Hal yang sama juga berlaku di Indonesia. Terdapat beragam kegiatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Indonesia di berbagai daerah dalam rangka menyambut datangnya bulan Ramadan. Salah satunya adalah kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa Tengah dan Yogyakarta, yang dikenal dengan nama padusan.
Berasal dari kata adus yang berarti mandi. Padusan merupakan tradisi masyarakat Jawa untuk menyucikan diri, membersihkan jiwa dan raga, dalam menyambut datangnya bulan suci. Tradisi yang merupakan warisan leluhur yang dilakukan secara turun temurun ini dijalani dengan cara berendam atau mandi di sumur-sumur atau sumber mata air. Tujuan dari padusan ini adalah agar saat Ramadan datang, kita dapat menjalani ibadah dalam kondisi suci lahir maupun batin.
Selain itu, bila ditelisik lebih jauh, padusan memiliki makna yang sangat dalam yaitu sebagai media untuk merenung dan instropeksi diri dari berbagai kesalahan yang telah dibuat pada masa lalu. Oleh karena itu, semestinya ritual ini dilakukan seorang diri di tempat yang sepi.
Dalam sepi diharapkan muncul kesadaran diri untuk menjadi pribadi yang lebih baik daripada sebelumnya. Dalam kondisi hening, akan hadir keyakinan dan kesadaran untuk melangkah memasuki bulan Ramadan yang suci sebagai pribadi yang lebih baik lagi.
Akan tetapi, akhir-akhir ini telah terjadi pergeseran nilai terhadap ritual yang merupakan tradisi leluhur ini. Padusan yang semestinya dilakukan seorang diri, kini telah berubah menjadi mandi, keramas atau berendam beramai-ramai di satu mata air, sehari sebelum menjalani ibadah puasa Ramadan. Ritual yang semestinya bersifat sakral ini pun telah berubah menjadi komoditi parisiwisata.
Komoditas Pariwisata
Pergeseran nilai yang terjadi ini menyebabkan lahirnya beberapa tempat yang menjadi obyek wisata padusan. Di tempat-tempat ini, masyarakat baik tua maupun muda laki-laki dan perempuan, beramai-ramai melakukan ritual mandi bersama. Di Jawa Tengah maupun Yogyakarta terdapat cukup banyak tempat yang biasa dijadikan lokasi melakukan ritual padusan.
Di Yogyakarta saja setidaknya ada sepuluh lokasi yang biasa didatangi orang setiap tahunnya untuk menjalani padusan, dan setiap lokasi memiliki histori masing-masing. Diantaranya adalah Umbul Pajangan yang berlokasi di Jalan Kaliurang, Sleman, Sendang Klangkapan di Dusun Klangkapan, Desa Margoluwih, Sleman, yang konon sengaja dibuat oleh Sunan Kalijaga saat tidak menemukan air untuk berwudhu, lalu ada juga Sendang Ngepas Lor yang terletak di Desa Donoharjo, Sleman.
Di beberapa wilayah lain di Jawa Tengah, juga terdapat beberapa tempat yang biasa dipadati warga untuk menjalani padusan. Di Klaten misalnya, salah satu pemandian alami bernama Umbul Manten, berlokasi di Desa Sidowayah, Kecamatan Polanharjo, Kabupaten Klaten. Tempat ini, selalu dipadati pengunjung yang ingin melakukan ritual padusan setiap tahunnya menjelang bulan puasa.
Beberapa sumber mata air lain di Klaten yang juga menjadi lokasi padusan adalah Obyek Mata Air Cokro (OMAC), Umbul Ponggok, dan banyak lagi. Padusan di OMAC biasa dilakukan secara simbolik oleh Bupati Klaten yang melakukan siraman terhadap Mas dan Mbak Klaten (Duta Pariwisata Kabupaten Klaten), lalu dilanjutkan oleh warga.
Kegiatan serupa juga dilakukan di Umbul Petilasan Joko Tingkir, Semarang. Ribuan warga yang bukan hanya berasal dari Semarang tetapi daerah sekitarnya seperti Salatiga, mendatangi petilasan ini untuk menjalani padusan. Di petilasan ini lokasi padusan terbagi menjadi dua tempat yaitu Sendang Lanang dan Sendang Puteri.
Kegiatan padusan yang kini dilakukan secara beramai-ramai memang unik dan menarik minat masyarakat dan wisatawan, baik domestik maupun asing. Dengan digelarnya tradisi padusan ini di tempat ramai, masyarakat luar dapat melihat betapa kaya dan beragamnya budaya Indonesia. Akan tetapi mengingat tradisi warisan leluhur ini memiliki nilai yang cukup sakral, maka ada baiknya untuk menjaga nilai-nilai tersebut, tanpa menghilangkan daya tarik dari kegiatan padusan itu sendiri. Untuk itu, tentu saja diperlukan kerjasama antara pemerintah setempat dan masyarakat yang peduli untuk menjaga agar tradisi padusan tetap lestari tanpa kehilangan maknanya. (K-SB)