Dari hari ke hari terlihat bahwa daftar Pasien Dalam Pengawasan (PDP) kian panjang. Data yang dirilis Gugus Tugas Nasional Covid-19 menunjukkan pertambahan sekitar 700-800 orang per harinya. Fakta itu menunjukkan ada antrean pasien yang makin panjang untuk mendapat layanan pemeriksaan diagnostik Covid-19.
Pada 17 Mei lalu tercatat ada sebanyak 35.800 PDP. Sehari sebelumnya, posisinya di 35.069, sedangkan di 15 Mei 2020 jumlahnya menjadi 34.360 orang. Ada penumpukan PDP.
Presiden Joko Widodo sejak awal April silam telah memerintahkan Gugus Tugas Covid-19 agar menambah segala piranti demi mencapai pemeriksaan spesimen 10.000 per hari. Target itu tak mudah dicapai.
Pemberdayakan mesin polymerase chain reaction (PCR), piranti yang diakui paling valid untuk diagnosis Covid-19, telah dilakukan. Kini sekitar 60 lab yang dioperasikan berbagai instansi, pemerintah maupun swasta, telah tergabung dalam jaringan terpadu pelayanan diagnosis SARS COV-2, nama virus penyebab wabah Covid-19. Bila awal Maret 2020 diagnosis swab berbasis PCR baru sekitar 1.000 spesimen per hari, kini sudah di atas 6.000 per hari.
Yang belakangan digalakkan ialah tes cepat berbasis teknik molekuler yang kini biasa disebut TCM (tes cepat molekuler). Berbeda dari PCR yang mensyaratkan laboratorium dengan standar tinggi, TCM ini cukup aman dioperasikan di fasilitas kesehatan (faskes) biasa, seperti di rumah sakit umum daerah di kota-kota kecil, bahkan Puskesmas.
Seperti dikatakan Juru Bicara Gugus Tugas Nasional Covid-19 Achmad Yurianto, semakin hari porsi TCM semakin besar. Disebutkannya, hingga Senin (18/5/2020), TCM telah dikenakan pada 930 spesimen, yang sebagian besar dari pasien RS Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.
Dibandingkan PCR, jumlah layanan TCM tidak seberapa. Namun, piranti ini amat membantu pelayanan pasien di tempat-tempat yang jauh dari Lab PCR, seperti Tarakan, Kupang, bahkan Pulau Serui, Papua. Selama ini, spesimen swab dari situ harus dibawa ke kota lain yang memiliki PCR. Maka, TMC ini sangat berguna untuk percepatan diagnosis di tengah antrean PDP yang semakin panjang.
Piranti Kedaruratan
Tes cepat molekuler Covid-19 ini hasil inovasi di tengah pandemi. Ia mengisi kebutuhan akan perkakas tes cepat karena tes dengan PCR cukup lama dan tes cepat serologis dinilai tidak cukup presisinya. Tes PCR ini pada prakteknya makan waktu dua hari. Bila spesimen swab (lendir atau dahak yang diambil dari hidung atau tenggorokan) masuk hari ini, baru esok hari hasilnya keluar. Itu kalau tak ada antrean.
Test PCR perlu tiga tahap. Yang pertama, sampel virus dibiakkan dalam medium khusus, diisolasi, lantas diesktrasi material genomnya (rantai asam nukleat atau RNA). Prosesnya perlu waktu satu hari. Yang kedua ialah tahap penggandaan (amplifikasi) RNA. Satu siklus lain ialah proses satu RNA tergandakan. Biasanya diperlukan dua, tiga, atau empat siklus, untuk mendapatkan jumlah genom yang lebih banyak, untuk memudahkan identifikasi.
Tahap ketiganya adalah pemindaian dan penyajian hasil dalam bentuk grafis di layar komputer. Perlu seorang ahli yang berpengalaman untuk menilai apakah struktur genom yang diperiksa identik betul dengan Covid-19 atau tidak. Tahap kedua dan ketiga itu makan waktu sehari.
Dalam suasana wabah, fasilitas layanan PCR itu segera kewalahan kebanjiran spesimen pasien. Dalam situasi ini tes cepat serologis cukup membantu. Hanya saja, tool kit ini tak mengidentifikasi virusnya (antigen), melainkan hanya mendeteksi antibodi yang muncul sebagai respons akan infeksi Covid-19. Pemeriksaan ini bisa cepat, namun sering kali meleset. Pada tahap awal inkubasi, antibodi itu sering tidak muncul. Namun, tool kit ini tetap berguna untuk menjaring orang yang terindikasi terpapar virus.
Pada situasi inilah tes cepat molekuler itu muncul. Badan federal untuk obat dan makanan (FDA) di Amerika Serikat baru mengizinkan pemakaian piranti ini akhir Maret lalu. Itu pun tidak dalam bentuk izin permanen, melainkan emergency use authorization (EUA) untuk penggunaan pada situasi darurat. Hingga akhir April, FDA menerbitkan 28 sertifikat EUA tes cepat molekuler Covid-19.
Industri alat kesehatan (alkes) di Amerika memang sudah cukup piawai merancang piranti tes cepat molekuler. Mereka sudah membuatnya untuk deteksi bakteri TBC, bakteri Pneumonia, virus HIV AIDS, dan belakangan dikembangkan ke diagnosis virus influenza, termasuk Covid-19. Maka, hanya dengan sedikit modifikasi, lahirlah mesin baru berjudul rapid test Covid-19 itu.
Ratusan mesin tes cepat yang model lama sudah masuk ke Indonesia sejak 2015. Mesin tes cepat itu rupanya bisa diadaptasi ke Covid-19 hanya dengan mengganti cartridge dan menyesuaikan program komputernya. Juru bicara Gugus Tugas Nasional Covid-19 Kolonel dokter Achmad Yurianto, yang juga Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) pada Kementerian Kesehatan, mengatakan pihaknya akan mengerahkan piranti itu untuk penanganan wabah virus corona itu.
Populasi TCM itu, menurut Achmad Yurianto, ada 969 unit yang terdistribusi di 669 fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes), terutama rumah sakit. Kalibrasi dan audit dilakukan, terutama dari sisi fasilitas biosafety-nya, untuk menentukan yang paling siap beraksi. ‘’Secara total, yang mampu melaksanakan tes cepat molekuler Covid-19 ini ada 305 faskes,’’ ujarnya dalam press briefing medio April lalu.
Berbeda dari PCR yang memisahkan bagian ekstraksi genom dari bagian aplifikasi dan pemindaiannya, pada TCM semua dilakukan pada mesin yang sama. Dalam bentuk yang paling mungil, mesin TCM ini ukurannya hanya 3 kg, sebesar printer saja. Tipe ini menampung satu cartridge untuk memeriksa satu spesimen saja. Namun ada pula yang bisa menampung dua, empat, sampai belasan spesimen.
Untuk tipe cartridge tunggal hasil tesnya bisa keluar dalam hitungan menit. Yang cartridge-nya belasan pun hanya perlu setengah sampai satu jam. Pada mesin PCR, umumnya sejumlah spesimen bisa diolah sekaligus. Bahkan ada yang bisa lebih dari 100 spesimen. Dengan amplifikasi genom, yang berarti tersedia lebih banyak material genetik untuk dipindai, hasil pemeriksaan PCR dianggap yang paling akurat.
Proses identifikasi virus atau kuman lain dengan TMC, pun berbasis pemindaian genom, yakni susunan asam nukleat pada untaian DNA/RNA-nya. Tapi, tidak ada proses penggandaan genom. Cartridge TCM itu sekali pakai. Secara umum, dengan brand apa pun cartridge TCM itu punya dua tabung utama. Satu untuk reagen, dan satunya spesimen.
Desain cartridge ini cukup rumit, karena harus mengakomodir gerakan fisik memutar larutan spesimen, mencampur dengan reagen, menyaring, memanaskan, serta menyorong ke LED (light-emtiting diode), semikonduktor yang memancarkan cahaya monokromatik, untuk pemindaian.
Mula-mula sampel swab dimasukkan ke tabung yang tersedia, dilarutkan, disaring, lantas dicampur dengan reagen yang tersedia dan dipanaskan sekejap. Hasinya, kulit virus terkelupas dan DNA/RNA-nya tumpah. Untaian asam nukleat itu kemudian disinari dengan LED. Akan ada efek fluorisensi. Material genetik itu akan menyerap radiasi LED dan memancarkannya kembali dengan gelombang yang berbeda.
Genom virus, termasuk Covid-19, memiliki efek fluoresensi khusus yang akan dikenali oleh komputer di mesin TMC. Semuanya berlangsung secara cepat. Pada tes kuman TBC atau pneumonia, reputasi TMC ini bisa diandalkan. Kini ia diuji dengan virus SARS COV-2, penyebab wabah Covid-19.
TMC ini praktis dan cepat. Namun, sejauh ini di Indonesia baru 10 faskes yang mengoperasikannya untuk Covid-19. Ada persoalan pasokan cartridge yang terbatas. Jutaan cartridge yang diproduksi di berbagai rumah industri alkes AS, sulit dibawa keluar negeri. Sedangkan, cartridge yang diproduksi di luar AS tak sepenuhnya sesuai dengan spesifikasi.
Ini tantangan lain yang harus dihadapi Gugus Tugas Covid-19.
Penulis: Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini