Tata busana dan tata rias pengantin yang berasal dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, misalnya, bukan hanya elegan namun juga sarat akan makna. Kecantikan wajah dengan bingkai paes dan rias Keraton Yogya akan membuat wajah pengantin terlihat menawan dan tak sanggup terbantahkan.
Tata rias pengantin Jawa memang memiliki simbolisasi yang berkaitan erat dengan falsafah hidup orang Jawa yang bernilai tinggi. Masyarakat Jawa meyakini bahwa makna yang terkandung dalam lambang tata rias pengantin tidak boleh sembarangan, karena akan mempengaruhi kehidupan pengantin di masa depan.
Paes atau pepaes, tata rias pengantin dalam bahasa Jawa yang memiliki arti membuat indah atau rerenggan pada dahi ini pada awalnya hanya meliputi kecantikan wajah. Seperti mempercantik alis, membersihkan rambut halus di dahi, mempercantik mata, dan sebagainya.
Namun dalam perkembangannya, pengertian tata rias pengantin meluas menjadi merias diri, yang dalam bahasa Jawa disebut ngrengga badan atau meliputi seluruh badan. Tidak hanya wajah ataupun rambut, tetapi termasuk pula kaki dan tangan.
Pekerjaan merias pengantin pun dilakukan oleh seorang juru paes yang memiliki syarat sebagaimana juru paes tempo dulu. Mulai dari ketrampilan, pengetahuan, martabat hingga kebatinan.
Seorang juru paes diharapkan bukan hanya ahli dalam bidangnya, tetapi juga menaati tradisi leluhur berkaitan dengan persiapan batin, yaitu dengan menjalani puasa sebelum merias pengantin. Tujuannya adalah untuk mengendapkan perasaan, membersihkan diri dan menguatkan batin agar nantinya dapat melaksanakan tugas dengan baik, terhindar dari segala bencana.
Perbedaan Paes Pengantin Solo dan Yogyakarta
Tradisi upacara pernikahan dalam adat Jawa mengacu pada tatanan yang berlangsung di keraton, baik Keraton Yogyakarta maupun Keraton Surakarta, Solo. Bagi masyarakat Jawa, keraton merupakan sumber tatanan dan tuntunan upacara yang berkenaan dengan tingkatan perjalanan hidup anak manusia. Termasuk dalam hal ini pernikahan.
Di Yogyakarta terdapat enam jenis tata rias pengantin yang hingga kini masih terus dilestarikan, yakni Paes Ageng, Paes Ageng Jangan Menir, Paes Ageng Kanigaran, Yogya Puteri, Kasatriyan Ageng dan Pura Pakualaman.
Sementara di Solo terdapat lima jenis tatarias dan busana pengantin. Kelimanya adalah; Solo Basahan, Solo Puteri, Solo Langenharjan, Solo Taqwa, dan Solo Mangkunegaran.
Berasal dari akar budaya yang sama, maka bila dilihat sekilas riasan wajah pengantin wanita Solo dan Yogyakarta terlihat serupa. Namun jika dicermati dengan baik, selain busana serta aksesoris yang dikenakan, bentuk paes pengantin wanita Yogyakarta maupun Solo memiliki perbedaan.
Terlihat pada bentuk pola rias atau cengkorongan paes, mulai dari bentuk penunggul atau gajahan, pengapit, penitis dan godheg. Untuk pengantin Yogyakarta, pola riasan yang ada di tengah dahi berbentuk seperti potongan daun sirih, berujung runcing dan sedikit melengkung. Sedangkan pengantin Solo, berbentuk setengah bulatan ujung telur bebek, yang dikenal dengan nama gajahan. Pengapit di kedua pola rias Yogya dan Solo, memiliki bentuk yang serupa, yakni ngundup kanthil.
Penitis merupakan pola rias yang letaknya berada di atas godheg. Pola penitis pengantin Yogya bentuknya seperti potongan daun sirih. Dimensinya lebih kecil dari penunggul. Tepi ujungnya runcing dan sedikit melengkung.
Untuk Solo, bentuknya setengah bulatan ujung telur ayam. Pola rias wajah terakhir dinamakan Godheg, yang pada pengantin Yogya berbentuk seperti ujung mata pisau, sedangkan pada pengantin Solo berbentuk kuncup turi atau ngundup turi.
Perbedaan lainnya terletak pada penggunaan prada atau serbuk emas di bagian tepi paes. Di beberapa riasan pengantin Yogya; Paes Ageng Jangan Menir dan Paes Ageng Kanigaran, menggunakan serbuk emas.
Sementara pada pengantin Solo tidak menggunakan prada. Pada ragam paes Solo, hanya dibedakan dengan penggunaan material pulasan (pidih) untuk paes. Paes Solo Basahan menggunakan pidih berwarna hijau, sementara pada Paes Solo Putri, cengkorong paes diisi dengan pidih atau lotha berwarna hitam.
Makna Filosofi Rerenggan
Rerenggan atau hiasan pada dahi pengantin putri tidak semata-mata ditatahkan untuk sekedar mempercantik saja. Lebih dari itu, terdapat makna filosofis di dalamnya. Dan setiap bentuknya mewakili pengharapan dan doa bagi sang mempelai dan keluarganya kelak.
Makna-makna dan filosofi lainnya dijelaskan sebagai berikut:
Penunggul atau Gajahan
Menggambarkan sesuatu yang baik. Diharapkan agar kedua mempelai dapat menjadi pasangan yang sempurna. Wanita selalu dihormati dan ditinggikan derajatnya.
Pengapit
Lambangnya mengapit atau mengontrol penunggul agar jalannya selalu lurus, sehingga tidak ada rintangan yang berarti dalam mengarungi bahtera rumah tangga.
Penitis
Melambangkan bahwa segala sesuatu harus ada tujuan dan tepat sasaran. Seperti dalam menentukan anggaran rumah tangga.
Godheg
Mempunyai makna agar kedua mempelai selalu introspeksi diri, dan dalam melaksanakan segala sesuatu tidak gegabah dan terburu buru.
Baik rerengan paes Yogya maupun Solo, semua tepi bawahnya mengarah ke ujung hidung (wandha luruh), artinya agar pengantin wanita yang kelak menjadi istri, hendaknya mempunyai sifat lembut dan rendah hati. (K-SB)