Indonesia.go.id - Kemandirian Energi di Depan Mata

Kemandirian Energi di Depan Mata

  • Administrator
  • Minggu, 31 Mei 2020 | 03:22 WIB
INVESTASI
  Pekerja melintas di area pembangunan proyek Refinery Development Master Project (RDMP) Refinery Unit V Balikpapan, Kalimantan Timur. Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga

Penandatangan Memorandum of understanding (MoU) antara konsorsium asal Korea Selatan serta PT Pertamina dan PT Nindya Karya untuk membangun Refinery Development Master Plant Unit Pengolahan II Dumai merupakan langkah maju menuju kemandirian energi Indonesia pada 2026.

Dunia investasi Indonesia kembali tersenyum. Meski dunia kini sedang dirundung duka dengan adanya pandemi Covid-19 yang merontokkan laju pertumbuhan ekonomi, Indonesia masih tetap menerima limpahan investasi.

Apa pasal? Baru saja sebuah konsorsium asal Korea Selatan menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan PT Pertamina (Persero) dan PT Nindya Karya (Persero) untuk membangun Refinery Development Master Plant Unit Pengolahan II Dumai, secara virtual, Kamis (21/5/2020).

Memang kesepakatan itu bisa dikatakan masih terlalu dini, masih sebatas MoU. Perjalanan hingga terealisasi proyek pengembangan kilang Dumai tentu masih panjang.

Namun tercapainya MoU itu sudah merupakan langkah maju menuju kemandirian energi, Indonesia bebas impor BBM seperti yang dicita-citakan Presiden Joko Widodo pada 2026, segera terwujud.

Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, nota kesepahaman bertujuan untuk mengkaji peluang bisnis, hubungan kerja sama, dan pelaksanaan kegiatan bersama dalam industri minyak dan gas di Indonesia, secara khusus pada kegiatan Refinery Development Master Plan (RDMP) Unit Pengolahan II Dumai.

Bahlil mengemukakan, kesepakatan MoU itu merupakan ‘buah’ dari inisiatif yang dibangun bersama sejak tahun lalu. Meskipun saat ini dunia menghadapi pandemi Covid-19, para pihak tetap menjaga komitmennya untuk menindaklanjuti rencana kerja sama tersebut.

“Saya harap investasi dapat memiliki makna strategis di mana saat ini harga minyak lagi turun,” ucap Bahlil dalam keterangan resminya, Kamis (21/5/2020).

Bahlil menilai, proyek RDMP Unit Pengolahan II Dumai ini penting karena merupakan salah satu dari beberapa RDMP prioritas PT Pertamina. Proyek dengan nilai USD1,5 miliar ini dapat meningkatkan kapasitas produksi minyak dan bahan bakar minyak dalam negeri.

"Tujuan pembangunan itu adalah mengurangi ketergantungan impor minyak Indonesia yang diharapkan mampu mengatasi defisit transaksi berjalan ke depannya. Semoga dapat berjalan dengan baik serta dapat memberikan multiplier effect terhadap pemerataan pembangunan di Indonesia secara keseluruhan,“ lanjut Bahlil.

Direktur Megaproyek Pengolahan dan Petrokimia Ignatius Tallulembang juga menyampaikan bahwa proyek ini memang menjadi prioritas untuk cepat diselesaikan. Dengan penandatanganan nota kesepahaman ini, menurutnya Nindya Karya dan konsorsium Korea telah menjadi patner strategis bersama Pertamina.

"Kami akan melakukan kajian upgrading Kilang Dumai. Pertamina berharap Desember 2020 ada milestone penting yang dapat dicapai," jelasnya.

Dalam sejarahnya, negara ini pernah tercatat sebagai negara eksportir minyak dunia. Oleh karena itu, Indonesia juga pernah tercatat sebagai anggota OPEC (Organization Petroleum Export Countries), sebelum akhirnya mundur dari keanggotaan organisasi yang bermarkas di Wina, Australia itu.

Sepanjang kuartal I/2020, produksi minyak Indonesia saat ini tercatat mencapai rata-rata lifting minyak bumi sebesar 701.600 barel per hari (bph). Angka ini sekitar 92,9 persen dari target APBN sebesar 755.000 bph.

Apakah produksi itu cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional? Tentu saja tidak. Konsumsi BBM nasional saat ini berkisar 1,7 juta bph. Artinya, produksi nasional masih jauh dari kebutuhan nasional sehingga perlu dilakukan impor untuk menutup selisihnya.

Selain itu, sebagian produksi minyak nasional tidak bisa diolah di kilang dalam negeri. Akhirnya harus diolah di luar negeri, yang terdekat milik Singapura. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor migas mencapai USD21,88 miliar (Rp322,84 triliun) sepanjang 2019, atau 12,8% dari total impor nasional tahun lalu.

Impor migas tersebut harus dihilangkan sepenuhnya, agar Defisit Transaksi Berjalan (Current Account Deficit/CAD) menyusut di bawah 1%. Per akhir 2019, CAD tercatat sebesar USD30,4 miliar atau 2,72% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo menargetkan embel-embel 'defisit' akan hilang dari transaksi berjalan nasional pada 2026. Cara yang ditempuh adalah menggenjot pariwisata, menggenjot ekspor, substitusi barang impor dengan produk lokal, dan membangun kilang BBM.

Arifin Tasrif sebagai pengampu di sektor ESDM pun punya tekad yang sama seperti disampaikan kepala negara, antara lain, mengurangi impor BBM, menggenjot produksi minyak dalam negeri dari sumur yang sudah operasi, pencarian minyak dari sumur baru, termasuk pengusahaan wilayah kerja migas baru.

 

Tambah Kilang

Yang tak kalah penting adalah menambah kapasitas kilang di dalam negeri yang berfungsi mengolah minyak untuk memproduksi BBM. Benar, untuk memperoleh BBM yang dikonsumsi di dalam negeri, negeri ini harus melakukan proses pengolahan di luar negeri, kemudian setelah itu negeri ini harus mengimpornya lagi.

"BBM harus punya kilang sendiri. Ya itulah, kita harus segera cari sumur baru, paralel nanti kilang minyak yang akan dibangun, akan bisa memanfaatkan bahan baku yang kita dikembangkan lagi. Ini bentuk ketahanan energi nasional," ujar Arifin.

Dengan mengelola minyak mentah dengan kilang di dalam negeri, Indonesia dapat memangkas biaya pengadaan BBM. Selain itu, juga akan menciptakan nilai tambah karena akan membuka peluang untuk industri baru. Tidak lagi model selama ini yang menikmati nilai tambah itu adalah negara pemilik kilang pengolahan.

Berkaitan dengan skala prioritas pemerintah untuk menyegerakan pembuatan kilang minyak seperti disampaikan Jokowi, Indonesia saat ini memiliki sebanyak tujuh kilang. Ketujuh kilang itu adalah Kilang Pertamina unit Pengolahan I Pangkalan Brandan (dengan kapasitas 5.000 barel per hari).

Berikutnya kilang Dumai (127.000 barel), Kilang Plaju, Sumatra Selatan (133.000), Unit Pengolahan IV Cilacap (348.000), Kilang Balikpapan (260.000), Kilang Kasim, Sorong (10.000), dan Kilang Balongan (125.000).

Dalam rangka meningkatkan kapasitas kilang, pemerintah bersama Pertamina juga tengah melakukan refinery development master plan, atau modifikasi kilang terhadap Kilang Cilacap, Balikpapan, Dumai, Balongan, dan Plaju, Sumatra Selatan.

Kilang Balikpapan, misalnya, kini tengah dilakukan RDMP untuk ditingkatkan kapasitasnya menjadi 2 juta barel. Nilai proyek untuk memodifikasi kilang Balikpapan menyerap dana yang tak tanggung-tanggung, yakni USD6,5 miliar.

Begitu juga dengan RDMP terhadap kilang Cilacap. Rencananya RDMP Kilang Cilacap menggandeng Saudi Aramco. Dana untuk RDMP Kilang diperkirakan menelan dana USD5,66 miliar. Soal harga ini masih cukup alot negosiasinya dengan investor asal Saudi itu.

Harapannya, bulan depan atau tepatnya Desember sudah didapatkan keputusannya dari Saudi Aramco. Pasalnya, negosiasi dengan investor asal Timur Tengah sudah cukup lama, yakni selama 5 tahun.

Bila dengan Saudi Aramco tidak tercapai juga, pemerintah berencana mencari investor lain. Kemungkinan besar berasal dari Tiongkok. Wajar saja, Indonesia sudah cukup sabar dan menanti cukup lama soal pembangunan kilang itu, apalagi ini juga menyangkut soal ketahanan energi negeri ini ke depannya

Harapan melihat pengembangan kilang Cilacap kian kabur setelah Saudi Aramco, investor utama revitalisasi kilang Cilacap, resmi mundur. Mimpi penurunan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun perlu dikalkulasi ulang.

VP Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan, Pertamina akan melanjutkan proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap secara mandiri, sembari mencari mitra baru pengganti Aramco.

"Pertamina akan melanjutkan RDMP Cilacap secara mandiri, sambil secara paralel akan dilakukan pencarian strategic partner," tuturnya pada Selasa (26/05/2020).

Revitalisasi kilang tersebut sangat mendesak, karena mendongkrak produksi bahan bakar minyak (BBM) kilang Cilacap dari 348.000 barel per hari (bph) menjadi 400.000 bph. Secara total, kapasitas kilang nasional bakal terdongkrak dari 1,15 juta bph, ke 1,2 juta bph.

Sebagai catatan, CAD tahun ini dibidik berkisar antara 2,7%--2,8% masih dengan mengasumsikan proyek revitalisasi kilang Cilacap berjalan sesuai jadwal tahun ini. Dengan bubrah ataupun tertundanya proyek tersebut, peluang penghilangan CAD pun kian jauh panggang dari api.

Pendekatan Indonesia melalui Pertamina terhadap Saudi Aramco di proyek revitalisasi kilang Cilacap telah berlangsung lama, yakni sejak tahun 2014.

Negosiasi kedua entitas itu cukup alot, salah satunya terbentur pada selisih pendapat mengenai valuasi proyek. Pertamina mengajukan angka valuasi USD5,6 miliar, yang ditawar Aramco menjadi USD2,8 miliar. Kesepakatan tak kunjung tercapai. Buntu.

Kilang Cilacap merupakan salah satu kilang milik Pertamina yang direvitalisasi melalui skema RDMP. Selain kilang Cilacap, revitalisasi pengembangan RDMP lainnya adalah RDMP Balongan, RDMP Dumai, dan RDMP Balikpapan.

BUMN Migas itu kini juga tengah mengembangkan kilang melalui pola GRR (gross root refinery). Artinya, kilang dibangun dari awal, tidak revitalisasi kilang lama.

Kilang itu adalah GRR Tuban, dan GRR Bontang. Untuk GRR Bontang, pemerintah berencana untuk membangun dengan menggunakan dana sendiri, sementara GRR Tuban telah menggandeng Rosnef Oil Company dari Rusia.

Dengan adanya 4 proyek RDMP) dan 2 GRR, kapasitas kilang Pertamina pada tahun 2026 diharapkan bisa mencapai 2 juta barel per hari (bph) dengan volume produksi BBM sebesar 200 juta liter per hari.

Khusus kilang Cilacap, proyek RDMP itu digadang-gadang nantinya mampu memproduksi BBM seperti bensin dengan oktan RON 88 (Premium) dan RON 92 (Pertamax), kerosene, solar, hingga avtur. Selain BBM, kilang Cilacap juga memproduksi LPG, asphalt, sulfur, dan produk petrokimia seperti benzene, dan propylene.

Tentunya, tekad Pertamina berencana tetap menggarap sendiri sejumlah proyek kilang tentu patut diapreasiasi dan didukung. Pasalnya, perusahaan pelat merah itu, bila dilihat dari kemampuan keuangannya, masih mumpuni untuk membiayainya.

Skema pembiayaan Pertamina bisa dilakukan dengan menyerap dana internal maupun dari eksternal seperti penerbitan surat utang. Dari sisi teknologi, Pertamina dinilai sudah mampu untuk melanjutkan pengembangan proyek tersebut secara mandiri menuju cita-cita bangsa ini yang ingin mewujudkan ketahanan energi pada 2026.

 

 

 

Penulis: Firman Hidranto
Editor : Eri Sutrisno/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini