Indonesia.go.id - Islam Aboge, sebuah Wajah Islam Lokal

Islam Aboge, sebuah Wajah Islam Lokal

  • Administrator
  • Senin, 30 Desember 2019 | 04:43 WIB
SOSIAL BUDAYA
  Gunungan terbuat dari tembakau dan palawija diarak dari Halaman Setda Temanggung menuju Alun-Alun Temanggung dalam \"Slametan wiwit tembakau merti Bhumi Phala 2019\", Sabtu (27/04/2019). Foto: Dok. Pemda

Dewi Sri adalah dewi pertanian, penguasa padi, sawah, dan ladang, sekaligus juga dewi kesuburan. Konon, pemuliaan Dewi Sri di Jawa telah berlangsung sejak masa pra Hindu-Budha. Eksistensinya hingga kini masih diakui oleh warga Lamuk Legok, sekalipun di sana Islam telah dianut sejak lama.

Islam Jawa atau Islam Kejawen, atau mungkin lebih tepat dideskripsikan sebagai Islam sebagaimana dianut dan dipraktikkan oleh masyarakat Jawa, sejak lama telah dikenal akomodatif dengan muatan budaya lokal.

Ya, sejak lama Islam di Jawa memang telah dikenal oleh para Indonesianis sebagai memiliki kecenderungan akulturasi yang kuat. Bahkan naga-naganya Islam di Jawa bukan semata ditandai adanya akomodasi budaya lokal semata, melainkan lebih jauh juga telah mengembangkan model keislaman yang sinkretis atau bersifat lokalistik Jawa.

Bicara konteks Islam Jawa, di sini menarik disimak model keislaman yang dipraktikkan oleh masyarakat Dusun Lamuk Legok, Desa Legoksari, Kecamatan Tlogomulya, Kabupaten Temanggung. Masyarakat di sana menganut Islam Aboge.

Merujuk penelitian lapangan Elva Laily, Srinthil, Pusaka Saujana Lereng Sumbing, Islam Aboge bukanlah suatu aliran keagamaan tersendiri. Pasalnya laiknya penganut Islam umumnya, masyarakat yang memeluk Islam Aboge juga menjalankan syariat Islam seperti salat lima waktu dan puasa pada Ramadan. Namun pelaksanaan ritual Islam-nya seringkali disertai pelbagai praktik ritus yang bersumber dari tradisi lokal.

Sekali lagi, Islam Aboge bukanlah aliran atau bentuk ajaran tersendiri. Aboge sendiri merupakan akronim dari Alip-Rebo-Wage, yang merupakan jenis perhitungan kalender Jawa menggunakan sistem satu windu (delapan tahun) untuk menyelesaikan satu periode waktu. Menurut Aboge, satu windu terdiri dari tahun Alip, He, Jim Awal, Je, Dal, Be, Wawu, dan Jim Akhir.

Sedangkan satu tahun tetaplah dua belas bulan, dan satu bulan terdiri atas 29-30 hari, dengan hari pasaran yang terdiri dari Pon, Wage, Kliwon, Manis (Legi), dan Pahing. Terkait sistem pasaran ini, hari pertama pada tahun Alip jatuh pada hari Rebo Wage.

Bukan hanya masih dianut di Lamuk Legok, hingga sekarang Islam Aboge juga masih berkembang  luas di daerah sekitar Kabupaten Banyumas  seperti Jatilawang, Ajibarang, Rawalo, Pekuncen, Karanglewes, dan Wangon. Oleh para penganutnya diyakini, bahwa sistem perhitungan kalender ini telah dipergunakan oleh para wali sejak abad ke-14.

Menarik disimak. Laiknya paham Kejawen, cara berdoanya warga Lamuk Legok, masih seturut Laily, selalu menyelipkan ungkapan: “kakang kawah adi ari-ari, kiblat papat limo pancer.”  Sedulur papat adalah empat unsur yang lahir ke dunia ini bersamaan dengan kelahiran bayi. Kawah atau ketuban, ari-ari atau plasenta, puser atau tali pusar, dan getih atau darah. Sedangkan aspek kelima ialah pancer atau pusat, yang berarti kita sendiri sebagai pusat kehidupan ketika dilahirkan.

Masih seturut Laily, saat berdoa masyarakat Lamuk Legok selalu diawali membaca basmalah, lantas dilanjutkan membaca doa berikut: “kakang kawah adi ari-ari sederek pitu ingkang nunggil sak garwo putro ingkang kahurmatanku mboten kahurmatan kiblat sekawan gansal pancer sedoyo tansah tumanjuk wonten ing jiwo kasaleliro ing saklami-laminipun.”

Singkat kata, doa itu dimaksudkan memberi hormat bakti kepada unsur-unsur pada diri manusia sendiri, bumi, air, angin, api, cipta, logika, pikiran untuk tetap jadi satu kesatuan utuh sebagai bekal menjadi diri pribadi selamanya.

Setiap bulan, masyarakat Islam Aboge selalu mengadakan ritual slametan. Acara ini diadakan setiap bulan di atas tanggal 10 atau sebelum tanggal 15 menurut sistem kalender Jawa. Slametan bulanan ini bertujuan untuk menghormati para nabi dan para wali. Dalam ritual ini selalu disediakan jenang abang petak (bubur merah putih) sebagai semacam sesaji (sesajen).

Ritus dan Siklus Tanam Tembakau

Terkait siklus tanam tembakau, praktik Islam Aboge di Lamuk Legok ternyata telah memunculkan pelbagai ritual tersendiri. Bukan tidak mungkin, ritus yang terkait secara erat dengan siklus tanam tembakau ini merupakan bentuk ritual khusus yang tidak bakal ditemui dalam komunitas Islam Aboge di tempat lain.

Ya, secara umum pelbagai ritual Islam Aboge di Lamuk Legok ialah bentuk penghormatan masyarakat kepada Dewi Sri. Dewi Sri, simbol kesuburan dan sekaligus tumpuan harapan akan kesejahteraan petani, selama ini melalui tembakau dianggap telah memberikan keberkahan kepada warga Lamuk Legok. Pelbagai ritual dilakukan mulai dari fase sebelum menanam hingga fase pasca panen tembakau.

Ritus nyecel atau lekas Macul. Ritual ini dilakukan petani untuk mengawali pencangkulan tanah. Ritual ini dilakukan di kebun tembakau. Selain membakar kemeyan, sesaji (sajen) berupa tumpeng cambah pethek juga harus disediakan.

Sesaji ini berisi antara lain, nasi yang dibuat tumpeng dan lantas dibakar. Di atasnya diberi tusukan cabai merah, bawang putih, dan bawang merah. Selain itu, juga harus disediakan pethek (ikan asing kering), kecambah, dan terasi, serta telur ayam kampung rebus sebagai pelengkap.

Di sini patut disimak maknanya. Kemenyan melambangkan kesucian. Tumpeng melambangkan keselamatan. Proses pembakaran tumpeng memiliki filosofi jiwa yang ditempa supaya bisa tangguh menghadapi tekanan dan keadaan. Kecambah atau tunas merupakan simbol rezeki yang terus bertambah. Sementara, tusukan cabe merah, bawang merah, dan bawang putih melambangkan tombak yang diyakini dapat menolak bala.

Pethek merupakan simbol penyatuan, antara Dewi Sri dan Joko Bergolo. Sebuah mitos atau folklore lain yang masih dipercayai oleh masyarakat hingga kini, selain tentu saja kisah Ki Ageng Makukuhan dan Sunan Kudus seperti telas ditulis pada artikel Srinthil, Sang Primadona.

Terasi, sejenis pasta yang dibuat dari ikan atau udang, ditempatkan sebagai perwujudan saripati dari laut. Sesaji terasi ini diyakini bisa menetralisir makhluk-makhluk jahat yang mengganggu di tempat-tempat berair di sekitar kebun tembakau. Telur rebus merupakan simbol dari awal kehidupan. Bahwa, petani akan memulai lembaran kehidupan baru, dari tahapan mulai tanam hingga tahapan panen.

Ritus lekas nandur atau nglekasi. Ritual ini lazimnya dilakukan sebulan sebelum proses penanaman bibit tembakau di mulai. Laiknya nyecel, selain juga dilakukan di ladang tembakau, sesajinya juga sama yaitu tumpeng cambah pethek. Benih tembakaunya sendiri ditutupi kain batik atau jarit bermotif ceplok songo.

Doa dan harapan yang diungkapkan petani ketika melakukan ritual nglekasi kurang lebih seperti ini:

“Niat ingsung arep nitip nandur mbako ono ing tegal kene. Mugo-mugo Gusti Allah maringi pitulungan, mbakone lemu, adoh seko panggodho pengencono, nyuwun berkahe para nabi, para wali, nyuwun berkahe Ki Ageng Makukuhan, panembahan tegil. Mbesok mbakone payu larang tak upahi-upahi juadah pasar ketan salak.”

Artinya:

“Niat hamba hendak menanam tembakau di ladang ini. Semoga Gusti Allah memberi pertolongan, tembakaunya subur, jauh dari gangguan dan acaman. Mohon berkah dari para nabi, para wali, dan berkah dari Ki Makukuhan, serta sang penjaga ladang. Jika nanti tembakau laku dengan harga tinggi, hamba akan persembahkan juadah pasar dan ketan salak.”

Ritual nyecel dan nglekasi ini, seturut Laily, bisa dikatakan sebuah janji antara petani dan Dewi Sri.

Ritus miwiti atau lekas petik. Ritual ini dilakukan saat mengawali proses pemetikan daun tembakau. Juga dilakukan di ladang tembakau, sedangkan waktu pelaksaan ritual tidak boleh bertepatan dengan momen yang disebut “sangar taun. Istilah ini untuk menyebut hari pertama permulaan tahun Jawa, yaitu pada hari Rabu dengan pasaran Wage.

Selain itu, waktu lain yang harus dihindari terkait ritus ini ialah hari naas, misalnya terkait hari kematian orang tua.

Bicara sesajinya, selain tumpeng cambah pethek, juga ditambah beras kapuroto, gula kelapa, biji-bijian, telur rebus, dan kemenyan. Beras kapuroto adalah beras yang dicampur dengan parutan kunyit sehingga berwarna kuning. Unsur ini dipercaya bisa menolak bala dan sekaligus menjadi simbol harapan bahwa nantinya tembakaunya tumbuh berwarna keemasan. Gula kelapa juga melambangkan pengharapan hasil tanaman tembakaunya akan berbuah manis.

Ritus tungguk. Ritual ini dilakukan saat pertengah petik tembakau. Seperti diketahui, memanen daun tembakau haruslah bertahap, dari daun paling bawah hingga daun paling atas, yang memakan waktu antara 3 - 4,5 bulan. Untuk tahap pemetikan di tengah inilah ritual tungguk dilakukan.

Prosesinya ritual dan sesajinya sebenarnya tak jauh beda dengan miwiti. Hanya saja ritual kali ini ada beberapa syarat tambahan seperti ayam, jadah pasar, tembakau, ketan salak, daun sirih, candu, uang dan bunga wangi.

Pernak-pernik sesaji ini juga mempunyai makna tersendiri. Tembakau adalah wujud dharma bakti petani pada Ki Ageng Makukuhan. Candu untuk menolak bala dari makhluk-makhluk jahat di ladang. Ketan salak, yaitu beras ketan yang dimasak dengan gula jawa, jadi simbol keakraban warga dengan Ki Ageng Makukuhan. Daun sirih melambangkan Dewi Sri. Sementara, bunga wangi jadi simbol pengharapan semoga tembakau Srinthil bisa dikenal harum ke seluruh dunia.

Ritus kepungan jenang candil. Ritual ini dilakukan saat akan memulai proses rajang tembakau dengan tujuan sebagai bentuk hormat pada Saudagar Dampu Awang. Sebenarnya tidak terlalu jelas siapakah sosok ini. Tapi masyarakat Lamuk Legok meyakini, ia adalah pembeli pertama tembakau Srinthil untuk dijual di Kudus. Harapan ritual ini ialah doa permohonan supaya tembakau yang dirajang nantinya bisa nyrinthil atau menjadi kualitas Srinthil.

Ritus merti desa atau besaran. Ini merupakan slametan terbesar dengan rangkaian prosesi ritual yang panjang dan melibatkan seluruh warga Desa Legoksari. Diadakan setahun sekali, tepat di bulan Besar, yaitu bulan terakhir sebelum masyarakat memasuki Tahun Baru Islam, yaitu Sura atau Muharam. Ritual ini merupakan ekspresi rasa syukur masyarakat setelah diberikan keselamatan selama satu tahun musim tembakau.

Ya, dari seluruh rangkaian ritual terkait siklus tanam tembakau terlihat makna keberadaan Dewi Sri. Nama Srinthil sendiri, seturut pemahaman masyarakat Lamuk Legok, juga terkait Dewi Sri.

Penamaan tembakau Srinthil berasal dari kalimat “Sri-ne nginthil.” Kata ‘sri’ merujuk pada Dewi Sri, sedangkan kata ‘nginthil’ berarti mengikuti. Ya, sekiranya doanya dikabulkan dan ia ketiban pulung, sehingga daun tembakau rajangan miliknya jadi Srinthil, maka mereka meyakini bahwa keberkahan Dewi Sri tengah mengikutinya.

Ya, Dewi Sri (Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri (Sunda), Sangiang Serri (Bugis), adalah dewi pertanian, penguasa padi dan sawah serta ladang, sekaligus juga dikenal sebagai dewi kesuburan di Nusantara. Konon, pemuliaan Dewi Sri di Jawa telah berlangsung sejak masa pra Hindu-Budha. Eksistensinya hingga kini masih diakui warga Lamuk Legok, sekalipun di sana Islam pun telah dianut sejak lama. (W-1)