Indonesia.go.id - Slot Geostasioner 113 BT Tetap Milik Indonesia

Slot Geostasioner 113 BT Tetap Milik Indonesia

  • Administrator
  • Minggu, 12 April 2020 | 03:36 WIB
SATELIT NUSANTARA DUA
  Satelit Nusantara Dua saat akan dibawa ke orbit oleh Roket Long March 3B milik China di Pusat Peluncuran Antariksa Xichang, Sichuan. Gagal mengorbit karena kehilangan daya dorong. Foto: PT PSN

Satelit Palapa Nusantara Dua gagal mengorbit karena musibah Roket Long March 3B. Menteri Johnny G Plate menjamin Slot 113 derajat Bujur Timur tetap jadi milik Indonesia.

Masyarakat telekomunikasi Indonesia sedang dilanda prihatin.Telah terjadi musibah. Satelit Palapa Nusantara Dua, milik Konsorsium Indonesia, gagal mengorbit. Roket Long March 3B, yang meluncur dari launching pad  Xichang Provinsi Sichuan, Tiongkok, Kamis (9/4/2020) malam, gagal mencapai  trayektorinya. Roket jatuh menghempas tanah bersama satelit seharga USD200 juta di dalamnya.

Sampai menjelang hitungan mundur, tak ada tanda-tanda gangguan. Long March 3B diluncurkan. Roket utamanya menyala serentak dengan dua roket boosternya di pinggang kanan kiri. Seperti lazimnya, roket utama itu berbahan bakar cair, kedua boosternya menggunakan propelan padat.

Tenaga besar dari tiga roket itu diperlukan guna mencapai daya tendang (thrust) yang besar guna memperoleh percepatan gerak yang melampaui  percepatan gravitasi. Dalam waktu yang singkat, ketiga roket itu selesai bertugas, terlepas dari body atas dan hancur. Roket tingkat dua di atasnya mengambil alih. Ia menyala dengan propelan cair. Laju gerak roket telah melampaui percepatan gravitasi. Tapi, daya tarik bumi masih terasa.

Roket tingkat dua bisa bekerja, ganti roket ketiga yang akan membawa bergerak keluar dari orbit rendah. Namun, di situlah muncul masalah. Saat roket kedua melepaskan diri, roket ketiga gagal menyala. Roket kehilangan tenaga dan jatuh. Padahal, di ujung atas ada kabin yang membawa  sejumlah satelit, termasuk Satelit Palapa Nusantara Dua.

Satelit Palapa Nusantara Dua itu dibangun dengan teknologi terbaru HTS (high throughput satellite), yang menyediakan kapasitas unduh seratus kali lebih kuat dibanding satelit lama Ku-Band. Satelit naas itu milik PT Palapa Satelit Nusa Sejahtera (PSNS), perusahaan patungan antara PT PSN (Pasifik Satelit Nusantara), PT Indosat Ooredoo, dan PT Pintar Nusantara Sejahtera. 

Sedianya, Palapa Nusantara Dua itu akan mengisi slot orbit 113 derajat Bujur Timur, pada ketinggian 36.500 km di atas Kota  Pontianak. Orbitnya geostasioner, selaras dengan rotasi bumi (kecepatan sudutnya yang sama). Satelit itu  akan dimanfaatkan Indosat Ooredoo sebagai penyedia jasa satelit untuk menunjang bisnis media broadcasting di Indonesia.

Satelit Palapa Nusantara Dua dirancang untuk menggantikan Satelit Palapa D (kelas Ku-Band) yang segera habis usia teknisnya pada 2020. Palapa D itu buatan Prancis dan diluncurkan Agustus 2009, juga dengan Roket Long March. Adapun Palapa Nusantara dibuat oleh pabrik satelit Tiongkok, China Great Wall Industry Corporation (CGWIC), sejak 2017.

Meski diasuransikan, seperti keterangan yang disampaikan Dirut PT PSNS Johanes Indri Trijatmojo, musibah tetap saja musibahnya. Insiden ini akan membuat kerepotan sebab beban Palapa D harus dipindahkan ke satelit lain. Untuk membangun satelit baru diperlukan waktu sedikitnya dua tahun sampai bisa diluncurkan.

Tidak Pindah Tangan

Terkait musibah itu, Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Johnny G Plate memastikan, slot orbit 113 BT itu tetap akan dikuasai Indonesia. “Kami sudah berkomunikasi dengan ITU (International Telecommunication Union) berkaitan dengan gagal mengorbitnya satelit itu. Indonesia tetap menggunakan slot orbit tersebut,” katanya. Jadi, tak ada keputusan pindah tangan oleh otoritas telekomunikasi internasional itu.

Pendapat Johnny itu didukung Dirjen SDPPI (Sumber Daya, Perangkat Pos, dan Informatika) Kemenkominfo Ismail. Menurut Ismail, pemerintah Indonesia akan berkoordinasi dengan ITU. Merujuk beberapa kasus gagal orbit satelit, Indonesia biasanya mendapatkan perpanjangan waktu, dan tetap menjadi milik Indonesia. Deadline 15 Juni 2020 ke ITU.

“Pemerintah akan berkomunikasi dengan ITU, agar slot tetap digunakan Indonesia. Pemerintah berkomitmen menjaga layanan broadband milik Indonesia. Pemerinah tetap menjaga layanan, terutama mobile broadband,” ujar Johhny G Plate dalam konfrensi pers, Jumat (10/4/2020)

Seperti disampaikan Dirjen SDPPI Ismail, anomali, gagal mengorbit, bukan hal yang pertama di dunia, juga bukan yang pertama di Indonesia. Pada 3 Februari 1984, satelit Palapa B2 buatan Hughes milik Perumtel (PT Telkom), yang diterbangkan pesawat ruang angkasa ulang-alik Challenger F4 gagal mencapai orbit di geostasioner. Tapi, berhasil diambil oleh wahana STS-51A pada November di tahun yang sama.

 Satelit pengganti, Palapa B2P diluncurkan tiga tahun kemudian, tapi berganti kepemilikan menjadi milik PT Satelindo. Ketika usianya habis diganti tempatnya oleh Satelit Palapa C1. Sementara bekas satelit B2 yang diperbaiki oleh Sattel Technologies, diluncurkan lagi dengan nama Palapa B2R pada April 1990, milik Perumtel, dari Kennedy Space Center, Cape Canaveral, AS.

Nasib satelit Palapa C1 milik PT Satelindo tidak sebagus satelit B2R, karena sama dengan satelit B2, ia juga gagal mengorbit. Satelit buatan Hughes yang diluncurkan dari Kennedy Space Center pada 31 Januari 1996 dan digendong roket Atlas-2AS itu juga tidak sampai ke orbit geostasioner.

Keunggulan Unggah dan Unduh

Apa yang menjadi keunggulan satelit Palapa Nusantara Dua? Satelit itu menggendong teknologi baru yang memiliki kapasitas unggah dan unduh sampai 12 giga per detik (gbps).

Beda dengan satelit konvensional, kemampuan satelit HTS tidak diukur dari cakupan (foot print) melainkan dari kemampuan throughput-nya, kuat di free-to-air, direct to home (DTH), layanan broadcast langsung ke rumah. Semua bisa didapat dengan antena sederhana, tidak usah dengan antena parabola yang besar.

Mengoptimalkan kemampuannya, satelit HTS ini direncanakan memiliki titik berkas (beam spot) sebanyak sembilan untuk kawasan Nusantara. Cakupannya, footprint, mencapai seluruh ASEAN sampai Timur Tengah.

Ketika satelit konvensional menonjolkan kemampuan dari jumlah transponder yang dimiliki, satelit HTS dinilai dari lebar pita (bandwidth) yang ditransmisikan. Untuk transmisi sebesar 512 kbps, satelit konvensional butuh lebar pita sampai satu megahertz (MHz). Jadi untuk satelit dengan 36 MHz bisa didapat kapasitas 18 mbps dan dengan teknologi C-in-C, bandwidth bisa lebih hemat.

Kini kehebatan dan kemampuan satelit HTS Palapa Nusantara Dua tinggallah kenangan. Satelit Palapa D yang sebenarnya akan digantikan karena sebentar lagi habis masa usia teknisnya akan dibuang ke angkasa lebih tinggi lagi, melanglang langit entah sampai kapan.

“Kami akan mencari satelit penggantinya agar layanan yang selama ini dilakukan satelit Palapa D tidak terganggu. Yang jelas, satelit Palapa D masih beroperasi secara normal 100 persen. Kami kini tengah mencari satelit pengganti untuk melayani konsumen yang ada,” ujar Bayu Hanantasena, Chief Business Officer Indosat.

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor: Putut Tri Husodo
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini