Indonesia.go.id - Telingaan Aruu, Tradisi Suku Dayak Yang Mulai Ditinggalkan

Telingaan Aruu, Tradisi Suku Dayak Yang Mulai Ditinggalkan

  • Administrator
  • Senin, 26 Agustus 2019 | 19:34 WIB
KEKAYAAN TRADISI
  Telingaan Aruu, Tradisi Suku Dayak. Foto: Pesona Indonesia

Tampil cantik tentu menjadi dambaan setiap wanita di belahan dunia manapun. Akan tetapi definisi cantik memiliki perbedaan antara satu dengan yang lain. Anda dan sahabat Anda misalnya, meski sering kali sepaham mengenai berbagai hal, tetapi bisa berbeda dalam mendefinisikan kecantikan.

Di Indonesia, negara dengan begitu banyak kepulauan dan suku bangsa, setiap suku bangsa bisa saja memiliki penilaian yang berbeda mengenai kecantikan. Cantik menurut etnis Jawa bisa jadi berbeda dengan cantik menurut masyarakat yang tinggal Kalimantan atau Papua. Karena masing-masing etnis bukan hanya memiliki definisi mengenai kecantikan, tetapi juga memiliki tradisi yang berkaitan dengan definisi cantik tersebut.

Salah satu etnis di Indonesia yang memiliki tradisi yang cukup unik adalah suku Dayak di Kalimantan. Kecantikan seorang wanita Dayak bukan dinilai dari wajah, tetapi dari telinganya. Pada suku Dayak berlaku tradisi telingaan aruu atau daun telinga panjang. Belum cantik wanita bila belum memanjangkan daun telinganya.

Simbol Kebangsawanan dan Kecantikan

Tradisi telingaan aruu atau memanjangkan daun telinga ini menunjukkan identitas kebangsawanan bagi pria, serta simbol kebangsawanan dan kecantikan bagi wanita. Mereka meyakini, semakin panjang telinga seorang wanita, semakin cantik pula wanita tersebut.

Akan tetapi tidak semua sub suku Dayak melakukan tradisi yang telah diwariskan turun temurun ini. Tradisi ini hanya berlaku bagi mereka yang tinggal di pedalaman Kalimantan, seperti suku Dayak Kenyah, Dayak Bahau, Dayak Penan, Dayak Kelabit, Dayak Sa’ban, Dayak Kayan, Dayak Taman dan Dayak Punan.

Dilakukan sejak masih bayi, tradisi telingaan aruu ini diawali dengan ritual mucuk penikng atau penindikan daun telinga, untuk kemudian dipasangi benang sebagai pengganti anting-anting. Setelah luka tindik sembuh, benang tersebut diganti dengan pintalan kayu gabus, yang setiap seminggu sekali diganti dengan yang ukurannya lebih besar. Pintalan kayu gabus ini akan mengembang saat terkena air, menyebabkan lubang pada daun telinga juga semakin membesar.

Setelah membesar, lubang pada daun telinga digantungi dengan anting-anting dari bahan tembaga, yang disebutbelaong. Belaong ini akan ditambahkan satu persatu secara berkala, sehingga lubang telinga semakin lama akan semakin besar dan panjang. Penambahan anting-anting dilakukan dengan menyesuaikan usia dan status sosial. Ada dua jenis anting-anting yang digunakan, yaitu hisang semhaa atau anting-anting yang dipasang di sekeliling daun telinga, serta hisang kavaat yang dipasang pada daun telinga.

Mulai Ditinggalkan

Meski sama-sama menjalani tradisi ini, namun ada beberapa perbedaan dalam penerapan juga pengertian atas tradisi telingaan aruu ini dari masing-masing sub suku Dayak. Suku Dayak Iban misalnya, tidak memberikan pemberat pada telinganya. Telinga yang telah dilubangi dibiarkan begitu saja hingga terlihat seperti lubang besar yang menyerupai angka nol. Bagi Suku Dayak Iban, telinga panjang memiliki tujuan yang lain yaitu melatih kesabaran melalui adanya manik-manik yang cukup berat yang menempel pada telinga dan harus digunakan setiap hari.

Sementara bagi suku Dayak yang tinggal di desa-desa di hulu Sungai Mahakam, memanjangkan telinga menjadi penanda untuk menunjukkan usia seseorang. Di tempat ini bayi yang baru lahir akan diberikan manik-manik di telinga. Selanjutnya manik-manik tersebut akan ditambahkan satu setiap tahunnya.

Tradisi pemanjangan telinga ini memiliki batasan. Wanita Dayak diperbolehkan memanjangkan daun telinga hingga sebatas dada. Sementara kaum pria, hanya diijinkan memanjangkan telinga hingga sebatas bahu. Daun telinga yang memanjang ini pun dapat kembali memendek apabila tidak lagi mengenakan hisang kavaat hingga belasan atau puluhan tahun.

Sangat disayangkan tradisi khas Suku Dayak ini perlahan mulai ditinggalkan. Generasi muda Dayak, khususnya mereka yang terlahir di era 1960-an ke atas tidak lagi mengikuti tradisi ini. Bagi mereka, tradisi telingaan aruusudah tidak sesuai dengan kemajuan zaman. Ritual mucuk penikng atau penindikan masih tetap dilakukan, namun tidak dilanjutkan dengan telingaan aruu.  

Sekarang ini, bila kita berkunjung ke pedalaman Kalimantan, sudah sulit sekali menemukan wanita Dayak yang masih memanjangkan telinganya. Kalaupun ada, mereka biasanya sudah berusia senja. Ironisnya lagi, karena dianggap ketinggalan zaman, beberapa perempuan Dayak yang telah memanjangkan telinganya, lalu sengaja menghilangkan atribut tradisi tersebut, dan dengan sengaja memotong bagian bawah daun telinganya. (K-SB)