Indonesia.go.id - Sisi Lain Kartini

Sisi Lain Kartini

  • Administrator
  • Rabu, 1 Mei 2019 | 09:34 WIB
BIOGRAFI
  RA. Kartini. Sumber foto: Istimewa

Bagai kunang-kunang di tengah gulita kegelapan malam di rimba belantara, begitu Abdullah bin Abdulkadir Munsyi diibaratkan. Sedangkan Kartini, oleh Pramoedya, dianalogikan sebagai obor.

Den Haag 1898, dihelat sebuah Pameran Nasional Karya Wanita. Sang Ratu Wilhelmina berkenan hadir. Di situ dipamerkan berbagai kerajinan rumah tangga dan kerja pabrik hasil karya kaum perempuan.

Konon Ratu Wilhelmina berhenti cukup lama pada salah satu ruang pamer. Bernama ruang pamer “Jawa”, stan itu memamerkan aneka rupa kerajinan tangan dari kaum perempuan Hindia Belanda. Rupa-rupanya, dia terpikat batik.

Setelah membolak-balik dan memeriksa beberapa kain batik dengan seksama, Ratu Wilhelmina bahkan juga menyempatkan diri membaca brosur yang berisi seluk-beluk seni batik. Narasi tentang batik ditulis secara mendetail dalam bahasa Belanda yang tertata sangat baik. Brosur itu berjudul Handschrift Japara.

Tentu tak sedikit orang Barat yang mengagumi karya batik, juga tak sedikit di antara mereka yang terkagum-kagum pada kualitas tulisan bahasa Belanda di brosur itu. H Bouman mengatakan, narasi itu ditulis dalam “Bahasa Belanda yang sempurna.” Atau contoh lainnya adalah GP Rouffaer dan HH Juynboll, yang mengatakan “Tak dapat orang mengabaikan saja untuk tidak mengagumi bahasa Belandanya yang istimewa.”

Menyimak judul brosur, Handschrift Japara, mudah diduga siapa sosok penulisnya. Ya, siapa lagi? Penulis itu bukan lain ialah Kartini. Tulisan itu dibuat saat Kartini berumur 19 tahun.

Kepada Estelle Zeehandelaar, satu tahun lewat sejak pameran di Den Haag itu, Kartini menulis surat dengan nada girang dan antusias memberitakan, bahwa:

“Sebuah karangan tentang batik, yang tahun lalu kutulis buat Pameran Nasional Karya Wanita, dan sejak itu tak terdengar kabar beritanya, akan diterbitkan di dalam karya-standar tentang batik, yang segera akan terbit.”

Tak disangka-sangka tulisan Kartini tentang seni batik dimasukkan sebagai referensi oleh dua antropologi bangsa Belanda, yakni GP Rouffaer dan HH Juynboll. Keduanya menulis buku berjudul De Batik-kunst In Nederlandsch-indie En Haar Geschiedenis. Dalam kata pengantar buku itu di halaman xi disebutkan, “Tulisan Raden Ajeng Kartini merupakan bagian penting dari Bagian Pertama.”

Karya antropologi tentang batik ini disusun oleh dua orang Indolog setelah diilhami oleh tulisan Kartini, Handschrift Japara. Tak hanya bicara batik, Kartini juga bicara seni ukir Jepara. Pramoedya Ananta Toer dalam Panggil Aku Kartini Saja menyebut, “Kartini adalah Maecenas, pelindung dan pengembang seni ukir Jepara.“

Maecenas ialah sebutan yang lazim diberikan kepada orang yang bukan saja mempunyai minat sangat besar terhadap seni, melainkan lebih dari itu, dia bahkan juga rela mendedikasikan dana yang dimilikinya untuk melindungi kelangsungan kehidupan tradisi kesenian tersebut. Berasal dari nama Gaius Cilnius Maecenas (70 – 8 SM), seorang penasihat politik Kaisar Roma Augustus, dialah orang yang dianggap berhasil menjalani peran sebagai patron seni yang baik.

Demikianlah, Kartini. Dia pernah menulis sebuah prosa berjudul Van een Vergeten Uithoekje atau Pojok yang Dilupakan. Prosa ini bercerita tentang tanah kelahirannya, yang mempunyai banyak seniman ukir sejati. Tapi ironisnya, telah dilupakan orang dan kerja mereka tidak mendapatkan penghargaan yang berarti.

Tak hanya menulis prosa, Kartini kemudian menghubungi beberapa orang Belanda di Semarang dan Batavia. Juga menghubungi Oost en West, yaitu asosiasi kerajinan tangan di Hindia. Oleh Kartini, mereka semua didorong untuk membantu mempromosikan produk kerajinan seni ukir Jepara, di luar negeri maupun di dalam negeri.

Kartini juga memberikan supervisi kepada para perajin ukir dari Blakang Gunung untuk membuat berbagai macam furnitur dan kerajinan untuk dipasarkan ke Semarang, Batavia, bahkan Belanda. Lebih jauh Kartini mengirim banyak contoh barang hasil kerajinan ukir Jepara ke mana-mana. Bahkan juga berkirim hadiah ulang tahun kepada Sri Baginda Ratu Wilhelmina, saat orang nomor satu di negeri Belanda itu memasuki usia 24 tahun.

Seluruh upaya Kartini berbuah. Permintaan akan barang-barang produk industri ukir Jepara terdongkrak hingga berlipat kali. Dampaknya, selain harga kerajinan ukir berhasil dijual dengan harga tinggi, terjadi pula peningkatan kesejahteraan para seniman ukir di Jepara. Dengan cara yang sama, Kartini juga berhasil meningkatkan kesejahteraan perajin emas dan tenun yang ada di sana.

Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dan Kartini

Ya, membaca karya Pramoedya Ananta Toer terlihat bagaimana gambaran profil Kartini tidaklah semata dibatasi pada kerangka isu emansipatoris kaum perempuan, melainkan segi-segi keprihatinan dan keperdulian Kartini terhadap isu-isu humanisme lainnya juga nisbi terpotret utuh. Panggil Aku Kartini Saja, karya Pram ini, dapat dikatakan sebagai usaha melakukan penjelajahan atas pikiran-pikiran Kartini.

Ditempatkan pada lanskap sosiologis masyarakat Jawa, pasca-Perang Jawa 1825 – 1830, di mana kapitalisme disangga oleh perkebunan dan Tanam Paksa, serta munculnya “kemenangan” politik liberal dan upaya mewujudkan Politik Etik, keberadaan Kartini oleh Pramoedya ditempatkan pada momen historis peralihan zaman, yaitu dari fase kuno penjajahan Eropa ke fase modern, dengan berbagai implikasinya.

Pada titik krusial sejarah peralihan zaman ini, Pram—demikianlah biasa dipanggil—membandingkan posisi Kartini dengan tokoh Abdullah bin Abdulkadir Munsyi dari Singapura. Keduanya, seturut Pram, merupakan tugu-tugu dalam sejarah kebudayaan Asia Tenggara di masa peralihan zaman.

Melalui kedua orang ini, Asia Tenggara secara sadar memasukkan unsur-unsur kebudayaan baru ke dalam kehidupan Timur. Saat itu budaya Timur dan Barat saling berbenturan. Tapi, Abdullah maupun Kartini dengan piawai membangun sintesis dan mengambil manfaat dari nilai-nilai baru yang menerpa Asia Tenggara.

Sekalipun keduanya merupakan monumen atau tugu dalam sejarah kebudayaan Asia Tenggara, menurut Pram, ada perbedaan pada nilainya. Mengambil analogi kunang-kunang di tengah gulita kegelapan malam di rimba belantara sebagai padanan bagi Abdullah, sedangkan Kartini dianalogikan dengan obor. Dengan obor inilah, menurut Pram ia telah menerangi jalan bangsanya menuju pada kemerdekaan di kemudian hari.

Substansi yang ditulis Abdullah baru semata melukiskan potret dan kritik, sedangkan subtansi tulisan Kartini sudah tiba pada analisis, pemahaman, dan pengertian. Jika Abdullah mendapatkan kekuatannya pada dinamika, Kartini mendapatkan kekuatanya pada filsafat dan elan patriotisme yang tak pernah kering.

Lebih jauh jika Abdullah lebih merupakan seorang wartawan dan juruwarta, maka Kartini ialah lebih seorang pejuang dan sekaligus pemikir. Jika Abdullah seolah-olah hanya membatasi diri bicara langsung pada orang-orang sebangsanya di sini, maka Kartini sengaja bicara langsung dengan bangsa Eropa baik di sini maupun di sana, di jantung imperialisme. Sehingga jikalau Abdullah cenderung melancarkan kritik-kritik yang bersifat insidental, maka Kartini terlihat lebih bersifat fundamental.

Demikianlah, sanjung puji Pramoedya terhadap figur Kartini. Pengarang roman sejarah yang beberapa kali masuk nominasi sebagai penerima Hadiah Nobel ini dikenal luas sebagai pribadi yang notabene tidak mudah memberikan sanjung puji. Namun sikap Pram pada Kartini jelas terlihat sangat berbeda.

Menyimak citra Kartini, terkesan ia tak jauh dari lukisan citra perempuan yang pernah dibuat oleh Pram, sosok Gadis Pantai dan Nyai Ontosoroh dalam tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Laiknya Kartini, kedua tokoh dalam novel-novel tersebut, sama-sama dikungkung oleh lingkungan struktur sosiokultural-nya, tapi tetap melakukan perlawanan sesuai dengan kondisinya.

Menariknya, Kartini yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan feodalisme Jawa, justru tak dicitrakan sedikitpun sebagai perempuan protagonis yang lembut, penurut, dan bersikap pasrah (nrima) pada determinasi kuasa sosiokultural yang mengukungnya. Dari judul yang sengaja dipilih Pram, Panggil Aku Kartini Saja—suatu ucapan yang memang berasal dari perkataan Kartini sendiri—memperlihatkan sikap tegas Kartini: emoh feodalisme.

Selain itu, Pram juga menggambarkan Kartini mengemban spirit budaya pesisiran. Salah satu karakteristik budaya pesisiran ialah mudah menerima ide-ide pembaharuan dan perubahan. Namun alam pikir yang dibentuk oleh lingkungan laut dan ganasnya gelombang membuat kebudayaan pesisiran cenderung ditandai watak pemberani, lugas, dan bahkan tak jarang memberontak.

Tulisan-tulisan Kartini juga dinilai oleh Pram sebagai mempunyai “jiwa.” Bukan saja mempunyai nilai sastrawi yang baik, tapi juga secara substansi didedikasikan pada upaya mencari jawab terhadap kemiskinan dan kebodohan serta persoalan-persoalan lain yang dihadapi bangsanya. Menurut Pram, kepengarangan atau kepenulisan bagi Kartini ialah tugas sosial.

Singkat kata, menurut Pram, Kartini telah mengalami emansipasi. Pada dirinya telah muncul kebangkitan kesadaran akan hak dan persamaan derajat dirinya sebagai manusia. Dari sinilah ia kemudian mampu melaksanakan tugas dalam posisinya sebagai pamong rakyat, yaitu sebagai pemikir.

Benar, pada konteks isu antipoligami boleh dikata Kartini gagal. Tapi, patut diingat, pernikahan Kartini terjadi pada usia 24 tahun. Ini berarti Kartini telah melajang hingga usia 23 tahun. Perempuan Jawa usia 23 tahun berstatus belum menikah menjadi sangat fenomenal untuk konteks budaya Jawa saat itu, terlebih terjadi di lingkungan kelas priyayi.

Ada situasi paradoksal yang tampak susah dilampauinya. Cinta dan sikap bakti Kartini sebagai anak kepada ayahnya, Sosroningrat, Bupati Jepara, membuat akhirnya dia tak sepenuhnya berhasil melawan budaya feodalisme. Pernikahannya sebagai madu dengan Bupati Rembang, Djojoadhiningrat, tak terelakkan. Terjadi pada 8 November 1903, setelah Kartini batal mendapatkan beasiswa sekolah ke Belanda.

Rintihan Kartini bernada tragis disuratkan kepada Nyonya Abendanon, kurang lebih sebulan sebelum hari pernikahan. Ia merasa telah mati sia-sia. Secara moral merasa patah, dan tak mempunyai kekuatan apa-apa lagi.

Oleh Presiden Soekarno, perempuan yang lahir pada 21 April 1879 ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 108 tahun 1964 sebagai pahlawan nasional. Harsya W Bachtiar pernah mengritisi soal latar belakang pemberian gelar pahlawan. Menurutnya, citra Kartini ini merupakan rekaan kolonialisme Belanda.

Pun belakangan tak sedikit orang mulai menyoal, mengapa Kartini dan bukan Cut Nyak Dien atau Dewi Sartika, yang didudukkan jadi ikon kebangkitan kaum perempuan?

Sayangnya, terkait polemik soal isu antipoligami Kartini di satu sisi dan sikap Kartini menerima permaduan di sisi lain, Pramoedya tak angkat bicara lebih jauh. Tak diketahui persis alasan diamnya penulis dari Blora ini. Barangkali saja karena fokus tulisan Pram memang lebih membidik peranan Kartini sebagai perintis nasionalisme Indonesia, ketimbang sebagai seorang feminis.

Pada titik ini, simpulan TH Sumartana yang ditulisnya dalam buku Tuhan dan Agama dalam pergulatan Batin Kartini, menarik disimak:

“Ia memang kalah, tetapi bukan tanpa perlawanan. Kekalahan Kartini adalah satu episode yang harus diakui dengan jujur dan terbuka. Kekalahan itu juga merupakan bagian integral sejarah bangsa kita.

Sejarah suatu bangsa tidak perlu ditulis sebagai sebuah rentetan kemenangan. Sejarah semacam itu bukan sejarah manusia. Sejarah tidak ditulis dengan maksud menipu. Sejarah bukan dongeng yang berupa ilusi untuk melayani naluri megalomania atau narsisime.

Di situlah justru terletak hikmah sebuah paradoks dalam sejarah. Kekalahan Kartini bisa menyimpulkan, bahwa sejarah bangsa Indonesia benar-benar merupakan sejarah manusia yang mengenal kemenangan dan kekalahan, silih berganti.

Apabila seorang ‘pahlawan’ adalah gambaran orang yang menang atau selalu menang dalam perjuangannya melawan kebatilan dan penindasan, maka Kartini tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai seorang ‘pahlawan’.

Akan tetapi, dalam surat-suratnya yang masih bisa kita baca sampai sekarang, kita sebagai bangsa merasa diwakili dalam pergulatan keras yang dilakukan olehnya. Ada simbol-simbol, idiom, serta ungkapan perasaan yang mendengungkan pergulatan manusia yang sangat intens. Barangkali justru karena itulah ia bisa menjadi sumber ilham yang abadi bagi semua orang.” (W-1)