Indonesia.go.id - Rekam Biometrik, tak Wajib Tapi Penting

Rekam Biometrik, tak Wajib Tapi Penting

  • Administrator
  • Kamis, 25 Juli 2019 | 01:25 WIB
IBADAH HAJI 2019
  Petugas menyiapkan dokumen paspor dan visa jamaah calon haji (JCH) di gedung Sistem Informasi dan Komputerisasi Haji Terpadu (Siskohat) Asrama Haji Embarkasi Surabaya (AHES), Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (4/7/2019). Foto: ANTARA FOTO/Moch Asim

Jemaah haji dan umrah kini tidak lagi diwajibkan untuk melakukan rekam biometrik dalam proses penerbitan visa. Hanya saja, rekam biometrik itu memudahkan calon haji melakukan proses imigrasi di Arab Saudi.

Proses rekaman biometrik untuk jemaah calon haji menjadi syarat untuk menerbitkan visa haji tahun 1440H/2019. Data biometrik ini harus dilampirkan pengurusan visa ke VFS Thaseel, perusahaan penyelenggara pembuatan visa di bawah Kedutaan Besar Arab Saudi. Syarat ini diberlakukan sejak Oktober dan diresmikan pada 17 Desember 2018.

Dalam persyaratan tersebut, VFS Thaseel mengharuskan jemaah haji di setiap negara melakukan proses rekam biometrik sendiri. Hasilnya digunakan sebagai syarat pembuatan visa. Padahal, sebelumnya rekam biometrik untuk keperluan pembuatan visa umrah dan haji hanya dilakukan begitu para jemaah mendarat di Jedah, Arab Saudi.

Lalu apa sebenarnya pemeriksaan biometrik itu? Ini adalah perekaman identitas diri yang mencatat ciri fisik pribadi para jemaah. Setelah foto wajah, sidik jari, pola garis tangan, dan pupil mata jemaah di-scan dengan perangkat elektronik, dan hasilnya disimpan dalam file elektronik berikut identitas resmi seperti nama, alamat, nomor kloter, serta asal embarkasinya, Prosesnya hanya sekitar 5 menit. Sesederhana membuat KTP.

Rekaman biometrik dilakukan untuk keperluan memudahkan dan mempercepat proses imigrasi saat jemaah memasuki Arab Saudi (Jedah atau Madinah). Proses ini semacam pre-departure clearance sebelum kedatangan di Arab Saudi. Calon haji setiba di Bandara Internasional Prince Mohammad bin Abdul Aziz Madinah hanya akan menjalani pemeriksaan paspor dan visa. Setelah itu langsung masuk bus dan diantar ke penginapan.

Keuntungan lain, dengan rekam biometrik jemaah tak akan tersesat meski tak memegang kartu identitas. Hanya dengan memeriksa sidik jari, polisi Arab Saudi langsung tahu identitas sang jemaah.

Namun kebijakan rekam biometrik sebagai syarat haji ini mendapat tentangan dari sejumlah pihak. Sebelumnya, Kementerian Agama meminta pemerintah Kerajaan Arab Saudi untuk meninjau ulang pemberlakuan aturan wajib rekam biometrik bagi jemaah Indonesia dalam pengurusan visa umrah. Kebijakan wajib rekam biometrik yakni perekaman sidik jari dan retina mata, banyak terkendala. Antara lain, operator belum begitu siap dan domisili jemaah tersebar di berbagai daerah di Indonesia yang sangat luas. Selain juga, jumlah kantor operator pelayanan rekam biometrik yang ditunjuk pemerintah Kerajaan Arab Saudi, yakni VFS Tasheel, terbatas hanya di kota-kota besar.

Hal yang sama juga dinyatakan Permusyawaratan Antarsyarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (Patuhi). Mereka juga melobi pemerintah Kerajaan Arab Saudi melalui wakil menteri haji urusan umrah di Jedah. Patuhi meminta pemerintah Kerajaan Arab Saudi mengevaluasi dan memberhentikan aturan wajib rekam biometrik. Menurut mereka, solusi terbaik dari kebijakan rekam biometrik adalah dilakukan di embarkasi atau di bandara keberangkatan jemaah saja.

Sekarang pemerintah Arab Saudi membatalkan keharusan ini. Tampaknya untuk mengakomodasi calon haji dari daerah yang sulit dijangkau kantor VFS Thaseel.

"Divisi konsuler menyampaikan bahwa telah terbit Keputusan Kerajaan Arab Saudi Nomor 43313 tanggal 4/8/1440 H (9/4/2019 M) terkait tidak diwajibkannya perekaman biometrik di negaranya untuk proses penerbitan visa haji dan umrah bagi para jamaah," demikian bunyi pengumuman yang diterbitkan Bagian Konsuler Kedutaan Besar Arab Saudi di Indonesia, tertanggal 22 April 2019.

Namun berdasarkan pengumuman tersebut, proses penerbitan visa bisa dilakukan tanpa harus menunggu rekam biometrik. Yang belum terekam biometric di Indonesia, akan dilakukan di Bandara Madinah dan Jedah. Namun proses perekaman melalui VFS Tasheel di Indonesia tetap dibuka untuk daerah yang mudah aksesnya. Untuk jemaah dari wilayah-wilayah kepulauan yang jaraknya jauh, perekaman akan dilakukan saat tiba di Madinah dan Jedah.

Tercatat sampai pertengahan Juni jumlahnya diperkirakan mencapai 85 persen CJH atau setara dengan sekitar 187 ribu orang yang sudah melakukan perekaman biometrik.

Fast Track

Kementrian Agama juga memastikan pembatalan keharusan perekaman biometrik ini dipastikan tidak akan mempengaruhi program fast track yang sudah berjalan. Tapi semaksimal mungkin perekaman biometrik akan dilakukan, agar proses pre clearance berada di Indonesia. Sehingga saat di Imigrasi Saudi hanya verifikasi satu sidik jari, verifikasi data, kemudian langsung stempel.

Layanan dini imigrasi Arab Saudi atau yang diberi istilah fast track tersebut adalah fasilitas terbaru untuk melayani calon jemaah haji di bandara asal penerbangan atau embarkasi.

Fasilitas fast track yang bisa dinikmati jemaah haji Indonesia adalah proyek pemerintah kerajaan Arab Saudi. Fasilitas fast track ini merupakan bagian dari program 'Makkah Route' yang diberikan kepada 5 negara, yakni Indonesia, Malaysia, Pakistan, Bangladesh, dan Tunisia

Diketahui, fast track atau jalur cepat membuat jemaah haji tidak perlu mengantre di Bandara Jedah atau Madinah selama berjam-jam sebelum resmi melangkah di Arab Saudi. Pemeriksaan paspor, perekaman biometrik, dan sidik jari sudah bisa dilakukan di Bandara Soekarno-Hatta dengan waktu yang lebih cepat. Tahun ini, jemaah haji Indonesia kebagian jatah fast track terbanyak, yakni 70 ribu dari 225 ribu yang disediakan.

Di Situs KBRI Riyadh, yang di-release Duta Besar RI untuk Arab Saudi Agus Maftuh Abegebriel, disebutkan bahw  fast track tahun ini adalah pengalaman kedua kalinya bagi jemaah haji Indonesia. Tahun lalu, Indonesia dan Malaysia menjadi negara yang pertama kali mendapatkan 'keistimewaan' itu dari Arab Saudi.

Tahun ini Kerajaan Arab Saudi menambahkan 3 negara yang bisa menikmati pelayanan baru ini, yaitu Pakistan, Bangladesh, dan Tunisia dengan total 225.000 jemaah.

Layanan fast track yang menjadi program Arab Saudi itu mencakup pelayanan bagi jemaah haji di bandara-bandara asal calon jemaah haji. Layanan itu mencakup pengurusan keimigrasian, verifikasi persyaratan medis, dan penyortiran bagasi para jemaah di titik-titik embarkasi. Kemudian juga layanan penerbitan visa, prosedur pemeriksaan paspor, hingga pengaturan transportasi dan pemondokan di Arab Saudi.

Fasilitas pelayanan sebelum keberangkatan tersebut memudahkan proses kedatangan jemaah di Arab Saudi dan memungkinkan mereka langsung menuju ke pemondokan di Mekah dan Madinah tanpa berurusan dengan prosedur yang menghabiskan waktu lama.

Pemerintah memastikan kuota haji Indonesia tahun 2019 sebanyak 221.000 orang, yang terbagi menjadi 204.000 jemaah haji regular dan 17.000 jemaah haji khusus/plus. (E-2)