Indonesia.go.id - Berburu Kredit Ke Padang Lamun

Berburu Kredit Ke Padang Lamun

  • Administrator
  • Rabu, 25 Desember 2019 | 20:36 WIB
EKOSISTEM PANTAI
  Padang Lamun. Foto: LIPI

Tiga serangkai hutan mangrove, padang lamun, dan terumbu karang adalah aset yang berharga. Selain memberi manfaat dari ikan baronang dan lobster, ekosistem itu berpotensi besar membukukan kredit karbon.

Istilah padang lamun belakangan sering terdengar terkait dengan manajemen lingkungan pantai. Lamun sendiri merujuk ke rumput khas yang tumbuh di perairan pantai dengan perakarannya yang menancap di lantai laut. Masyarakat ilmiah Indonesia menyebutnya sea grass, untuk membedakannya dari “rumput laut” yang justru merujuk ke tumbuhan ganggang.

Salah kaprah ini telah berlangsung lama. Rumput laut yang telah dibudidayakan untuk dijadikan tepung agar-agar justru menyandang nama rumput. Padahal, ganggang adalah tumbuhan primitif yang belum memiliki deferensiasi organ yang canggih. Jangankan struktur bunga dan biji, akar pun ganggang ini tak punya. Sedangkan, lamun adalah jenis rumput yang memiliki akar, batang, malai, bunga dan biji, bahkan membiak dengan bijinya.

Maka, kata lamun yang berasal dari kosa kata Banten pun menjadi pengganti istilah rumput laut. Maka, padang lamun pun menunjuk ke hamparan perairan pantai yang penuh dengan tumbuhan lamun yang sering kali ditingkahi oleh munculnya karang (coral reef) yang menyembul ketika laut surut dan lenyap tergenang ketika laut pasang.

Kini, perkembangan zaman memandang padang lamun secara lebih luas lagi. Ekosistem padang lamun itu didifinisikan sebagai kawasan perairan pantai yang berlantaikan pasir, dengan kedalaman nol hingga 10 meter. Air laut cukup jernih sehingga sinar matahari dapat mencapai dasar. Gerakan arusnya cukup tenang sekitar 0,5 meter/detik. Yang ideal kadar garamnya agak lebih rendah dari laut pada umumnya, serta suhu air antara 20-30 derajat Celsius.

Banyak pantai-pantai Indonesia yang memenuhi syarat disebut padang lamun. Sebagian Pantai Tanjung Kelayang  di Belitung Barat adalah salah satu contoh ekosistem padang lamun yang eksotik. Kepulauan sekitar Batam dan Bintan juga dikepung padang lamun. Padang lamun lainnya menyebar di bagian Barat Provinsi Aceh, di Nias, sebagian Lampung, lalu lompat ke Lombok, Nusa Tenggara Timur, di pantai barat  Sulawesi Selatan, sebagian Maluku Utara dan Pulau Biak di Papua.

Di pesisir Timur Sumatra, di sebagian besar Pulau Jawa dan Kalimantan, padang lamun relatif terbatas. Padang lamun tidak muncul di pesisir yang berlumpur akibat sedimentasi dan keruh karena erosi di hulu sungai. Dalam banyak kasus, padang lamun menghilang bersamaan dengan lenyapnya eksistem bakau.

Kantor Kemenko Kemaritiman menyebut, luas padang lamun di perairan Indonesia mencapai 3 juta ha. Namun, para peneliti Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) Oseanografi LIPI memperkirakan yang masih bertahan hingga 2018 paling banyak 1,8 juta ha. Itu akibat laju kerusakan 2-5 persen per tahun selama puluhan tahun.

Dari jumlah itu, yang telah terverifikasi baru sekitar 293 ribu ha. Secara umum kondisinya bisa disebut kurang sehat, yang dicirikan oleh kerapatan rerumputan (seagrass) yang tumbuh di dasarnya. Padahal, ekosistem yang sehat juga menjanjikan potensi ekonomi yang besar. Sejauh bisa dikelola secara lestari, ekosistem khas itu menjanjikan ikan baronang, ikan kwe, ikan biji nangka, ikan lencam, udang, lobster, kepiting dan ranjungan, dan berbagai jenis lainnya.

Secara umum ekosistem padang lamun ini sering muncul bersama dengan hutan bakau (mangrove) dan terumbu  karang. Hutan bakau bisa menahan sedimentasi dari daratan. Bila bakau di situ telah tumbuh besar dan kuat, maka perairan di situ akan tumbuh menjadi lebih sehat. Air laut lebih bening dan bersih. Rumput lamun ini akan tumbuh berbarengan dengan terumbu karang. Bila kualitas perairan itu terjaga, lamun akan menebal dan terumbu karang akan terus membesar.

Perairan Indonesia memiliki kekayaan keragaman lamun yang besar. Dari 60 spesies lamun yang ada di  dunia yang terbagi dalam 12 marga (genus), 15 spesies dari 7 genus di antara ditemukan di Indonesia. Spesies yang paling luas sebarannya di pantai Indonesia ialah Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, dan Cymodocea serrulata.

Batang Enhalus acoroides itu tumbuh dari atas batang akar yang tumbuh menyusur di lantai laut. Dari tunas yang muncul bakal tumbuh batang lamun yang kemudian melahirkan daun-daun berbentuk pita yang panjangnya bisa mencapai satu meter. Buahnya tumbuh dari sulur yang berasal dari batang, dan terbuka setelah matang untuk pembuahan. Biji yang matang terbawa arus dan akan tumbuh menjadi individu lamun baru.

Thalassia hemprichii pun mirip. Individu baru yang tumbuh akan membentuk batang akar yang terikat  ke tanah dengan akar serabut. Dari batang akar itulah tumbuh anakan-anakan baru dengan daun yang tebal dan ujungnya seperti busur. Buah tumbuh pada malai yang mencuat dari bonggol batang. Secara umum, lamun-lamun itu tumbuh sebagai anakan dari batang akar (rhizoma) berbentuk silindris yang terikat ke dalam tanah oleh akar serabut. Bila rumput lamun ini bisa dikelola secara leatari, maka perairan itu dapat menjadi bank biomassa yang menyimpan karbon secara berkelanjutan.

Seraya menjadi sumber ekonomi langsung karena bisa menghasilkan ikan, udang, lobster, cumi, sotong, udang, ranjungan, kerang dan biota lainnya, padang lamun ini juga bisa memberikan jasa lainnya, yakni perlindungan pantai dari abrasi. Dalam jurnal berjudul Status Padang Lamun Indonesia (2018), peneliti Pislitbang Oseanografi LIPI Nurul Dhewani Mirah Sjafrie dkk menyebutkan bahwa rumput lamun yang tebal bisa menahan laju deburan ombak. Bahkan, di Spanyol, otoritas setempat perlu membuat lamun buatan untuk melindungi pantainya.

Manfaat lainnya, daun lamun yang lebat akan memperlambat aliran dan ombak, sehingga perairan di sekitarnya menjadi tenang. Dalam situasi itu, rimpang dan akar lamun bisa lebih mudah menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan dasar permukaan laut. Jasa lainnya adalah mengikat karbon, untuk menahan kenaikan konsentrasi CO2 dan gas rumah kaca lainnya, yang akan berimbas pada pemanasan global serta perubahan iklim.

Terkait jasa karbon itulah Pemerintah Indonesia menawarkan pemanfaatkan padang lamun itu dalam kerja sama global untuk menghadapi ancaman perubahan iklim. Sesuai dengan Perjanjian Paris 2015, Indonesia bertekad menurunkan emisi karbonnya sebesar 29% secara swadaya sepanjang 2020-2050, dan bisa sampai 40% dengan skema kerja sama internasional. Agenda-agenda yang dijalankan, antara lain, menekan kerusakan hutan, rehabilitasi lahan gambut, penanaman kembali lahan-lahan kritis, dan pemanfatan padang lamun, hutan bakau serta terumbu karang sebagai penyimpanan karbon.

Mata rantai hutan bakau (mangrove), terumbu karang dan padang lamun itu satu paket program Carbon Blue dan menjadi salah satu piranti diplomasi Indonesia di arena gobal pada isu perubahan iklim. Carbon Blue cukup menjanjikan. Menurut tim peneliti Puslitbang Oseanograsi LIPI, dalam satu tahun, setiap satu hektar padang lamun dapat menyimpan 6,6 ton karbon atau setara 24,2 ton gas CO2. Sementara itu, hutan bakau mampu menenggelamkan karbon dua sampai tiga kalinya.

Itu belum semuanya. Ganggang yang ada di situ juga punya potensi menyimpan karbon setidaknya 50 persen dari rumput lamun. Bila di situ tumbuh terumbu karang, ia juga akan memberikan serapan yang signifikan. Semua itu bisa memiliki nilai kredit dalam skema perdagangan karbon (carbon trading).

Namun, masih perlu waktu bagi Indonesia untuk memasarkannya jasa yang nilainya miliaran dolar AS itu.  Konferensi Perubahan Iklim di Madrid awal Desember lalu masih belum bisa tuntas merumuskan peta jalan dan pembiayaannya. (P-1)