Indonesia.go.id - Pandemi Tanpa Resesi, Tanpa Inflasi

Pandemi Tanpa Resesi, Tanpa Inflasi

  • Administrator
  • Senin, 6 April 2020 | 19:12 WIB
PEREKONOMIAN
  Sejumlah Pekerja Migran Indonesia (PMI) melintasi pintu pagar setibanya di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalbar, Sabtu (21/3/2020). Pasca

Bank Dunia mempediksi Indonesia tumbuh 2,1 persen pada 2020. Perkiraan ADB 2,5 persen. Tapi, BI yakin 4,2-4,6 persen. Tak ada resesi dan inflasi. Sawit dan batu bara masih laku.

Udara hangat mulai merayapi jalan-jalan di  Kota Wuhan. Suhu udara tercatat 22 derajat Celsius di siang hari dan 12 Celsius di malam hari, pada awal  April ini. Warga kota mulai berani berjalan-jalan keluar rumah, meski masih mengenakan masker  dan sarung tangan. Tak ada kerumunan. Petugas kebersihan yang paling sibuk. Mereka membersihkan segenap sudut kota, menyapu, menyemprot, dan membilas sudut-sudut kota yang sempat terbengkalai sejak kota itu dikarantina total sejak 23 Januari lalu.

Pemerintah Tiongkok menyatakan akan membuka kembali Wuhan per 8 April ini. Transportasi kota dan antarkota akan kembali beroperasi secara bertahap. Sebagai salah satu jantung perekonomian Tiongkok, Wuhan tak boleh tidur lama. Di situ ada tiga kawasan Litbang Nasional dan empat technopark, yang di dalamnya ada 350 unit lembaga riset dan 1.470 korporasi berbasis teknologi tinggi.

Wuhan siap bangkit setelah menjadi episentrum ledakan virus SARS COV-2 yang menjadi penyebab Covid-19, pada Januari lalu. Kini angka kejangkitan Covid-19 sudah mendekati nol kasus, begitu halnya di kota-kota lainya di sekitar.

Namun, tidak berarti Tiongkok dapat segera menekan pedal gas industrinya. Kalau pun produksinya dipacu, siapa yang mau beli? Negara-negara tujuan ekspor sedang sibuk menanggulangi wabah yang sama. Dari sisi rantai pasokan, Tiongkok juga akan kesulitan bahan baku industrinya karena sebagian besar negara pemasok mengalami hambatan, baik dari sisi produksi maupun transportasinya. Tiongkok untuk sementara waktu hanya akan berproduksi untuk pasar domestiknya.

Ekonomi Tiongkok tidak akan ambruk, tapi  akan mengalami pelambatan. Dengan kontribusinya 16,5% pada produk domestik bruto (PDB) dunia, penciutan ekonomi Tiongkok akan mengakibatkan kontraksi global. Apalagi, raksasa Amerika Serikat (AS) yang menyumbang 35% PDB dunia  diterjang serangan Covid-19 lebih masif, dengan 312 ribu kasus infeksi dan 8.500 korban meninggal per 4 April. Sampai hari yang sama, di Tiongkok ada 82.785 kasus dengan pasien meninggal 3.335 orang.

Pandemi Covid-19 itu telah membuat Tiongkok dan Amerika terluka. Meski AS tak mau memberlakukan lockdown di wilayahnya, tidak berarti ekonominya tak terguncang. Banyak industrinya yang menutup pintu, karena rantai suplainya terganggu, baik dari sisi produksi maupun penjualan, dari sisi ekspor maupun impor. Ditambah pula adanya dampak pukulan ke sektor perbankan dan keuangan.

Bukan hanya Amerika dan Tiongkok, virus juga menerjang ke seluruh penjuru dunia. Tidak satu pun dari anggota G-20 (20 negara dengan PDB terbesar) bebas dari serbuan virus corona ini. Pandemi global ini telah diikuti musibah ekonomi global. Analis Asian Development Bank (ADB), yang meliris siaran pers dari Manila akhir pekan lalu (3/4/2020), menyatakan bahwa secara nominal PDB dunia akan teriris setidaknya USD4,1 trilun. “Hampir lima persen dari PDB global,” kata Ketua Tim Ekonom ADB Yasuyuki Sawada.

Bank yang berbasis di Manila mengatakan, bila pandemi itu berlangsung lebih singkat dan ekosistem bisnis tak harus menderita berlama-lama, kerugian bisa ditekan hingga ke USD2 triliun. Tapi, gelagat baik tak terlihat. Yang terjadi, justru krisis telah membawa pasar ekuitas berputar karena pedagang resah atas dampak jangka panjang pada ekonomi dunia.

Adanya komitmen bank-bank sentral untuk memberikan stimulus dan melakukan relaksasi kebijakan moneternya dengan suntikan USD5 triliun tidak serta-merta menenangkan keadaan. Kemungkinan munculnya krisis moneter, menurut ADB, tidak bisa dikesampingkan.

 

Pertumbuhan Negatif

Suasana prihatin itu pula yang membingkai  pertemuan virtual Menteri Keuangan dan bank sentral negara G-20, pada 23 Maret lalu. Forum itu mengakui, pandemi corona telah memberikan tekanan berat pada perekonomian global. Bahkan, Dana Moneter Internasional (IMF) yang hadir pada acara itu memprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi global bakal  negatif. “Akan terjadi  kontraksi yang jauh lebih serius dari yang tadinya dibayangkan, pertumbuhan ekonomi 2020  bisa di atas 3 persen," ujar Menkeu Sri Mulyani dalam video conference, yang menggambarkan situasi parat virtual G-20 itu, Selasa (24/3/2020).

Dalam pertemuan itu pula, IMF juga menyampaikan situasi saat ini seperti krisis 2008 atau bahkan lebih buruk. Karenanya, IMF akan menyiapkan pendanaan sebesar USD1 triliun, dan mengusulkan adanya tambahan USD500 miliar,  sebagai fasilitas swap  bagi seluruh anggota IMF. "Dengan tambahan USD500 miliar dari komitmen  USD1 triliun itu, diharapkan IMF secara otomatis membantu negara-negara yang saat ini menghadapi capital outflow, dan berada pada situasi likuiditas  sangat ketat," Menkeu Sri Mulyani menambahkan.

Situasi murung yang dihadapi negara G-20 itu cerminan kondisi perekonomian global yang diterjang badai corona. Kondisi Eropa Barat jelas tidak lebih baik dibanding Asia-Pasifik. Wabah Covid-19 yang penularannya bergerak bak kartu domino itu, kini menimbulkan efek kartu domino berikutnya, yakni  krisis kesehatan menggelinding menjadi krisis ekonomi, keuangan, sosial, dan kemungkinan politik. Kondisi yang murung akibat perang dagang AS-Tiongkok tahun lalu kini semakin kelabu.

Toh, pandangan analis ADB tak semurung IMF. Menurut Yasuyuki Sawada, Asia akan menjadi sentra ekonomi penting di tengah terpuruknya ekonomi global. Menurut Sawada, ekonomi Asia masih bisa tumbuh 2,2 persen. Motornya tetap Tiongkok yang diperkirakan tumbuh  2,3 persen di tahun 2020  ini. Anjlok dari 6,1 persen pada 2019. Namun, Tiongkok akan bangkit 2021.

Prediksi Bank Dunia tak terlalu senjang dari ADB. Perkiraan Bank Dunia, Tiongkok dapat tumbuh 2,3 persen tahun 2020 ini. Kawasan Asia Timur dan Pasifik bisa  tumbuh 1,3 persen, anjlok dari capaian 2019 yang bisa menyentuh level 4,7 persen. Tapi, masih dalam zona hijau, tak tergelincir ke medan resesi. Kondisi ini tentu menguntungkan bagi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang merupakan bagian dari kerja sama ekonomi Asiai-Pasifik.

 

Indonesia Tanpa Resesi

Kinerja Perekonomian Indonesia tentu dipengaruhi oleh situasi global dan regionalnya, terutama di Asia-Pasifik. Ekspor nonmigas Indonesia, misalnya, tahun 2019 terbesar ke Tiongkok  16,7 persen, ke AS 11,4 persen, ke Jepang 8,9 persen, dan selebihnya ke India, Australia serta negara Asia Tenggara. Porsi ke Eropa belum besar. Nilai ekspor ke tiga negara importir terbesar di Eropa (Belanda, Jerman, dan Italia), hanya sekitar 7 persen.

Bank Dunia menyebutkan bahwa ekspor Indonesia akan terganggu oleh badai corona itu. Begitu pun arus impornya, terutama pada bahan baku industri. Sektor industri akan mengalami tekanan. Bank Dunia memperkirakan akan terjadi kontraksi pada ekspor dan impor, dan itu melanjutkan kontraksi yang terjadi di 2019. Pariwisata juga akan mengalami banyak hambatan.

Dari sisi keuangan juga terjadi guncangan akibat wabah Covid-19 ini. Bank Indonesia mencatat ada aliran modal  keluar mencapai Rp105,1 triliun secara netto per Kamis (19/3/2020). Jumlah itu terdiri dari SBN (Surat Berharga Negara) sebesar Rp92,8 triliun dan saham Rp8,3 triliun. "Sebagian besar capital outflow terjadi di bulan Maret, seiring eskalasi penyebaran virus yang cepat di AS dan Eropa. Mereka melepas aset dan kemudian dikonversi ke dolar AS," kata Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam teleconference, (24/3/2020).

Dengan segala dampaknya, Bank Dunia memperkirakan perekonomian Indonesia masih bertahan di zona positif. Tak ada resesi. Pertumbuhan ekonominya  pada level 2,1 persen tahun 2020. Investasi masih tumbuh 3,1--3,5 persen, berupa pembentukan modal tetap bruto (PMTB).  Konsumsi swasta tumbuh 1,5 persen (menciut dari 5,2 persen tahun lalu). Namun, ada topangan konsumsi pemerintah yang diperkirakan tumbuh 5 persen. Meski asumsinya mirip Bank Dunia, ADB punya perkiraan yang berbeda, yakni 2,5 persen. Gelagat inflasi juga tak terlihat. Terjaga di sekitar 3 persen.

Sementara itu, Bank Indonesia yakin, ekonomi Indonesia masih bisa tumbuh 4,2-4,6 persen. Bank Indonesia melihat bahwa pandemi Covid-19 tidak terlalu memukul ekspor andalan Indonesia, yaitu minyak sawit dan turunannya serta batu bara. Di luar itu, masih ada ekspor bahan mineral lainnya. Adanya kebijakan bansos dan subsidi listrik pun diharapkan bisa menjaga konsumsi masyarakat tidak terlalu merosot.

 

Penulis : Putut Trihusodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini