Indonesia.go.id - Wor dan Tari Yospan, Pemersatu dan Penyemangat Hidup Masyarakat Biak

Wor dan Tari Yospan, Pemersatu dan Penyemangat Hidup Masyarakat Biak

  • Administrator
  • Kamis, 31 Oktober 2019 | 02:54 WIB
TARIAN BUDAYA
  Tarian Wor Yosin. Foto: Pesona Indonesia

Berbicara mengenai seni tari, ia bukan sekedar berbicara mengenai seni pertunjukan. Lebih jauh dari itu, seni tari bisa pula menjadi bagian dari kehidupan, terutama bagi masyarakat  yang masih menjunjung tinggi adat, budaya dan tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang.

Gambara tersebut bisa kita temukan pada kebanyakan masyarakat di beberapa daerah di Indonesia. Melalui tari, beragam orang dengan berbagai perbedaan yang mereka miliki, dapat dipersatukan dalam satu gerakan yang sama, dalam irama yang sama.

Fungsi sosial inilah yang disandang oleh Tari Yosim Pancar (Yospan) dan Wor yang berasal dari Kabupaten Yapen, Papua. Sebuah seni tari dan musik yang merupakan bagian dari upacara adat dalam berbagai kegiatan, mulai dari pesta pernikahan hingga menyambut tamu bagi masyarakat Papua. Tarian ini bisa disebut juga sebagai tari pergaulan karena dapat dibawakan oleh siapa saja, laki-laki atau perempuan, tua atau muda.

Bila kita berkunjung ke Papua, kita akan mendapati bahwa Tari Yospan sering dibawakan muda-mudi sebagai bentuk persahabatan. Asal muasal tarian ini adalah penggabungan dua tarian dari rakyat Papua, yakni tari yosim dan tari pancar.

Yosim adalah tarian yang gerakannya mirip dengan poloneis, yaitu tari asal Eropa, namun lebih mengutamakan kebebasan dalam mengekspresikan gerakan dan mengandalkan kelincahan gerak tari. Tari ini berasal dari Sarmi, kabupaten di pesisir utara Papua, dekat Sungai Mamberamo, yang kemudian menyebar ke daerah Waropen, Serui, dan kemudian masuk ke Biak.

Sementara, Pancar adalah tari yang berkembang di Biak Numfor dan Manokwari pada awal tahun 1960-an. Merupakan tari yang tercipta karena akulturasi antara budaya asli Biak dengan budaya luar Biak, sebagai hasil dari pertemuan antara nilai-nilai tradisional yang berlaku di pulau Biak dengan ajaran Kristen Protestan yang masuk pada kisaran tahun 1908. Kedua tarian ini kemudian dipadukan menjadi tari Yosim Pancar yang disingkat Yospan.

Terinspirasi oleh pesawat-pesawat bermesin jet yang mulai mendarat di Biak sekitar tahun 1960-an, saat terjadi konflik antara Kerajaan Belanda dengan Pemerintah Indonesia, maka terbentuklah gerakan-gerakan dalam tari pancar. Pada saat itu banyak pesawat tempur yang diawaki oleh pilot-pilot dari Angkatan Udara Indonesia terbang di langit Biak sambil melakukan gerakan-gerakan aerobatik. Gerakan akrobatik yang penuh semangat, dinamis dan menarik menjadi gerakan dasar tarian ini.

Dilakukan dengan cara berjalan sambil menari berkeliling lingkaran di iringi oleh musisi yang menyanyikan lagu asal daerah Papua, gerakan yang terkenal dalam tarian ini adalah pancar gas yang merupakan representasi dari pesawat-pesawat yang melintas tersebut dan meninggalkan awan putih di langit. Itu sebabnya pada awalnya tarian ini disebut pancar gas, kemudian disingkat menjadi pancar. Gerakan yang juga popular adalah gale-gale, jef, pacul tiga, dan seka.

Pada perkembangannya, tarian ini kemudian mengalami banyak perubahan sehingga menjadi tari pergaulan yang luas. Sebagai tarian pergaulan, maka tidak ada batasan jumlah penari dalam tarian ini, siapa saja boleh ikut masuk dalam lingkaran dan bisa langsung bergerak mengikuti penari yang lain.

Posisi para penari biasanya berbentuk lingkaran dan berjalan berkeliling sambil menari dengan penuh semangat, dinamis dan menarik. Sesekali mereka ikut bernyanyi dan berseru memberi semangat agar tarian tidak berhenti. Gerakan-gerakan yang tidak terlalu sulit dapat membuat siapapun yang tengah menonton dapat langsung ikut menari dan bergabung.

Keunikan lainnya adalah hadirnya alat-alat musik khas Papua yang dimainkan oleh  tim pemusik wor dan tarian Yospan ini. Selain tifa, gitar dan ukulele, ada juga alat musik lain seperti bas akustik dengan tiga tali yang dibuat dari lintingan serat jenis daun pandan, yang banyak ditemui di hutan daerah pesisir Papua.

Selain itu ada juga yang disebut Kalabasa, alat musik yang terbuat dari labu yang dikeringkan kemudian diisi dengan manik atau batu-batu kecil. Cara memainkan alat musik ini adalah dengan diguncangkan, dan memberi efek suara hujan. Irama dan lagu Tari Yospan secara khusus sangat membangkitkan kekuatan untuk menari. Ini didukung dengan Wor, yaitu lagu-lagu rakyat yang berbahasa daerah dan bahasa Indonesia Papua. Orang Biak menyebutkan Wor Mamun, syair lagu yang berisikan dukungan dan pesan moral pemberi semangat.

Tarian Yospan dan Wor ini kemudian terkenal hingga ke tingkat nasional, terutama ketika Mayjen Wismoyo Arismunandar, Pangdam XVII/Trikora (1987-1989), ikut memperkenalkan tarian ini. Saat itu hampir di setiap kegiatan Kodam XVII/Trikora diisi dengan Tari Yospan. Gerakan yang dinamis dan penuh semangat ini cepat popular bahkan pernah menjadi bagian dari senam kesehatan jasmani di sejumlah instansi pemerintahan. Kepopuleran tarian ini bahkan menjangkau hingga ke sejumlah festival internasional.

Kini Tari Yospan dan Wor tak lagi hanya milik masyarakat Biak Papua. Tarian ini telah menjadi milik masyarakat seluruh Indonesia. Tarian ini seolah memberi semangat bagi semua orang yang ingin menyatukan langkah bersama, tanpa memandang perbedaan untuk membangun Indonesia. (K-HP)