Jika pamor keris sementara ini masih sering digeneralisir sebagai identik dengan karakteristik pedang Damascus dan disebut sebagai “Damascus patterns”, maka merujuk definisi UNESCO yang jadi ciri karakteristik keris ialah bentuknya asimetris. Bentuk yang notabene asimetris adalah kata kunci dari keberadaan keris.
Dalam bahasa Jawa disebut “condong leleh”, yaitu derajat kemiringan sebuah bilah keris jika dilihat dari garis horisontal bilah bawah yang berbatasan dengan gonjo.
Derajat kemiringan tertentu yang membuat keris menjadi berbentuk belati yang asimetris inilah ciri karakteristik (distinctive) yang dimiliki senjata tradisional khas Indonesia dan notabene tidak bakalan ditemukan pada senjata-senjata tradisional milik bangsa-bangsa lain.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1543293444_Keris.jpg" style="height:297px; margin-left:100px; margin-right:100px; width:500px" />
Masih menurut UNESCO, bentuk keris, sebagaimana yang kita kenal sekarang setidaknya telah mulai muncul di abad ke-10, dan kemungkinan besar menyebar dari Pulau Jawa ke seluruh Asia Tenggara.
Benar, bahwa secara prototipe keris sudah tercatat ditemukan di beberapa candi. Sebutlah, di Candi Borobudur (abad ke-8) dan Candi Prambanan (abad ke-9).
Sekalipun pada kedua candi itu ditemukan relief yang mudah diduga merupakan senjata keris di zaman itu, secara umum bentuk desainnya boleh dikata berbeda dari desain keris saat ini. Pada relief kedua candi itu desain bentuk keris masih tampak berbentuk tegak dan tidak asimetris.
Masih merujuk deskripsi UNESCO, disebutkan bahwa nilai estetika sebilah keris ialah mencakup dhapur, pamor, dan tangguh.
Daphur ialah istilah bahasa Jawa yang dipakai untuk menyebut model atau bentuk keris. Ada komposisi ricikan atau ornamental yang memberi ciri pembeda pada keris yang satu dengan keris lainnya. Sudah tentu perbedaan ini juga memunculkan nama-nama dhapur yang beragam.
Keris lurus (lajer) dan ber-luk (kelok) dengan jumlah yang sama, misalnya, tetapi jika memiliki aspek ornamental atau ricikan yang berbeda, maka akan berbeda pula nama dhapur-nya. Setidaknya merujuk catatan UNESCO, terdapat 40 varian dhapur.
Bicara pamor, yaitu pola dekorasi pada bilah yang muncul dari kombinasi logam yang berbeda sebagai konsekuensi dari teknik tempa-lipat. Masih menurut UNESCO, tercatat terdapat 120 varian. Sedangkan bicara pola pamor keris, sebenarnya jelas berbeda dengan apa yang disebut 'Damascus patterns' pada pedang Damaskus.
Bagaimanapun, pamor memilki lebih banyak keragaman motif dekorasi daripada pedang Dasmaskus, yang muncul dari keragaman penguasaan dan keahlian teknis seni tempa-lipat dalam tradisi pembuatan keris.
Faktor lainnya ialah aspek tangguh. Istilah ‘tangguh’ ditambah awalan pe- dan –an menjadi ‘penangguhan’, istilah ini bermakna proses interpretasi perihal asal usul dan estimasi usia sebuah keris.
Menarik dicatat di sini, bicara penangguhan sebuah keris ialah pokok-soal yang sering memantik kontroversi (debatable). Masing-masing komunitas pengeris dari daerah yang berbeda cenderung memiliki perspektif epistemologi berbeda.
Walhasil, bicara penangguhan keris cenderung tidak mungkin didasarkan pada metode obyektivisme atau positivistik, melainkan lebih secara fenomenologis dan bernilai subyektif.
Meski begitu, jika bicara perihal keris yang dinggap berkualitas tinggi dan yang tidak, setidaknya banyak komunitas pengeris seringkali dapat tiba pada titik temu kesimpulan yang nisbi sama. Inilah uniknya dunia keris dan komunitas pengeris.
Bicara interpretasi tentang asal usul dan estimasi usia keris orang dapat berbeda pendapat satu dengan lainnya. Tapi begitu bicara apresiasi perihal kualitas seni garap sebuah keris, di sini justru nisbi ditemukan adanya “kebenaran intersubyektif” terkait capaian kualitas estetis itu.
Selain tercermin dari aspek garap atau pembuatan, yaitu bagaimana keris ini diolah tempa-lipat dari pelbagai jenis logam yang berbeda sebanyak ratusan atau bahkan ribuan kali, juga tercermin dari pilihan bahan itu sendiri.
Selain itu, proses pembuatannya juga tentu dikerjakan dengan ketelitian detail yang maksimal. Dari sanalah kualitas estetika dari seni olah tempa-lipat seorang Empu lazim dinilai dan diapresiasi, yakni apakah kualitasnya keris itu secara teknik pembuatan baik ataukah tidak.
Keberadaan Empu lazimnya merupakan profesi turun-temurun. Bukan saja dikenal sangat piawai tentang seni metalurgi, yakni kemampuan mengolah beragam jenis logam seperti besi, baja, nikel, dan lainnya, profesi ini juga memprasyaratkan adanya pengetahuan tambahan seperti sastra, sejarah, ilmu psikologi, dan ilmu gaib (olkutisme).
Oleh karena itulah, sekalipun posisi Empu nisbi tidak berada di puncak hirarki sosial budaya Jawa, misalnya, bicara kemampuan profesi Empu tersirat jelas dahulu sangatlah dihormati di tengah masyarakat.
Yang menarik, dulu keris bukan hanya dikenakan oleh kaum laki-laki tetapi juga kaum perempuan. Secara artefak dhapur keris yang diperuntukan khusus bagi kaum perempuan sering disebut cundrik dan patrem. Istilah patrem sebenarnya tidaklah merujuk pada sebuah model atau bentuk keris secara spesifik, melainkan lebih pada kategori ukurannya yang nisbi lebih kecil atau di bawah ukuran normal.
Selain itu, lekatnya keris bagi kaum perempuan juga tergambar pada ekspresi seni lainnya seperti tarian. Sebutlah Serimpi, misalnya, tarian yang konon dikreasi di zaman Sultan Agung berkuasa itu memiliki karakteristik menggunakan keris sebagai atributnya.
Sejarah evolusi keris yang nisbi sangat panjang bukan saja tercermin dalam tradisi perkerisan yang masih lestari sampai saat ini, melainkan juga masih hidupnya sektor kriya tradisional di beberapa daerah hingga sekarang.
Sebutlah Desa Aeng Tong Tong di Sumenep, Madura, misalnya, di sana masih ada ratusan orang menjalani profesi itu. Atau juga dua kota Vorstenlenden, Solo maupun Yogyakarta, masih sedikit tersisa Empu yang bekerja berdasar kaidah tradisi. Tak kecuali di Magetan, Madiun, contoh lain, pun masih eksis seorang Empu yang profesi sehari-harinya ialah menempa besi, baja, dan nikel, menjadi sebuah tosan aji.
Di zaman modern ini keris jelas bukanlah lagi difungsikan sebagai senjata tikam. Catatan terakhir digunakannya keris sebagai senjata tikam ialah pada 1908 ketika berlangsung Perang Puputan di Bali melawan tentara kolonial Belanda. Atau di sepanjang momentum revolusi kemerdekaan 1945 – 1949, itu pun difungsikan lebih sebagai jimat (talismans) dan sumber inspirasi kepahlawanan daripada berfungsi sebagai senjata taktis.
Dalam proposal pengajuan keris sebagai ‘Masterpiece of the Oral and Intangible Heritage and Humanity’ oleh UNESCO saat itu (2004) disebutkan, bahwa keris secara prinsipil memiliki lima fungsi dalam masyarakat Indonesia. Yaitu, tradisi, fungsi sosial, seni, filosofi, dan mistis.
Benar, barangkali saja bicara tentang kerumitan maknawi sebuah keris sebagai sistem simbolik secara njelimet (sophisticated) memang lebih merupakan fenomena budaya Jawa. Namun menyederhanakan keris adalah semata fenomena budaya Jawa terang sebuah kekeliruan.
Keris, bagaimanapun adalah fenomena senjata tradisional Nusantara. Merujuk dokumen proposal pengajuan keris ke UNESCO, setidaknya tercatat limabelas etnis atau daerah di Indonesia yang menjadi pengusung, yaitu Jawa, Madura, Bali, Sasak-Lombok, Sumbawa, Palembang, Jambi, Minangkabau, Banjar (Kalimantan Selatan), Kutai, Bugis, dan Toraja.
Bagaimana lekatnya keris dalam budaya masyarakat tercermin di beberapa kebudayaan seperti pada masyarakat etnis Jawa, misalnya. Posisi keris masih sering dikenakan dalam upacara-upacara atau ritual khusus. Sebutlah di Yogyakarta atau Solo, pada tiap malam 1 Suro kedua kraton di sana masih mengadakan prosesi mengarak keris dan pusaka lainnya mengelilingi bangunan benteng kraton.
Selain itu, keris sering dianggap sebagai pusaka dan lazim diturunkan dari generasi ke generasi. Sudah tentu narasi spiritualisme dan mitologi terlihat kaya berkembang di sekitar senjata tradisional ini.