Wabah virus corona terus merangsek ke segala penjuru negeri. Jumlah pasien terinfeksi bergerak secar eksponensial, dan pemerintah pun kini memberlakukan kondisi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Jalan-jalan sunyi, toko-toko terkunci, dan mal-mal berhenti beroperasi. Toh, itu tidak berarti secara kegiatan transaksi sepi. Jual beli secara online melonjak secara spektakuler.
Bisnis yang mengandalkan perdagangan online, sering disebut sebagai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) itu mengeliat. Gejala itu tak luput dari perhatian Menteri Keuangan Sri Mulyani. “Usaha PMSE merupakan industri satu-satunya yang tetap tumbuh di tengah melemahnya aktivitas kegiatan ekonomi,” katanya Rabu (1/4/2020).
Tak dipungkiri, bisnis itu tumbuh dan menjadi kebutuhan masyarakat di tengah pandemi penyakit Covid-19. Bisnis yang sejak beberapa tahun ini naik daun itu makin terdongkrak dengan semakin luasnya aktivitas kerja di rumah, yang kini populer sebagai work from home (WFH). Dengan begitu, banyak karyawan dari berbagai level, tetap bisa menjalankan pekerjaannya tanpa harus mengambil risiko bertemu virus di jalan atau di kantor, tempat yang menjadi tempat berkumpulnya orang dari berbagai pelosok kota.
Namun, agar pekerjaan lancar, banyak pekerja harus meng-upgrade piranti elektroniknya. Pada saat yang sama, pelajar dan mahasiswa juga harus belajar di rumah masing-masing, seraya berkomunikasi dengan guru atau dosen, juga mengerjakan tugas akademis, secara online. Mereka pun perlu meng-update mobile phone-nya. Kebutuhan itu bisa dilayani tanpa mereka harus mendatangi gerai di pertokoan atau mal. PMSE siap membantu.
Sejumlah aplikasi untuk mendukung WFH pun tumbuh marak. Salah satunya aplikasi seperti Zoom yang kini menjadi sangat familier di telinga pekerja. Aplikasi itu menawarkan aktivitas telekonfrensi. Selain aplikasi Zoom itu, masih banyak lagi aplikasi sejenis guna mendukung aktivitas WFH tersebut. Belum lagi piranti kerasnya maupun additional dan optional-nya. Semua mudah dibeli via online.
Bukan hanya barang dan aplikasi digital. Dampak PSBB yang menekankan warga untuk menjaga diri dengan physical distancing (menjaga jarak secara fisik) dari orang lain, membuat aktivitas ekonomi lainnya berdenyut, melalui sistem elektronik (e-commerce). Pedagang online pun kebanjiran order. Pembeli tinggal duduk di rumah dan barang yang dibeli pun akan diantar hingga depan pintu rumah.
Nah, apa saja tren perilaku belanja konsumen di tengah wabah pandemi itu? Yang ramai tentunya produk yang berkaitan dengan pandemi, atau diperlukan oleh keluarga yang bekerja atau belajar di rumah dan segan pergi ke tempat ramai. Mereka memburu masker, sanitizer, disinfektan, sarung tangan, alkohol, dan berbagai obat. Yang paling dicari ialah Chloroquine, obat Malaria yang diyakini bisa membantu pasien berjuang melawan infeksi Covid-19. Vitamin dan suplemen pun terus dikuras konsumen.
Makanan juga terus diburu pembeli. Yang mentah, setengah matang, atau hasil olahan. Ikan, daging, bawang, hingga daun seledri bisa dibeli secara online. Begitu halnya dengan aneka buah, serta bahan herbal empon-empon, mulai jahe, kunyit, kencur, serai, hingga temulawak. Aneka buah pun diburu pembeli hingga terkerek naik harganya.
Trafik Naik
Lonjakan layanan dagang online itu diakui oleh Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA). Seperti disampaikan ketua umum idEA Ignatius Untung, hampir semua penyedia layanan dagang online mengalami peningkatan permintaan. “Namun, kami tak mau terlalu gamblang membicarakan kenaikan ini karena tidak etis di tengah bencana seperti ini,” ujarnya.
Sama seperti layanan perdagangan online, trafik layanan telekomunikasi terutama data internet menikmati berkah dari wabah pandemi ini. Wakil Ketua Asosiasi Telekomunikasi Selular Indonesia (ATSI) Merza Fachys mengatakan, operator diprediksi mengalami kenaikan 10--15 persen. “Memang ada kenaikan, tapi tidak terlalu signifikan,’’ katanya.
Fix line internet, seperti Indihome, Firstmedia, Biznet, dan sejenisnya, banjir permintaan. Booming internet sudah tidak bisa dihindari. Dalam sebuah survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia (APJII) dan dirilis Maret 2019 disebutkan, dari total populasi penduduk Indonesia sebanyak 264,16 juta orang, sebanyak 64,8% penduduknya sudah melek internet, atau setara dengan 171,17 juta orang.
Dari sisi penggunanya, survei itu juga mengungkapkan bahwa penggunaan smartphone (ponsel) menjadi alat yang sangat dominan sebagai alat untuk akses internet setiap hari, yakni mencapai 93,9%. Dengan adanya pandemi dan perubahan perilaku masyarakat yang kini lebih banyak kerja di rumah, porsi itu bisa jadi berubah, atau lebih banyak menggunakan fix line internet.
Adanya lonjakan bisnis itu dilihat pemerintah dan dilirik sebagai sumber pengenakan pajak. Objek pajaknya tentu pelaku usaha Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Sedangkan, operator fix line internet sendiri memang telah lama menjadi objek pajak.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengemukakan, pertimbangan pemerintah untuk mengenakan pajak itu karena PMSE satu-satunya bisnis yang tetap bisa tumbuh di tengah situasi lunglai denyut aktivitas ekonomi. Ia mencontohkan, saat ini mayoritas perkantoran menggunakan aplikasi seperti Zoom untuk melakukan telekonfrensi karena sebagian besar bekerja di rumah atau WFH.
Oleh karena itu, aturan ini akan dikenakan kepada seluruh PMSE yang beroperasi di wilayah Indonesia, dan tidak harus menjadi Badan Usaha Tetap (BUT). Pertimbangannya, mereka memiliki penghasilan yang signifikan di Indonesia.
Dasar hukum pengenaan pajak ada di mana? Rupanya, aturan itu terdapat di Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 1 Tahun 2020. Perppu tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan pandemi corona virus disease 2019 (Covid-19) itu ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 31 Maret lalu.
Dalam beleid itu terutama bagian ketiga diatur soal perpajakan. Pasal 4 Ayat (1) b menyebutkan, perlakuan perpajakan dalam kegiatan PMSE. Di Ayat 2 pasal yang sama juga menyebutkan PMSE sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf b merupakan perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik.
Sebenarnya, ketentuan perlakuan perpajakan dalam kegiatan PMSE, yang awalnya diniatkan masuk RUU Omnibus Law Perpajakan, ikut diatur dalam Perppu No.1/2020 tersebut.
Empat Klausul Baru
Perlakuan perpajakan PMSE ini menjadi salah satu dari empat kebijakan di bidang perpajakan dalam Perppu No.1 tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19. Adapun isi ke-4 klausul perpajakan di situ adalah yang pertama, tentang penyesuaian tarif pajak penghasilan (PPh) wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap (BUT). Kedua, perlakuan perpajakan dalam kegiatan PMSE.
Kemudian ketiga, perpanjangan waktu pelaksanaan hak dan pemenuhan kewajiban perpajakan. Keempat, pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk untuk penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional.
Perlakuan perpajakan tersebut dibagi menjadi dua hal. Pertama, pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) atas pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean melalui PMSE.
Pengenaan PPN mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang (UU) tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di situ disebutkan, PPN itu dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, penyelenggara PMSE luar negeri, dan/atau penyelenggara PMSE dalam negeri, yang ditunjuk Menkeu.
“Penyelenggara PMSE … merupakan pelaku usaha penyedia sarana komunikasi elektronik yang digunakan untuk transaksi perdagangan,” demikian bunyi penggalan Pasal 6 Ayat (4) di perppu itu.
Pedagang luar negeri atau penyedia jasa luar negeri merupakan orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau bertempat kedudukan di luar daerah pabean yang melakukan transaksi dengan pembeli barang atau penerima jasa di dalam daerah pabean melalui sistem elektronik.
Hal kedua, pengenaan pajak penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan PMSE yang dilakukan oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan. Pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau penyelenggara PMSE luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran ekonomi signifikan dapat diperlakukan sebagai bentuk usaha tetap (BUT) dan dikenakan PPh.
Ketentuan kehadiran ekonomi signifikan berupa peredaran bruto konsolidasi grup usaha sampai dengan jumlah tertentu, penjualan di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu, dan/atau pengguna aktif media digital di Indonesia sampai dengan jumlah tertentu.
PPh dibayar dan dilaporkan oleh pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri, dan/atau penyelenggara PPMSE luar negeri. Mereka dapat menunjuk perwakilan yang berkedudukan di Indonesia untuk memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang dan/atau untuk memenuhi kewajiban PPh. Berikutnya, besarnya tarif, dasar pengenaan, dan tata cara penghitungan PPh akan diatur dengan atau berdasarkan peraturan pemerintah (PP), sesuai dengan penggalan bunyi Pasal 6 Ayat (12) di perppu tersebut.
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukan, pemungutan, dan penyetoran, serta pelaporan PPN; kehadiran ekonomi signifikan, tata cara pembayaran dan pelaporan PPh atau pajak transaksi elektronik; dan tata cara penunjukan perwakilan diatur dengan peraturan menteri keuangan (PMK).
Kendati Perppu itu berlaku mulai 31 Maret 2020, sesuai UU No.12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perppu masih harus diajukan ke DPR dalam persidangan yang berikut (masa sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan).
Pengajuan Perppu dilakukan dalam bentuk pengajuan RUU tentang penetapan Perppu menjadi UU. DPR hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap perppu. Jika perppu mendapat persetujuan DPR, perppu ditetapkan menjadi UU.
Jalan masih panjang. Kita tunggu saja perppu itu menjadi UU. Negara ini perlu menjaga basis pajak di tengah penerimaan pajak yang semakin tertekan di tengah pandemi, termasuk dari sektor pajak PMSE yang selama ini bebas menikmati bisnis dari tumbuh pesatnya kue ekonomi digital.
Penulis: Firman Hidranto
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini