun sejak Raja Panamkaran atau Panangkarana berpindah agama menjadi pemeluk Buddha Mahayana, sekalipun nantinya pada generasi pelanjut mereka yang di Jawa kembali memeluk Siwais dan yang di Sumatra tetap kukuh memeluk Buddha.

Hipotesis Poerbatjaraka ini juga sesuai dengan isi Prasasti Raja Sankhara. Sebuah prasasti berasal dari abad ke-8 yang pernah dikoleksi oleh Museum Adam Malik namun kini hilang entah ke mana.

Tafsiran Vlekke juga menarik disimak. Dia menunjukkan adanya perkawinan antara Wishnu, yaitu anak Raja Sanjaya, pendiri Mataram Hindu di Jawa, dengan putri penguasa Fu-nan di Kamboja. Singkat cerita, putra Sanjaya itu lantas memiliki dua anak yang keduanya menjadi raja. Anak tertuanya menerima gelar Maharja, namun kalah pamor dengan adiknya yang bergelar “Sri Maharaja Syailendravamca Sarvarimadamathana,” “Tuan pembasmi musuh-musuhnya.” Adiknya ini pulalah yang mengambil gelar Syailendra.

Dalam perjalanannya kemudian setelah berhasil menjadi raja paling berkuasa di Asia Tenggara, ia mengawinkan putranya yaitu Samaragrawira dengan putri pewaris Sriwijaya di Sumatra. Pada konteks inilah, mengikuti tafsiran sejarawan NJ Krom, Vlekke menganggap Samaragrawira ialah identik dengan Samaratungga, si pendiri Borobudur.

Adanya korelasi kuat dan khusus antara Buddha di Sumatra dan di Jawa inilah, kata kunci di balik pembangunan Borobudur. Kekayaan gabungan antara Jawa dan Sumatra inilah menurut tafsiran Vlekke membuat bangsa Nusantara sanggup mendirikan Borobudur yang agung.

Apa yang penting dicatat di sini: menurut Denys Lombard (1996), di India atau bahkan di negeri Srilangka sekalipunlokasi yang diduga ialah tempat lahir Pangeran Siddharta ternyata justru sama sekali tidak dikenal satu pun bangunan sejenis atau setipe Borobudur. Artinya tak berlebihan sebenarnya jika di sini Indonesia bisa mendaku, bukan saja wangsa Syailendra berasal dari Nusantara, melainkan bahkan lebih jauh desain arsitektur dan teknologi Borobudur merupakan temuan genial dan otentik bangsa Indonesia.

Selain itu, penting juga dicatat bahwa, hingga awal abad ke-11 M Sriwijaya masih terhitung merupakan salah satu pusat studi Budha Mahayana di kawasan Asia. Prasasti Nalanda (sekitar pertengahan abad ke-9 M) mencatat, Raja Balaputradewa yang sering disebut sebagai raja terakhir wangsa Syaliendra di Jawa dan kemudian jadi raja di Sriwijaya, dikatakan telah membangun sebuah institusi di “universitas” Buddhis di Nalanda di Benggala.

“Atas permintaan Maharaja Balaputradewa yang termasyhur, raja Swarnadwipa melalui utusannya, maka saya membangun wihara ini.” Demikianlah bunyi kalimat pertama bagian isi prasasti tersebut. (W-1)