Pandemi Covid-19 telah memunculkan efek domino di banyak lini kehidupan masyarakat global. Persebaran virus SARS-COV-2 ini jelas terjadi sangat eksponensial dan berdampak simultan secara multidimensional. Tak satu pun orang bisa memastikan kapan wabah virus ini berakhir.
Setelah di akhir Desember 2019 Tiongkok mengumumkan kasus pertamanya, di akhir Januari otoritas kesehatan dunia WHO telah menyatakan ancaman virus ini sebagai “darurat kesehatan global.” Namun penyabaran virus masih saja bergerak eksponensial, terlebih di luar daratan Tiongkok. Menindaklanjuti situasi ini, pada 11 Maret WHO menyatakan Covid-19 sebagai pandemi global.
Per 4 April 2020, merujuk Worldometers terdapat 203 negara di dunia telah terdampak oleh virus SARS COV-2 yang membangkitkan penyakit Covid-19 ini. Tentu saja, termasuk di sini, Indonesia.
Sejak diumumkan kasus pertama oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, hingga 4 April 2020 telah tercatat kasus positif terinfeksi virus pada 2.092 orang, sebanyak 191 di antaranya meninggal. Menyimak pelbagai model simulasi penghitungan penyebaran virus ini diprediksi tren ke depan masih bakal mengalami peningkatan kasus.
Seperti di negara lain, Indonesia secara regulasi telah menyiapkan payung hukum sebagai piranti merespons situasi wabah yang semakin mengancam di milenium ketiga ini. Salah satunya yang utama dan juga disahkan di masa pemerintahan Presiden Jokowi ialah UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Menindaklanjuti situasi penyebaran Covid-19, sekaligus merespons status pandemi global yang ditetapkan WHO, pada 13 Maret 2020 Presiden Jokowi mengeluarkan Keppres No 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19). Menarik dicatat, Keppres ini telah memasukkan unsur Kepolisian dan TNI jadi anggota pelaksana Gugus Tugas yang dipimpin Kepala BNPB. Struktur rantai komandonya merentang dari pusat ke daerah, bahkan juga hingga di tingkat desa.
Tak berhenti di situ. Pada 31 Maret, Pemerintah Jokowi telah mengeluarkan tiga aturan. Semuanya terkait penanganan penyakit Covid-19. Ketiganya adalah Peraturan Pemerintah (PP) tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar, Keputusan Presiden (Keppres) Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, dan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Konstruksi Regulasi
Tulisan ini bermaksud mendedah “Peraturan Pemerintah atau PP No 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).” Kebijakan ini menjadi aturan pelaksana percepatan penanganan Covid-19 di Indonesia.
Penting digarisbawahi di sini, dampak Covid-19 ini ternyata sungguh luar biasa. Bukan hanya sekadar mengancam keselamatan jiwa dan kesehatan masyarakat, melainkan juga telah berdampak jauh pada aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat. Demikianlah, isi klausul yang jadi dasar pertimbangan PP 21 Tahun 2020.
Juga penting digarisbawahi, konsideran PP ini tak menempatkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 23 Tahun 1959 tentang Penetapan Keadaan Bahaya. Konsideran PP ini ialah, antara lain, Pasal 5 Ayat 2 UUD 1945, UU No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan UU No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Penetapan kondisi darurat sebagaimana dalam Perpu No. 23 tahun 1959 tak menjadi pilihan.
Dengan begitu, deklarasi pemerintah melalui Keppres 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), sama sekali bukanlah darurat sipil.
Merujuk UU Kekarantinaan Kesehatan, Pasal 1 Angka 2, kedaruratan kesehatan masyarakat bermakna sebuah “kejadian kesehatan masyarakat yang bersifat luar biasa dengan ditandai penyebaran penyakit menular dan/atau kejadian yang disebabkan oleh radiasi nuklir, pencemaran biologi, kontaminasi kimia, bioterorisme, dan pangan yang menimbulkan bahaya kesehatan dan berpotensi menyebar lintas wilayah atau lintas negara.”
Selain itu, patut diingat, merujuk UU Kekarantinaan Kesehatan terdapat empat model pelaksanaan kekarantinaan kesehatan. Yaitu, Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, Karantina Wilayah, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Pada titik ini, dari judul PP 21 Tahun 2020 segera bisa dilihat pemerintah telah mengambil model PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar). Selain sebagai respons atas keselamatan dan kesehatan masyarakat, penetapan PSBB jelas tidak ingin mengesampingkan kompleksitas dampak persoalan di pelbagai bidang lain, yakni dampak politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan, serta kesejahteraan masyarakat di Indonesia.
Menyimak judul dari PP 21 Tahun 2020 ini terlihat jelas bahwa regulasi ini dikonstruksi sebagai aturan pelaksana UU Kekarantinaan Kesehatan.
Batasan dan Cakupan
Mari disimak substansi dari pasal-pasalnya. Selain mendefinisikan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar), kriteria berserta luasan cakupannya, PP 21 Tahun 2020 ini juga memberikan batasan perihal pembagian kewenangan pusat dan daerah. Tentu, tujuannya ialah antara pusat dan daerah bukan saja terbangun garis koordinasi dan konsolidasi yang baik, lebih jauh juga diharapkan penanganan penyebaran Covid-19 di lapangan bisa berjalan optimal.
Pasal 1, berbunyi:
“Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan Pembatasan Sosial Berskala Besar adalah pembatasan kegiatan tertentu penduduk dalam suatu wilayah yang diduga terinfeksi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) sedemikian rupa untuk mencegah kemungkinan penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).”
Bicara kriteria Pasal 3 memberikan batasan-batasannya, yaitu:
Pembatasan Sosial Berskala Besar harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. jumlah kasus dan atau jumlah kematian akibat penyakit meningkat dan menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah; dan
b. terdapat kaitan epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.
Sementara bicara cakupan PSBB, merujuk Pasal 4 disebutkan setidaknya minimal meliputi peliburan sekolah dan kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, atau lainnya di pelbagai tempat umum.
Lebih lengkap Pasal 4 Ayat (1), (2) dan (3) berbunyi:
(1) Pembatasan Sosial Berskala Besar paling sedikit meliputi:
a. peliburan sekolah dan tempat kerja;
b. pembatasan kegiatan keagamaan; dan/atau
c. pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas umum.
(2) Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a dan Huruf b harus tetap mempertimbangkan kebutuhan pendidikan, produktivitas kerja, dan ibadah penduduk.
(3) Pembatasan kegiatan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf c dilakukan dengan memperhatikan pemenuhan kcbutuhan dasar penduduk.
Penting digarisbawahi di sini bahwa Ayat (3) menekankan pentingnya sebelum penetapan PSBB untuk memperhatikan aspek pemenuhan kebutuhan dasar penduduk. Merujuk bagian Penjelasan PP ini, kebutuhan dasar penduduk ialah “kebutuhan pelayanan kesehatan, kebutuhan pangan, dan kebutuhan kehidupan sehari-hari lainnya.”
Kewenangan Pusat dan Daerah
Lantas, pertanyaanya ialah: otoritas manakah yang menetapkan status kedaruratan kesehatan masyarakat?
UU Kekarantinaan Pasal 10 Ayat (1) menyebutkan, penetapan dan pecabutan kedaruratan kesehatan masyarakat di suatu wilayah ialah kewenangan pemerintah pusat. Pasal 10 Ayat (1) bunyinya:
“Pemerintah Pusat menetapkan dan mencabut Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.”
Sedangkan soal tata cara penetapan dan pecabutan kedaruratan kesehatan masyarakat, Pasal 10 Ayat (4) menyebutkan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan dan pencabutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dan Ayat (2) diatur dengan Peraturan pemerintah.”
Tak berbeda dengan itu ialah UU tentang Penanggulangan Bencana. Pada Pasal 7 Ayat (1) Huruf (c) UU tersebut juga menegaskan bahwa otoritas yang menetapkan status bencana entah alam atau nonalam baik di tingkat nasional ataupun daerah ialah merupakan kewenangan pemerintah (pusat).
Tak kecuali, UU tentang Wabah Penyakit Menular. Pasal 4 Ayat (1) dan (2) menegaskan bahwa penetapan dan pencabutan status daerah tertentu sebagai daerah wabah ialah kewenangan pemerintah c.q kementerian terkait.
Artinya, dengan lahirnya PP 21 Tahun 2020 ini semakin jelas bahwa penetapan atau pencabutan kedaruratan kesehatan masyarakat kewenangannya berada di pemerintah pusat.
Setelah status kedarurat kesehatan masyarakat telah dideklarasikan pemerintah melalui Keppres 11 Tahun 2020, dan pilihan kekarantinaan kesehatan telah ditetapkan melalui model PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dengan PP 21 Tahun 2020, maka sekiranya status sebuah wilayah nantinya telah ditetapkan sebagai PSBB sudah pasti pemerintah daerah setempat wajib segera melaksanakan ketentuan tersebut.
Pasal 5 Ayat (1) dan (2) dalam PP 21 Tahun 2020 berbunyi:
(1) Dalam hal Pembatasan Sosial Berskala Besar telah ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib melaksanakan dan memperhatikan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
(2) Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diselenggarakan secara berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak terkait sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.
Meski demikian kepala daerah baik gubernur, wali kota, atau bupati juga bisa melakukan penerapan PSBB jika menganggap daerahnya rawan penyebaran Covid-19. Hanya saja kebijakan penetapan PSBB tersebut tetap harus diusulkan oleh pemerintah daerah dan harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan RI.
Pasal 2 Ayat (1) dan (2) berbunyi:
(1) Dengan persetujuan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau pembatasan terhadap pergerakan orang dan barang untuk satu provinsi atau kabupaten/kota tertentu.”
(2) Pembatasan Sosial Berskala Besar sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) harus didasarkan pada pertimbangan epidemiologis, besarnya ancaman, efektifitas, dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan.”
Poin tentang tata cara penetapan PSBB kembali ditegaskan secara terperinci pada Pasal 6 Ayat (1), (2), (3) dan (4), yang berbunyi:
(1) Pemberlakuan Pembatasan Sosial Berskala Besar diusulkan oleh gubernur/bupati/wali kota kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(2) Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan memperhatikan pertimbangan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 20 1 9 (Covid- 1 9).
(3) Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dapat mengusulkan kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar di wilayah tertentu.
(4) Apabila menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan menyetujui usulan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), sebagaimana dimaksud pada Ayat (3), kepala daerah di wilayah tertentu wajib melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Bergerak sigap, selang tiga hari dari ditekennya Keppres 11 Tahun 2020 dan PP 21 Tahun 2020, aturan teknis untuk mengimplementasikan kebijakan PSBB di daerah juga sudah selesai disusun. Pada 3 April 2020 Kemenkes telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan No 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Beberapa hal penting patut dicatat di sini. Pada Bagian Kedua, Permohonan Penetapan, Pasal 3 dan 4 hingga berisi pedoman teknis permohonan dari bupati, wali kota, dan gubernur kepada Menteri Kesehatan RI supaya teritorial wilayahnya dapat ditetapkan sebagai PSBB. Selain itu, pada Pasal 5 disebutkan bahwa Kepala Pelaksana Gugus Tugas juga dapat mengusulkan kepada menteri untuk menetapkan PSBB di wilayah tertentu.
Pertanyaannya, apakah adanya prosedur permohonan ini akan membuat prosesnya berlangsung lama dan menjadi terlalu birokratis? Jawabannya bisa dipastikan tidak demikian. Apa pasalnya?
Simaklah, Bagian Ketiga, Tata Cara Penetapan, khususnya Pasal 7 Ayat (4) dan Pasal 8 Ayat (1). Setelah dilakukan kajian epidemiologis secara mendalam, plus kajian aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pertahanan, dan keamanan, maka Tim segera membuat rekomendasi kepada Menteri Kesehatan.
Apakah proses ini membutuhkan waktu lama? Jawabannya, “tidak.” Satu hari sejak diterimanya permohonan dari Bupati, Wali kota, dan Gubernur, atau Ketua Pelaksana Gugus Tugas, maka rekomendasi kepada Menteri Kesehatan haruslah sudah selesai dibuat.
Mari disimak bunyi Pasal 7 Ayat (4):
“Berdasarkan hasil kajian sebagaimana dimaksud pada Ayat (2), tim memberikan rekomendasi penetapan Pembatasan Sosial Berskala Besar kepada Menteri dalam waktu paling lama 1 (satu) hari sejak diterimanya permohonan penetapan.”
Sedangkan jawaban Menteri Kesehatan, apakah “ya” atau “tidak” terhadap permohonan yang diusulkan oleh pemerintah daerah supaya wilayahnya ditetapkan sebagai PSBB tersebut juga tidaklah memakan waktu lama. Menteri Kesehatan hanya butuh waktu paling lama satu hari sejak mendapatkan rekomendasi dari tim atas kondisi objektif wilayah yang diusulkan tersebut.
Mari disimak bunyi Pasal 8 Ayat (1):
“Menteri menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar untuk wilayah provinsi/kabupaten/kota tertentu dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) hari sejak diterimanya permohonan penetapan.”
Penegakan Hukum
Jika menyimak kritis UU Kekarantinaan Kesehatan, terdapat empat perintah pembentukan PP (Peraturan Pemerintah) yaitu: terkait (1) tata cara pemerintah menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat; (2) penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat; (3) tata cara pengenaan sanksi administratif; dan (4) kriteria dan pelaksanaan Karantina Rumah, Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan Pembatasan Sosial Berskala Besar.
Tentu saja keempat perintah pembentukan PP bisa saja termaktub dalam satu PP. Satu PP dengan isi empat substansi tentu saja dimungkinkan. Namun sayangnya, PP 21 Tahun 2020 ternyata hanya memuat materi yang ruang lingkupnya jauh lebih kecil dari apa yang seharusnya dibuat oleh PP untuk menjalankan amanah UU Kekarantinaan Kesehatan.
Benar, tentu saja UU Kekarantinaan Kesehatan telah memuat aspek penegakan hukum (law eforcement). Ada dua jenis sanksi, yaitu sanksi pidana dan administratif.
Aspek penegakan hukum merupakan instrumen penting bagi keberhasilan kebijakan PSBB di lapangan. Sejalan dengan UU ini, Kepolisian dan PPNS (Pejabat Pegawai Negeri Sipil) Kekarantinaan Kesehatan telah diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan dan penyelidikan terhadap dugaan adanya tindak pelanggaran pidana kekarantinaan kesehatan.
Bicara aspek ketentuan pidana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan diatur pada Bab XIII, Ketentuan Pidana, khususnya Pasal 93.
Pasal 93 berbunyi:
“Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 Ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).”
Tak hanya itu, UU tentang Wabah Penyakit Menular pada Pasal 14 juga terdapat klausul ketentuan pidana.
Pasal 14 Ayat (1), (2) dan (3) berbunyi:
(1) “Barang siapa dengan sengaja menghalangi pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).”
(2) “Barang siapa karena kealpaannya mengakibatkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan wabah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini, diancam dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan dan/atau denda setinggi-tingginya Rp 500.000,- (lima ratus ribu rupiah).”
(3) “Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) adalah kejahatan dan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Ayat (2) adalah pelanggaran.”
Aspek ketentuan pindana dalam UU Kekarantinaan Kesehatan sama sekali tidak mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam produk regulasi turunanan seperti PP. Ini berarti, sekiranya penerapan terkait penanganan PSBB di lapangan dibutuhkan lebih tegas maka ketentuan pidana itu dapat segera diimplementasikan oleh pihak terkait. Kewenangan dalam hal ini tentu ada pada institusi Kepolisian.
Terkait hal di atas, Kepolisian juga telah mengeluarkan Maklumat Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: Mak/2/III/2020 tentang Kepatuhan Terhadap Kebijakan Pemerintah Dalam Penanganan Penyebaran Virus Corona (Covid-19).
Sedangkan bicara sanksi administratif diatur pada Bagian Keenam, Sanksi Administratif, Pasal 48, UU Kekarantinaan Kesehatan. Namun instrumen tersebut ternyata belum diatur dalam PP 21 Tahun 2020. Seperti diketahui, UU Kekarantinaan Kesehatan Pasal 48 Ayat (6) mensyaratkan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam PP. Namun, sejauh ini PP 21 Tahun 2020 ini belum mengatur aspek sanksi administrasi tersebut.
Penulis: Waskito Giri
Redaktur Bahasa: Putut Tri Husodo/Ratna Nuraini