Indonesia.go.id - Hikayat Nama Jakarta

Hikayat Nama Jakarta

  • Administrator
  • Kamis, 27 Desember 2018 | 11:56 WIB
TOPONIMI
  Peta Kota Batavia. Sumber foto: Dok Kemdikbud

Sepanjang sejarahnya, nama Ibu Kota telah berganti berulang kali. Pergantian nama selain terkait dengan momen peristiwa sejarah yang berlangsung saat itu, usia kota Jakarta yang terbilang tuapun pasti menyimpan banyak hal menarik untuk disimak.

Jakarta adalah nama Ibu Kota Republik Indonesia. Bicara nama kota ini, tercatat sejarah telah mengalami beberapakali perubahan.

Sebelum berada di bawah kekuasaan Kerajaan Galuh-Pakuan di abad ke-12, nama kota ini adalah ‘Sunda Kelapa’. Namun demikian, konon, sejatinya eksistensinya telah ada sejak abad ke-5. Berada di bawah Kerajaan Tarumanegara.

Sekalipun Kerajaan Tarumanegara ini meninggalkan tujuh prasasti, tak satupun yang ditemukan di kawasan Jakarta sekarang. Lima prasasti ditemukan di kawasan Bogor, satu prasasti ditemukan di daerah Bekasi, dan satunya lagi di daerah Lebak Pandeglang (Banten). Berdasarkan Prasasti Kebon Kopi (942 M), nama ‘Sunda Kalapa’ diperkirakan baru muncul memasuki abad sepuluh.

Catatan nisbi lengkap tentang keberadaan Kerajaan Tarumanegara barulah tersusun dalam Naskah Wangsakerta. Namun dikarenakan naskah ini baru ditulis di abad ke-17, walhasil menyimpan banyak kontroversi dan polemik. Dalam kumpulan naskah yang disusun oleh Pangeran Wangsakerta selama 21 tahun, dari 1677–1698, disebutkan wilayah kekuasaan Kerajaan Salakanagara sebagai embrio dari Kerajaan Tarumanegara itu mencakup Jawa bagian barat, termasuk semua pulau yang terletak di sebelah barat Pulau Jawa, yaitu wilayah yang meliputi Lampung sekarang.

Dari Naskah Wangsakerta itulah muncul dua tafsiran. Pertama, ibu kota dari Kerajaan Salakanagara berkedudukan di ‘Pandeglang’, yang kini termasuk merupakan daerah di Propinsi Banten. Dan kedua, ibu kota dari Kerajaan Salakanagara berkedudukan di ‘Ciondet’, yang kini diperkirakan merupakan wilayah di Jakarta Timur. Ciondet alias Condet berada tidak jauh dari bandar niaga besar bernama Sunda Kelapa, yang hanya berjarak sekitar 30 kilometer ke arah utara.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1545981403_Lukisan_balai_kota_Batavia.jpeg" style="height:542px; width:800px" />

Lukisan balai kota Batavia oleh Johannes Rach tahun 1770. Sumber foto: Wordpress

Kembali pada penamaan orang di masa lalu atas areal yang kini menjadi kawasan Jakarta. Saat orang Portugis pertama kali mengunjungi Kerajaan Galuh-Pakuan di tahun 1511, berdasarkan laporan yang disimpan di Torre de Tombo Lisabon kota itu disebut dengan nama ‘Kalapa’ (Adolf Heuken, 2001).

Namun semenjak pelabuhan Sunda Kelapa dikuasai oleh Fatahillah di tahun 1527, namanya diubah menjadi ‘Jayakarta’. Orang Barat yang singgah menyebut kota ini dengan nama ‘Jacatra’. Sampai 1619 orang Belanda masih menyebut dengan nama itu.

Akan tetapi sejak Jan Pieterszoon Coen dengan membawa 1.000 pasukan menyerang Kerajaan Banten dan menghancurkan Jayakarta pada 1619, praktis kota ini dikuasai Belanda. Melalui kesepakatan De Heeren Zeventien (Dewan 17) dari VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie), maka pada 4 Maret 1621 namanya diubah menjadi ‘Batavia’.

Nama ini berasal dari nama etnis Jermanik yang bermukim di tepi Sungai Rhein, dan dianggap sebagai nenek moyang bangsa Belanda dan Jerman, ‘Bataf’. Bangsa Belanda sangat mengagungkan nenek moyangnya sehingga mereka merasa perlu mengabadikan nama Batavia di negeri jajahannya, termasuk di Indonesia.

Pada 1869, dalam kerangka memperingati 250 tahun usia Batavia, maka dibangunlah monumen JP Coen. Konon, monumen itu berlokasi di halaman Kementerian Keuangan saat ini, Lapangan Banteng di Jakarta Pusat. Di atas fondasi beton yang kokoh, berdiri patung Coen yang dengan angkuhnya menggambarkan keberhasilannya menaklukkan Jayakarta. Patung ini menjadi simbol dimulainya penjajahan Belanda yang pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) dihancurkan.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1545979636_Segitiga_pasar_senen_pada_masa_VOC.jpg" style="height:794px; width:800px" />Segitiga Pasar Senen. Sumber foto: Dok Kemdikbud

Batavia juga merupakan nama sebuah kapal layar yang cukup besar buatan Belanda (VOC). Dibuat pada 29 Oktober 1628, kapal ini dinahkodai oleh Kapten Adriaan Jakobsz. Tidak jelas sejarahnya, entah nama kapal tersebut yang merupakan awal dari nama kota Batavia, atau sebaliknya pihak VOC yang menggunakan nama Batavia untuk menamai kapalnya. Tapi, secara kronologis barangkali nama kapal itu ditorehkan lebih kemudian.

Namun demikian secara lingua franca bahasa Melayu saat itu, penyebutan Betawi nisbi masih sering terdengar. Menariknya, pada perkembangannya kemudian penduduk etnis asli setempat disebut dengan nama ‘Betawi’. Sekalipun tidak terlalu pasti sejak kapan penggunaan label ini, secara etimologis susah untuk tidak menduga bahwa kata Betawi berasal dari kata Batavia.

Orang Jawa juga menyebut dengan nama Betawi. Akan tetapi konon penyebutan itu bukan berasal dari kata Batavia yang mengalami pelafalan secara lokal ke dalam bahasa Jawa. Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, saat Sultan Agung menyerang Batavia dengan maksud mengusir VOC, orang Belanda lebih populer disebut dengan nama kompeni. Istilah ini jelas merupakan produk pelafalan lokal bahasa Jawa dari bahasa Belanda, Compagnie.

Ada dua kali penyerbuan Mataram yang tercatat gagal total itu, yaitu pada 1628 dan 1629. Seturut tuturan Babad Tanah Jawa itu, memasuki serangan kedua itu posisi kompeni sebenarnya sempat kewalahan dan bahkan kehabisan peluru. Dan sebagai ganti amunisi prajurit-prajurit Mataram lantas dilempari dengan tinja. Walhasil, pasukan Mataram lari karena tidak tahan bau tinja, sehingga berbuntut kekalahan. Tinja dalam bahasa Jawa ‘tai’, dan kemudian dari sanalah julukan Batavia sebagai berasal dari kata Betawi alias ‘mambet tai’, artinya ‘bau tinja’. (Adolf Heuken, 2001).

Tercatat sejarah, nama Batavia paling lama dikenakan. Tiga abad lebih, nama Batavia digunakan untuk menyebut nama kota ini. Setidaknya bermula pada 1619, atau sumber lain mengatakan tahun 1621, hingga tahun 1942. Yaitu sejalan dengan kebijakan de-Nederlandisasi oleh Pemerintah Jepang, nama kota sengaja diganti dengan bahasa Indonesia atau Jepang. Walhasil, pada 1942 nama Batavia berubah menjadi ‘Djakarta’ sebagai akronim ‘Djajakarta’.  

Menurut Lasmijah Hardi dalam ‘Jakartaku, Jakartamu, Jakarta Kita’ (1987), pergantian nama itu bertepatan dengan perayaan Hari Perang Asia Timur Raya pada 8 Desember 1942. Nama lengkap kota itu ialah ‘Jakarta Tokubetsu Shi’.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1545912258_Pasar_Baru_1949.jpeg" style="height:611px; width:800px" />

Pasar Baru 1949. Sumber foto: Wordpress

Setelah Jepang kalah dalam Perang Dunia ke-2 dan Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, nama Jakarta tetap lazim dipakai orang Indonesia dengan meninggalkan nama Jepang-nya.

Memasuki zaman Indonesia merdeka, Menteri Penerangan RIS (Republik Indonesia Serikat) saat itu, yaitu Arnoldus Isaac Zacharias Mononutu, menegaskan bahwa sejak 30 Desember 1949 tak ada lagi sebutan Batavia bagi kota ini. Sejak saat itu, nama Ibu Kota Republik Indonesia adalah Jakarta.

Pemberian nama Jakarta ini kembali dikukuhkan pada 22 Juni 1956 oleh Wali Kota Jakarta Sudiro (1953-1960). Saat itu, sebelum 1959, posisi Jakarta masih merupakan bagian dari Provinsi Jawa Barat. Pada 1959, status Jakarta mengalami perubahan dari sebuah kota praja di bawah wali kota ditingkatkan menjadi Daerah Tingkat Satu yang dipimpin oleh gubernur. Gubernur pertama ialah Soemarno Sosroatmodjo. Pada 1961, status Jakarta diubah kembali, dari Daerah Tingkat Satu menjadi Daerah Khusus Ibu Kota (DKI).

Sedangkan penetapan tanggal 22 Juni itu sengaja didasarkan pada momen peristiwa kemenangan Fatahillah mengusir Portugis dari Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527. Seperti diketahui, untuk memperingati momen itu nama Sunda Kelapa kemudian diubah menjadi Jayakarta. Dan hingga kini setiap tanggal 22 Juni praktis diperingati sebagai HUT Ibu Kota Republik Indonesia. (W-1)