Dalam Muktamar NU (Nahdlatul Ulama) ke-33 di Jombang pada 2015 diluncurkan terminologi ‘Islam Nusantara’. Islam Nusantara sebenarnya hanyalah nama lain dari ‘Islam moderat’, yang sengaja menonjolkan spirit rahmatan lil 'alamin bagi siapapun tanpa kecuali.
Benar, Islam Nusantara memang terkesan sengaja dirumuskan sebagai wacana tanding dari wacana Islam arus utama yang “pusat”-nya ialah Islam Timur Tengah. Patut diduga Islam Nusantara ialah manifestasi lebih jauh dari realisasi ide ‘Islam Jalan Tengah’, yang digagas pada konferensi ulama se-ASEAN ‘The Jakarta International Islamic Conference’ pada 2003.
Tentu saja istilah ini sempat menuai polemik. Bagi yang kontra, mereka beranggapan bahwa Islam adalah Islam, titik, dan tidak perlu dikotak-kotakkan dengan penambahan definisi atau penamaan (labeling) “nusantara”. Sedangkan bagi yang pro, definisi atau labeling “nusantara” ini tentu saja penting, mengingat sistem doktriner Islam secara empiris ternyata seringkali berbeda pada tingkatan praksis maupun corak karakteristiknya di berbagai wilayah dunia.
Ada beberapa alasan patut dicatat di sini, yang menjadikan Islam di Asia Tenggara dan khususnya Islam Indonesia menjadi berbeda dengan Islam di kawasan lain. Pertama, terkait watak penyebaran Islam saat pertama kali masuk ke kawasan ini pada umumnya berlangsung secara damai. Islam diperkenalkan melalui proses interaksi perdagangan dan jalan kebudayaan. Sekalipun barangkali saja pada satu atau dua kasus di wilayah tertentu telah muncul kekerasan dan ekspansi militer, fenomena ini bukanlah arus utama penyebaran Islam di Indonesia.
Kedua, Islam dibawa masuk ke Indonesia oleh para guru sufi atau tasawuf, yang mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan Islam. Islam sufistik ini memiliki kecenderungan kuat untuk lebih akomodatif dan inklusif terhadap tradisi dan praktik keagamaan lokal. Merujuk Tome Pires, Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce 1450-1680 (1993), mencatat adanya kontinuitas antara tradisi kepertapaan (asketisme) Hindu-Budha dan masuknya Islam melalui para guru sufi di Jawa yang memudahkan agama yang terakhir ini diterima di Nusantara.
Ketiga, sosiologi masyarakat Asia Tenggara umumnya berbeda dengan kaum muslimin di kawasan Timur Tengah atau tempat lainnya. Masyarakat Asia Tenggara, tentu saja termasuk Indonesia, pada umumnya tumbuh dalam budaya pesisir yang kehidupannya bergantung pada perdagangan antarpulau dan antarbenua. Walhasil, adanya budaya kosmopolitanisme ini membawa keterbukaan akan ide-ide atau gagasan baru lazim terjadi dalam kebudayaan masyarakat pesisiran.
Sedangkan bagi yang berada di pedalaman ialah masyarakat agraris yang bergantung pada pertanian. Masyarakat agraris banyak dipengaruhi pandangan-dunia mistis. Terlebih adanya jejak-jejak pengaruh Hindu-Budha di Jawa, yang oleh Harry J Benda disebut sebagai kawasan Indianized Southeast Asia, juga telah tertanam kuat. Kombinasi sosiologis masyarakat agraris plus warisan pengaruh indianisasi Jawa ini sedikit atau banyak tentu mempengaruhi pandangan Islam di kalangan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat Jawa.
Indonesia Islam Moderat
Adalah Abdurrahman Wahid atau sohor dijuluki Gus Dur, semenjak akhir 1980-an telah menggulirkan gagasan “Pribumisasi Islam”. Ide atau gagasan ini patut diduga secara geneologi menjadi cikal-bakal dari kemunculan terminologi Islam Nusantara. Gus Dur pada suatu kesempatan juga pernah mengatakan, “Indonesia ialah negerinya kaum Muslim moderat”.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1549866124_Makam.jpg" />
Ziarah Kubur. Sumber foto: nu.or.id
Bicara proyek penguatan wacana Islam Nusantara—atau ‘Islam Wasathiyah’ sebagai padanan arti ‘Islam moderat’—sebenarnya secara embrional telah digagas oleh banyak peneliti maupun tokoh Islam sejak memasuki dasawarsa 1990-an. Dari ranah peneliti sebut nama John L Esposito, Bruce Lawrence, Fazlur Rahman, Bassam Tibi, atau juga Azyumardi Azra.
Secara umum para peneliti ini memberikan garis cetak tebal, bahwa Islam di Asia Tenggara juga di Indonesia memiliki ciri khas cinta damai, momot budaya lokal yang kuat, bersifat inklusi, pluralis, dan tidak ekstrim serta cendurung toleran atas banyak perbedaan. Ciri-ciri ini ditempatkan sebagai karakteristik yang membedakan Islam Asia Tenggara dengan Islam Timur Tengah.
Kembali bicara gagasan Pribumisasi Islam Gus Dur, setidaknya dapat disarikan menjadi tiga pilar, yaitu, pertama, keyakinan bahwa Islam harus secara aktif dan substansif ditafsirkan ulang supaya tanggap terhadap tuntunan kehidupan modern. Kedua, keyakinan bahwa dalam konteks Indonesia, Islam tidak boleh menjadi agama negara. Ketiga, bahwa Islam harus menjadi kekuatan yang inklusif, demokratis, dan pluralis, serta bukan menjadi ideologi negara yang eksklusif.
Sekalipun Gus Dur mendeskripsikan Islam bernilai universal, proses pembumian norma atau sistem doktriner ajaran itu justru harus disesuaikan dan selaras dengan konteks kebutuhan masyarakat Islam sendiri. Seturut ide Gus Dur, nilai-nilai Islam tidaklah serta-merta identik dengan budaya Arabisasi. Proses mengidentifikasi nilai-nilai Islam sebagai identik dengan budaya Timur Tengah itu sendiri jelas bakal membawa konsekuensi tercerabutnya jati diri bangsa Indonesia dari akar budayanya sendiri. Dan dalam konteks nation and character building negara-bangsa Indonesia tentu akan jadi persoalan tersendiri.
Patut dicatat di sini. Merujuk Gus Dur, ide pribumisasi Islam jelas tidaklah bermaksud mengubah norma atau sistem doktriner Islam, melainkan hanya mengubah manifestasi dari ajaran atau nilai-nilai Islam pada konteks kehidupan lokal. Pribumisasi Islam juga tidak berarti menempatkan Islam dalam posisi subordinasi budaya dan tradisi, pun tidak pula sebagai proses “Jawanisasi Islam”. Dengan begitu tujuannya ialah membumikan ajaran atau nilai-nilai Islam supaya bisa dipahami dengan mempertimbangkan konteks dinamika dan kebutuhan budaya setempat.
Substansi dari gagasan Gus Dur ini penting diperjelas. Pasalnya selama ini cenderung disalahtafsirkan, bahwa posisi agama dan kebudayaan sebagai dilihat dalam kerangka relasi kutub-duaan (binary opposition) sehingga dianggap saling bertentangan satu dengan lainnya. Kuatnya kerangka pandang yang bermaksud memisahkan antara agama dan kebudayaan jelas merupakan residu pandangan kolonialisme Belanda. Ini juga berarti problem pascakolonialisme hingga kini belum sepenuhnya tuntas terselesaikan.
Namun tak hanya itu. Upaya pemilahan dan pemisahan antara agama dan kebudayaan, di sisi lain sebenarnya juga berangkat dari mekarnya gerakan ‘Islam revivalis’ yang cenderung scripturalistic atau tekstual dalam memahami Islam. Mereka yang termasuk Islam revivalis ini cenderung mengeluarkan aspek kebudayaan manapun yang dianggap sebagai bersifat budaya non-Islami.
Membaca Kembali Abangan dan Santri
Simaklah kembali karya klasik Clifford Geertz ‘The Religion of Java’, misalnya, menurut Marshall GS Hodgson justru menunjukkan kekeliruan yang tanpa disadari oleh Geertz ketika merumuskan definisi Islam. Bagi Hodgson, terdapat bias kacamata formal pelaksanaan syariah versi kaum Islam modernis dan juga kurang kritis saat mengadopsi pendekatan kolonial untuk merumuskan definisi kaum ‘santri’.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1549870744_Upacara_adat_Nguras_Enceh_makam_Imogiri.jpg" />Upacara Adat Nguras Enceh Makam Imogiri. Sumber foto: Istimewa
Hodgson dalam The Venture of Islam memberi catatan kritis:
“Bagi yang mengerti Islam, menyimak datanya yang komprehensif itu—tak peduli maksud Geertz sendiri—justru menunjukkan betapa sedikitnya yang masih bertahan dari Hindu masa lalu, bahkan di pedalaman Jawa, dan, lebih jauh menimbulkan pertanyaan mengapa kemenangan Islam itu sedemikian sempurnanya”.
Tak kecuali juga muncul kritik dari Mitsuo Nakamura. Penelitian etnografi yang dilakukan di Kotagede-Yogyakarta, yang secara historis merupakan kantong masyarakat Kejawen, justru memperlihatkan temuan lain yang berbeda dari Geertz.
Dalam The Crescent Arises over the Bayan Tree (1976), Nakamura menjelaskan bahwa klasifikasi santri-abangan sebenarnya adalah subkategori atau variant pada kasus Islam di Jawa. Klasifikasi santri-abangan ini lebih bersifat continual, dan bukan polaristik. Realitas ini hanya dapat dipahami jika keseluruhan alam pikiran keagamaan orang Jawa atau ‘Javanized Islam’ utuh dipahami secara mendalam. Adanya watak ambiguitas orang Jawa tampaknya membuat mereka menjadi susah memahami model klasifikasi ganda secara kaku (rigid), terlebih dalam skema polarisasi yang saling meniadakan satu dengan lainnya.
Menurut Nakamura, sejauh penelitian lapangannya di Kotagede di awal 1970-an, kaum santri tidak pernah sekalipun beranggapan bahwa kaum abangan adalah orang kafir. Sedangkan bagi kaum abangan, sekalipun tidak atau belum melakukan salat, puasa dan zakat, di saat mereka hendak melakukan ritual slametan toh selalu menempatkan kaum santri selaku pemimpin doanya (tahlil). Juga saat kaum abangan hendak melakukan ritual penguburan bagi sanak dan keluarganya, mereka juga selalu meminta kaum santri untuk memimpin proses pembacaan doanya (talqin).
Artinya, bicara pada konteks hegemoni budaya, adanya pembacaan doa yang dipimpin oleh kaum santri dalam ritus slametan, baik itu tahlil maupun talqin, bagaimanapun ialah bentuk kepemimpinan sosiokultural secara persusif dari kaum santri terhadap kaum abangan.
Titik temu lain antara santri-abangan ialah ritual kubur atau lazim disebut ‘ziarah kubur’. Jelas, bahwa praktik ritual kubur di Jawa bukanlah monopoli kaum abangan saja. Kaum santri khususnya mereka yang tinggal di pedesaan terang juga melakukan ritual itu.
Menariknya, ritual kubur bagi kaum santri tidak melulu diartikan sebagai ritual sunnah. Ritual kubur, apalagi ke makam para wali, leluhur dan pahlawan bangsa, juga dimaknai sebagai upaya mencari ‘wasilah’, yang berfungsi menjadi semacam “perantara doa” bagi kaum santri kepada Tuhan.
Konsepsi semacam wasilah ini tentu juga dikenal dalam ritual kubur kaum abangan, sekalipun istilah maupun subyek pemuliaannya barangkali berbeda. Selain di makam leluhur keluarganya sendiri, ritual kubur kaum abangan lazimnya ditujukan kepada tokoh pemimpin dari tatanan sosial mereka seperti raja dan kerabatnya, yang sering diposisikan oleh kaum abangan mengemban fungsi sebagai representasi Gusti di dunia.
Jelas antara santri-abangan sebenarnya terdapat asumsi kosmologis yang “mirip”—untuk tidak mengatakan “sama”. Bahwa ritual kubur ke makam orang-orang yang dipandang suci itu bakal memberikan “kemudahan” hidup bagi kaum santri maupun abangan.
Sebagai penutup, jikalau seorang Marshall GS Hodgson saja menganggap kemenangan Islam, bahkan di Jawa sekalipun, dikatakan adalah demikian sempurnanya, maka tak berlebihan sebenarnya jikalau Kejawen secara simultan bisa dilihat sebagai proses penjawaan sufisme Islam atau juga sebagai pengislaman mistisisme Jawa sekaligus.
Tak salah melihat banyaknya penggunaan istilah kosa kata bahasa Arab dalam khasanah pandangan-dunia Kejawen, meskipun bisa jadi tanpa atau belum disertai pelaksanaan ritual salat, puasa, dan zakat, demikian sejatinya pengikut Kejawen juga masih bisa dikelompokkan sebagai Islam. Tentu saja dapat dibaca demikian ketika kerangka tasawuf atau sufisme ditempatkan mengedepan menjadi formula untuk merumuskan definisi Islam.
Ya, berpijak dari rumusan definisi Islam versi kaum Islam Sarungan inilah, yaitu kerangka tasawuf atau sufisme, maka Islam Nusantara sengaja dirumuskan sebagai tawaran Islam Indonesia kepada masyarakat manusia secara umum maupun kepada Dunia Islam secara khusus. Bahwa wajah Islam Indonesia sejatinya ialah wajah rahmatan lil 'alamin bagi siapapun tanpa pandang bulu. (W-1)