Indonesia.go.id - Dari Lompat Batu hingga Tari Perang

Dari Lompat Batu hingga Tari Perang

  • Administrator
  • Jumat, 30 Agustus 2019 | 20:50 WIB
BUDAYA
  Tari Perang Nias. Foto: Dok. Nias

Bersama Hombo Batu, patut disebutkan sebuah tarian yang notabene sangat terkenal. Tari Faluaya atau Tari Perang. Hombo Batu dan Faluaya jelas merupakan produk budaya yang lahir dari rahim tradisi keperwiraan. Menyimak budaya Nias tampak jelas melukiskan adanya ‘spirit spartan’ pernah mengisi nadi darah mereka.

Bicara salah satu ikon wisata masyarakat Nias ialah lompat batu. Orang Nias menyebut olah raga tradisional ini dengan istilah “hombo batu” atau “fahombo. Merujuk Rebecca Evelyn Laiya (2014) dalam Hombo Batu: Tradisi Nenek Moyang Nias Selatan, Kajian Antropolinguistik, kata ‘hombo’ berarti “lompati” dan ‘batu’ artinya batu. Sedangkan, ‘fahombo’ berarti “melompati”. Namun istilah terakhir ini juga sering digunakan untuk menunjuk pada proses hombo batu.

Saking unik dan menariknya tradisi ini, sekalipun sejak 2016 sudah ditarik dari peredaran, pada 1992 pemerintah pernah mengabadikan momen lompat batu ini dalam uang kertas nominal Rp1.000.

Apa yang menarik dicatat, ritual lompat batu ini telah berumur ratusan tahun. Bahkan diduga, tradisi ini berakar pada budaya megalitikum. Selain memiliki fungsi sebagai ritus kedewasaan bagi kaum laki-laki Nias, hombo batu dulu juga merupakan batu uji bagi mereka untuk menjadi pasukan perang. Di masa lalu, pemuda Nias akan mencoba melompati batu setinggi 2,1 meter. Jika berhasil, mereka akan dianggap telah menjadi lelaki dewasa. Selain dapat bergabung menjadi prajurit perang, mereka juga diperkenankan menikahi gadis pujaannya.

Menyimak corak budaya masa lalu dalam masyarakat Nias, ritus ini jelas memiliki makna sangat penting. Menjadi prajurit, bagaimanapun adalah suatu kehormatan besar bagi para pemuda. Menjadi prajurit juga berarti mendapatkan status sosial yang lebih tinggi di mata masyarakat. Tradisi ini lahir sebagai piranti self defance system dalam sistem adat Nias. Tradisi ini lahir karena masyarakat Nias harus menyiapkan para pemuda tangguh untuk menghadapi perang demi perang untuk mempertahankan keberadaannya di masa lalu.

Dalam rangka meyiapkan para pemuda jadi prajurit yang hebat, salah satu keterampilan yang harus dimiliki ialah menembus benteng pertahanan musuh. Sejak usia 7 tahun, anak-anak laki-laki telah dilatih melompati tali. Sejalan dengan pertambahan usia mereka, maka tali yang dilompati akan terus meninggi dan meninggi. Hingga nanti tiba saatnya dilakukan ritual ini, tinggi banteng musuh itu diandaikan bahkan bisa mencapai 2,1 meter, di mana di atasnya terkadang sengaja diberi benda-benda tajam.

Walhasil, untuk melewati ujian ini tidak sekali dua berakibat luka-luka, atau bahkan kematian bagi calon prajurit. Seorang pemuda dianggap berhasil jikalau ia telah sanggup melompati susunan batu tersebut sebanyak tiga kali. Begitu berhasil, berarti dia sudah dianggap matang dan dapat menjadi prajurit serta pengawal desa. Selain itu, dia juga akan dijamu oleh raja atau bangsawan (Si 'ulu Banua).

Tradisi ini diwariskan turun-temurun di setiap keluarga, dari ayah kepada anak lelakinya. Kendati sedari kecil semua anak-anak laki-laki sudah dilatih secara intensif, toh ternyata tetap saja tidak semua pemuda sanggup melakukannya. Masyarakat Nias percaya, selain latihan, ada unsur magis dari restu roh leluhur turut menentukan seseorang dapat berhasil melompati batu dengan sempurna atau tidak.

Setelah memasuki periode pascaperang di zaman modern, loncat batu sekadar menjadi ritual inisiasi kedewasaan saja. Hingga kini ritual lompat batu masih dipraktekkan di masyarakat Nias pada umumnya, dan Nias Selatan pada khususnya. Namun maknanya lebih dimaknai sebagai olahraga tradisional atau untuk tujuan atraksi kebudayaan.

Meskipun demikian, dalam sistem nilai-nilai masyarakat Nias ritual ini masih dimaknai menjadi penakar keberanian dan kedewasaan kaum laki-laki sebagai keturunan para pejuang Nias. Keberhasilan tidak hanya memberikan kebanggaan bagi seorang pemuda tetapi juga bagi keluarga besarnya. Keluarganya lazimnya akan mengadakan pesta dengan mengorbankan beberapa ekor babi. Para pemuda yang berhasil meloncati rintangan juga dianggap sebagai pria sejati dan akan mendapat perhatian dari gadis-gadis.

Kini bagi pengunjung tanah Nias, sekiranya ingin melihat atraksi lompat batu, nisbi tidak perlu menunggu dilangsungkannya ritual tersebut. Datanglah ke Desa Bawomataluo, salah satu desa di Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatra Utara. Desa ini telah diusulkan menjadi kawasan warisan budaya dunia dalam Situs Warisan Dunia UNESCO pada 2009 dan dan pernah dianugerahi sebagai Wonder of the World from Indonesia oleh lembaga The Real Wonder of the World Foundation pada 2012.

Menarik dicatat di sini, sekiranya kita berkunjung pada Agustus biasanya di sana diselenggarakan even Festival Nias. Dalam sesi itu atraksi lompat batu dipertunjukkan secara cuma-cuma. Namun demikian sekiranya kita berkunjung di luar agenda tersebut, kita bisa tetap menonton atraksi tersebut melalui permintaan khusus kepada kepala desa. Kemudian kepala desa akan menunjuk beberapa pemuda untuk melakukan atraksi tersebut.

Tentu saja, ini tidak gratis. Sekalipun demikian tarifnya nisbi cukup terjangkau. Merujuk tulisan Barry Kusuma (2016) dalam bukunya Top 15 Travel Destinations in Indonesia, biayanya untuk seorang pelompat berkisar antara Rp150.000 - 200.000.

https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1567482726_Pre_Event_Lompat_Batu_Nias_(1).jpg" />Atraksi "Lompat Batu" Nias. Foto: Pesona Indonesia

Budaya Keperwiraan

Bersama Hombo Batu, di sini patut disebutkan sebuah tarian yang notabene sangat terkenal. Disebut Tari Faluaya atau Tari Perang. Hombo Batu dan Faluaya bisa dikatakan lahir dari rahim yang sama, yaitu tradisi keperwiraan budaya Nias. Bukan saja mengekspresikan nilai-nilai keperwiraan masyarakat Nias, tari ini juga melukiskan proses peperangan (an sich) yang dilakukan sangat bergelora. Tari ini sekaligus juga menggambarkan persatuan dan kesatuan sebuah masyarakat saat menghadapi ancaman musuh.

Merujuk sumber laman kemdikbud.go.id, kata ‘faluaya’ sendiri berarti “bersama-sama” atau “kebersamaan”, atau juga bisa berarti “kerja sama.” Dari sini bisa disimpulkan, Tari Faluaya ini dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok. Ya, benar, dalam realitasnya tari ini memang ditarikan secara kolosal. Jumlah penarinya bisa tak terbatas, dan seluruh penarinya ialah kaum laki-laki.

Dulu tarian ini digunakan para leluhur Nias untuk meningkatkan semangat penduduk desa, sebelum mereka berperang dengan desa lain. Tarian ini juga menjadi tarian yang sangat prestisius dalam kehidupan kaum lelaki di desa, dikarenakan melambangkan perubahan status dari lelaki remaja menjadi lelaki dewasa. Namun kini tari ini dipentaskan setiap ada acara-acara kebudayaan.

Lazimnya tari ini menceritakan tentang perang antardesa di masa lalu. Setiap daerah di Pulau Nias memiliki jalan ceritanya masing-masing. Namun jalan cerita yang paling terkenal adalah tentang perang antara Desa Orahili Fau dan Desa Bawomataluo.

Merujuk tesis Hubari Gulo (2011) yang berjudul Hoho Faluaya, Tradisi Lisan Masyarakat Nias di Desa Bawomataluo, Kecamatan Fanayama, Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara: Analisis Teks dan Struktur Musik, dipaparkan bahwa sebagai tarian kolosal, tarian ini bisa melibatkan hingga ratusan penari.

Lebih jauh Gulo, layaknya peperangan betulan, prosesi tarian ini juga dipimpin seorang penari panglima perang (Kafalo Zaluaya). Masih di baris depan, juga berdiri wakil panglima dan pemandu hoho yaitu sondroro (pemandu syair pemberi semangat). Posisi panglima sebagai pemberi komando berada di depan menghadap ke arah para penari (bohalima). Panglima ini memberi aba-aba kepada para penari untuk membentuk formasi berjajar panjang.

Dalam menarikan tarian perang ini, penari mengenakan pakaian warna-warni. Terdiri dari warna hitam, kuning, dan merah, dan juga dilengkapi mahkota di kepala layaknya seorang kesatria. Dalam menarikan tarian beragam alat perang juga disertakan, seperti baluse (sejenis perisai dari kayu yang dibuat agak panjang), toho (tombak yang ujungnya dibuat berkait), balewa (parang yang cukup panjang), tolögu (pedang), dan kalabubu (sejenis kalung terbuat dari tempurung kelapa).

Tarian kemudian dimulai dengan gerakan kaki maju mudur sambil dihentakkan ke tanah dan meneriakkan kata-kata pembangkit semangat. Makna gerakan ini adalah kesiapan pasukan untuk maju ke medan perang dengan spirit kepahlawanan. Gerakan kemudian diikuti dengan formasi melingkar, yang seolah-olah menggambarkan mereka tengah bergerak mengepung musuh, setelah musuh terkepung para kesatria pun mudah untuk melumpuhkan.

Gerakan Tari Perang sangat dinamis, hentakkan kaki yang diiringi oleh gerakan mengayunkan tombak dan pedang menggambarkan semangat para prajurit dalam mempertahankan diri dari serangan musuh. Tentu, peran pemandu hoho, yaitu seorang sondroro, di sini sangatlah penting. Pasalnya Tari Perang sebenarnya merupakan bentuk ekspresi estetis yang memadukan kepiawaian gerakan menari dan menyanyi secara simultan dan bersama-sama (koor).

Seorang sondroro harus mampu membangun teks yang berisikan ungkapan spirit patriotisme atau perjuangan, juga spirit kemenangan maupun sikap tak terkalahkan dan pantang menyerah. Singkat kata, seorang sondroro berfungsi mengobarkan “spirit spartan,” sebuah istilah yang lazim untuk melukiskan spirit daya juang dan sikap kepahlawanan tanpa mengenal rasa takut, serta memiliki militansi hingga tetes darah penghabisan.

Keberhasilan seorang sondroro adalah bila syair yang dibangunnya mendapat respons meriah dari para bohalima, yaitu prajurit penari perang. Hoho Faluaya yaitu sastra lisan berisi syair-syair yang mengekspresikan ketangkasan dan kepahlawanan para kesatria Nias. Walhasil, bagi mereka yang hanya mendengar atau sekadar menyaksikan pementasan tarian kolosan itu, bukan mustahil mereka akan segera ikut terbakar semangatnya. (W-1)