Dalam keadaan normal pun, EBT tergolong mahal investasinya. Ongkos untuk memetik energi bayu (angin), energi surya, atau bahkan energi hidro dan kemudian menjadikannya energi listrik umumnya lebih mahal dibanding membakar bahan bakar fosil batu bara. Di tengah pelambatan ekonomi akibat pandemi Covid-19, program EBT menjadi semakin mahal dan sulit. Realisasi EBT dalam kerangka program bauran energi nasional pun akan terkendala.
Direktur Aneka Energi pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris St mengungkapkan, penggunaan EBT di Indonesia baru mencapai 8,55%. Sebagian terbesar berasal dari energi hidro yakni pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebesar 6.000 MW dan energi geotermal (panas bumi) 2.500 WM. Energi surya dan bayu belum seberapa.
Dalam RPJMN 2019-2024 terdapat rencana penambahan pasokan energi terbarukan sebesar 9.050 MW sampai 2024. Namun, pengadaan EBT baru sebesar itu tentu bukan hal yang mudah di saat bisnis listrik yang sedang surut, ditambah pandemi Covid-19.
Data Kementerian ESDM menyebutkan, pada kuartal I 2020 permintaan listrik secara global turun 2,5% dibanding periode sama tahun lalu. Dengan rata-rata penurunan permintaan hingga 20% pada kondisi lockdown total. Diperkirakan pelambatan ekonomi dunia ini akan menyebabkan penurunan permintaan listrik secara global ini sebesar 5%-10% selama tahun 2020.
Dalam situs resmi Ditjen EBTKE disebutkan, kebijakan lockdown atau PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di Indonesia mempengaruhi pelaksanaan program EBT. Ada sejumlah masalah, yakni gangguan rantai pasokan, tidak tersedianya tenaga kerja, dan masalah dalam pembiayaan proyek.
Lembaga analis dan konsultan energi Wood Mackenzie menyebutkan, instalasi PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) secara global diperkirakan akan turun hampir 20 persen akibat wabah Covid-19 di tahun 2020 ini. Sementara itu, instalasi tenaga angin diperkirakan susut enam persen, setara dengan 4,9 GW (GigaWatt).
Penurunan instalasi EBT dan berbagai kebijakan terkait efisiensi energi telah menyebabkan 106.000 pekerjaan hilang pada Maret, di Amerika Serikat. Juga 51.000 pekerjaan pengeboran dan pemurnian yang hilang selama periode waktu yang sama. "Para analisis menunjukkan bahwa 15% dari total tenaga kerja energi bersih bisa hilang selama beberapa bulan mendatang. Skalanya bisa mencapai setengah juta lapangan kerja," kata Harris.
Tren penurunan konsumsi listrik itu juga terjadi di Indonesia. Sistem kelistrikan Jawa-Bali, Kalimantan, Sumatra, dan Sulawesi secara umum mengalami penurunan permintaan. “Penurunan tertinggi terjadi pada sistem Jawa Bali, yaitu sebesar minus 9,55%. Segmen bisnis dan industri mengalami penurunan signifikan, sedangkan segmen rumah tangga tidak mengalami penurunan,” Harris menambahkan.
Kementerian ESDM memancang rencana ada penambahan pembangkit EBT baru pada 2020 untuk mencapai target daya 10.843 MW. Selanjutnya kapasitas pembangkit listrik energi hijau ini akan naik 1.000 MW menjadi 11.843 MW pada 2021, terus bertambah menjadi 13.743 MW pada 2022, kemudian 15.543 MW pada 2023, dan mencapai 19.243 MW pada 2024. Target yang tidak mudah.
Kendati porsi energi hijau bertambah, pemerintah masih membutuhkan pemanfaatan batu bara dalam jumlah besar. Tahun ini, jatah batu bara dalam negeri direncanakan 155 juta ton. Selanjutnya, angka serapan batu bara domestik ini akan naik menjadi 168 juta ton pada 2021, lalu 177 juta ton pada 2022, kemudian 184 juta ton pada 2023, dan 187 juta ton pada 2024. Setelah 2025 diharapkan tenaga listrik dari batu bara menurun porsinya dan EBT terus meningkat.
Haris pun menyampaikan beberapa strategi pemanfaatan energi terbarukan pasca-Covid-19. Pertama, pemanfaatan anggaran APBN untuk kegiatan yang menggerakkan ekonomi masyarakat. Salah satu contohnya adalah kerja sama dengan Kementerian KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) dalam pembangunan PLTS untuk cold storage.
Kedua, memanfaatkan waduk/danau untuk pembangunan PLTS terapung, mengacu pada Ketentuan Permen PUPR No.6/2020, 5% dari total luasan waduk untuk PLTS terapung. Ketiga, perbaikan regulasi dengan menyusun Perpres EBT yang dapat mengakselerasi pengembangan EBT melalui perbaikan harga, mekanisme dan tata kelola. Keempat, kerja sama dengan lembaga internasional dalam mengupayakan pendanaan yang murah, kerja sama pengembangan EBT skala besar, kerja sama dalam integrasi EBT.
Kelima, perbaikan peraturan. Beberapa waktu lalu, telah ditetapkan Permen ESDM No 4 Tahun 2020 sebagai upaya perbaikan beberapa hal dari Permen 50 Tahun 2017. "Namun Permen ESDM tersebut bukan pengganti dari perpres dan perpres yang saat ini kita susun tetap diproses," jelas Harris.
Harris mengakui, upaya pencapaian target EBT pasca-Covid-19 sulit untuk dapat dilakukan pemerintah sendiri. Pemerintah menyambut gembira inisiatif dukungan dari pemangku kepentingan, antara lain, Mega Booster Program 50 GW PLTS yang diinisiasi Prakarsa Jaringan Cerdas Indonesia, Program Surya Nusantara: 1 GW per tahun yang diinisiasi oleh IESR, dan PLTS untuk cold storage on grid dan portable.
Ada dua pilihan, dalam kebijakan pengembangan energi pascapandemi Covid-19, kata Haris, yaitu membuka kembali ekonomi yang di-drive oleh sumber bahan bakar yang konservatif, atau memulai jalan menuju masa depan yang bersih, termasuk efisiensi energi. “Pemerintah dan investor harus menyikapi bahwa Covid-19 bukan sebagai sinyal memperlambat, tetapi untuk mempercepat EBT,” tegasnya.
Oleh karena itu alasan paket stimulus harus mencakup investasi energi bersih, yaitu pertama, energi bersih menghasilkan pengembalian ekonomi 3 - 8 kali lebih tinggi dari investasi awal, sebagaimana analisis World Resources Institute (WRI).
Kedua, ketidakstabilan harga bahan bakar fosil memberikan peluang global untuk mempercepat peralihan ke energi bersih. Ketiga, investasi dalam EBTKE dapat menghasilkan 63 juta pekerjaan baru pada 2050.
Sementara itu ada peningkatan jatah batu bara untuk dalam negeri lantaran masih terdapat proyek PLTU yang akan beroperasi di masa mendatang. Namun, Kementerian ESDM memastikan pengembangan PLTU tidak akan mengganggu rencana penambahan kapasitas pembangkit listrik energi terbarukan.
“Kapasitas (pembangkit) energi terbarukan naik juga. Kemudian (pembangkit) batu bara itu share-nya akan cenderung tetap di sekitar 30 persen nanti setelah 2025,” tutup Harris.
Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Trihusodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini