Di tengah ancaman pelambatan ekonomi akibat badai Covid-19, pelaku industri kembali menerima siraman insentif. Setelah sebelumnya mereka memperoleh stimulus fiskal, yang disebut Paket Stimulus jilid I, kali ini insentif yang diberikan pemerintah berupa penurunan harga gas untuk industri.
Kabar menyejukkan yang bertiup di tengah-tengah Virus Corona itu diputuskan Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas (ratas) kabinet, dengan topik pembahasan harga gas dan bahan bakar minyak (BBM) di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (18/3/2020).
Memang, isu harga gas sudah lama menjadi keluhan para pelaku industri. Akibat harga gas domestik yang tidak kompetitif, mereka pun mengeluhkan tidak memiliki daya saing bila dibandingkan dengan negara lainnya. Komponen biaya energi dirasakan terlalu tinggi.
Persoalan ini pun juga sudah disinggung oleh Presiden Joko Widodo di dalam ratas tersebut. Melalui sambungan video conference, Presiden menegaskan pembahasan penyesuaian harga gas untuk industri telah dibahas sejak awal tahun.
Setidaknya, ada tiga opsi yang kala itu yang diminta untuk dikalkulasi jajaran menteri. "Opsi pertama mengurangi atau bahkan menghilangkan jatah pemerintah. Opsi kedua, pemberlakuan DMO (Domestic Market Obligation,red). Opsi ketiga, bebas impor gas untuk industri," kata Joko Widodo, Rabu (18/3/2020).
Tidak disebutkan apa yang dipilih ratas tersebut dari tiga opsi yang tersedia tersebut. Namun, dari ratas tersebut telah diputuskan harga gas untuk industri telah ditetapkan sebesar USD 6 per satu juta Btu (British thermal unit)/MMBtu.
Disebut-sebut, pengurangan bagian negara yang diambil sebagai kompromi keputusan harga gas sebesar USD6 per MMBtu. Bila benar skenario ini yang diambil, nilai bagi hasil yang diterima daerah juga berpotensi berkurang.
Keputusan harga sebesar USD 6 per MMBtu sebenarnya sudah ditetapkan di Perpres No. 40/2016. Meskipun sudah ditetapkan sejak 2016, harga itu masih tidak terealisasi hingga ratas pada Rabu (18/32020) tersebut.
Sebelumnya Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif pun sudah berupaya untuk menggapai harga itu dan bisa dijalankan. Beberapa usulan untuk bisa mencapai formula angka itu pun dicari, antara lain harga gas di hulu didorong turun menjadi USD4-USD4,5 pe MMBtu dan biaya transportasi dan distribusi turun jadi USD 1,5 – USD2 per MMBtu.
Berkaitan dengan keputusan penetapan harga gas untuk industri tersebut, Menko Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto siap menindaklanjutinya dengan menyiapkan draft revisi Perpres 40 tahun 2016. Dengan revisi itu, Airlangga berharap bisa ada perluasan insentif tersebut agar harga gas industri USD6 per MMBtu itu juga bisa dinikmati berbagai sektor industri, termasuk pembangkit listrik.
Semangat dalam Perpres No. 40 Tahun 2016 itu perlu diimplementasikan segera. Yang utama, penetapan harga gas industri, sesuai bunyi Perpres No 40 Tahun 2016, memang diperlukan dalam rangka percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan daya saing industri nasional, melalui peta jalan pemanfaatan gas untuk menjamin efisiensi dan efektivitas pengaliran gas.
Sasaran berikutnya ialah siapa saja yang berhak menikmati harga sesuai dengan keputusan Perpres No. 40 Tahun 2016 itu. Mereka itu adalah industri pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.
Pembangkit Listrik
Namun, seperti disampaikan Airlangga Hartarto, Perpres No. 40 Tahun 2016 akan direvisi sehingga penurunan harga gas tidak hanya dinikmati kalangan industri, tetapi juga pembangkit listrik.
Lebih jauh, menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, dari tujuh subsektor itu, yang akan menikmati harga gas murah itu ada setidaknya 430 perusahaan. “Kami mengusulkan 430 perusahaan atau industri yang sektornya sudah ada di Perpres No. 40 tersebut. Kami juga akan usulkan tambahan 325 perusahaan yang belum masuk di perpres itu,” ujar Agus.
Usulan tambahan sebanyak 325 perusahaan di luar perpres itu mencakup industri kertas dan pulp hingga industri ban. “Presiden pun sudah menyetujuinya,” tambah Agus.
Harus diakui memang tidak mudah untuk membuat keputusan harga gas industri di kisaran USD 6 per MMBtu tersebut. Dalam berbagai kesempatan, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyebutkan, bahwa harga gas di sumur atau level upstream masih relatif rendah. Rata-rata harga gas mencapai USD 5,4 per MMBtu. Bahkan, yang di onshore bisa sekitar USD 4 per MMBtu.
Harga itu menjadi lebih tinggi lagi setelah melalui proses distribusi hingga ke industri. Proses distribusi ini dapat dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dan penjual gas. Nah, bila langsung dari KKKS bisa USD 6 – USD 7 saja per MMBtu.
Persoalannya, kadangkala komoditas itu diperjualbelikan oleh para trader dan harga bisa menjadi USD 8 – USD 9 per MMBtu. Harga gas juga sangat dipengaruhi oleh harga minyak dunia. Namun, pemerintah pun telah memutuskan harga gas untuk industri itu sebesar USD 6 per MMBtu, dan itu berlaku per 1 April 2020.
Terlepas dari semua itu, di tengah-tengah lesunya ekonomi nasional yang terhantam wabah Covid-19, kebijakan stimulan berupa penetapan harga gas yang murah tentu diharapkan bisa memberikan dorongan bagi industri untuk terus bergairah.
Keputusan penetapan harga gas itu tentu tidak terlepas dari amanat yang sebelumnya sudah ditetapkan. Disebutkan dalam prinsip neraca gas Indonesia, bahwa pencapaian energi yang berkeadilan itu dilakukan melalui peningkatan akses secara merata, dengan harga yang terjangkau, dan tata kelola penyediaan energi yang lebih efisien.
Dalam mukadimah neraca gas Indonesia dinyatakan secara jelas, bahwa penyediaan gas harus diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan domestik dan mengurangi ekspor secara bertahap. Harapannya, keputusan ratas itu bisa cepat terimplementasi agar harga baru itu bisa meningkatkan daya saing industri nasional.
Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira