Indonesia.go.id - Antisipasi Amukan Si Jago Merah di Lahan Hutan

Antisipasi Amukan Si Jago Merah di Lahan Hutan

  • Administrator
  • Senin, 29 Juni 2020 | 03:47 WIB
KARHUTLA
  Presiden Joko Widodo memimpin rapat terbatas membahas antisipasi karhutla di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (23/6/2020). Foto: ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan

Musim kemarau tiba. Presiden mengingatkan untuk mengantisipasi kebakaran hutan. Beberapa langkah telah dilakukan.

Ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masuk ke dalam agenda rapat terbatas (Ratas) kabinet, pada Selasa (23/6/2020). Agenda rutin setiap kali menjelang kemarau. Pada kesempatan itu, Presiden Joko Widodo menekankan perlunya langkah antisipatif. Presiden Jokowi menyampaikan pula laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa 17% wilayah Indonesia sudah masuk ke musim kemarau sejak April 2020, 38% wilayah memasuki musim kering pada Mei lalu, dan 27% lainnya baru pada Juni 2020.

Kemarau sudah menjelang dan akan mencapai puncak hari-hari tanpa hujan pada Agustus-September. Mengantisipasi situasi rawan itu, Presiden Jokowi menyampaikan beberapa arahan. Pertama, mengenai manajemen lapangan yang harus terkonsolidasi, terkoordinasi dengan baik. Petakan segera area-area yang rawan hotspot dan update informasi dengan manfaatkan teknologi untuk peningkatan monitoring dan pengawasan dengan sistem dashboard.

Kepala Negara menyebutkan, teknik monitoring di Kepolisian Daerah (Polda) Provinsi Riau yang sempat ditinjaunya, bisa jadi model bagi yang lain. Di Polda Riau ada sistem monitoring titik panas (hotspot) berbasiskan teknologi surveilance satelit, yang hasilnya bisa disajikan ke dashboard. Datanya selalu update, menggambarkan sebaran hotspot di lapangan.

Selain instrumen teknologi, Presiden juga mengingatkan perlunya infrastruktur pengawasan sampai di tingkat bawah. “Berdayakan aparatur Babinsa, Bhabinkamtibmas, dan kepala desa untuk pencegahan dini. Kalau masih kecil apinya, kita selesaikan akan lebih efektif, lebih efisien, daripada sudah membesar baru kita pontang-panting,” kata Presiden.

Kedua, Presiden juga mengingatkan jangan sampai api membesar baru dipadamkan. ”Sekecil mungkin api baru mulai, segera harus kita cepat tanggap. Dan kemarin sudah saya meminta kepada gubernur, para bupati, wali kota, pangdam, danrem, dandim, kapolda, kapolres, untuk betul-betul harus cepat tanggap mengenai ini,” jelas Presiden.

Ketiga, Jokowi mengatakan bahwa 99% karhutla terjadi karena ulah manusia, baik karena sengaja atau lalai. Karena itu dia meminta penegakan hukum saat terjadi karhutla harus tegas dan tanpa kompromi. ”Oleh sebab itu, penegakan hukum harus tegas dan tanpa kompromi untuk menyelesaikan masalah ini,” tuturnya.

Keempat, untuk mencegah kebakaran lahan gambut, Presiden mengingatkan soal penataan ekosistem gambut dilakukan secara konsisten. Presiden minta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Restorasi Gambut, dan Kementerian PUPR terus menjaga tinggi muka air tanah agar gambut tetap basah. Perlu pengecekan di lapangan untuk memastikan sekat kanal berfungsi, embung, sumur bor, dan teknologi pembasahan lainnya bisa dimanfaatkan. “Kita sudah lakukan, hanya ini harus konsisten kita lakukan,” ujar Presiden.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mengatakan, langkah antisipasi telah dilakukan. Pihaknya pada Maret-April lalu telah melakukan serangkaian modifikasi cuaca (hujan buatan) di Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan dengan memanfaatkan sisa awan yang masih tersedia. Tujuannya menambah stok air di embung, di sekat kanal, dan membasahi gambut.

Lebih jauh, Siti Nurbaya mengatakan bahwa Kementerian LHK secara spesifik sudah mempelajari siklus  iklim yang terkait hotspot kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Menurutnya, peristiwa karhutla rata-rata di Agustus minggu kedua-ketiga sampai di September minggu pertama.

“Kalau kita pelajari perilaku hotspot-nya, maka di Riau, di Sumatra bagian utara, Aceh, sebagian Sumut itu ada dua fase krisis,” katanya usai mengikuti rapat terbatas (Ratas) dengan presiden.

Menurut Siti Nurbaya, fase pertama, yaitu pada Maret-April. Fase keduanya, masuk di Juni, Juli, dan seterusnya, yang nanti puncaknya di akhir Agustus dan September. Menteri LHK itu menuturkan pula bahwa program modifikasi cuaca itu dilaksanakan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), didukung oleh pesawat TNI-AU, sehingga berhasil melewati fase krisis pertama di Riau.

Menteri Siti Nurbaya juga menyampaikan bahwa tindakan modifikasi cuaca yang dilakukan di beberapa tempat di Sumatra sudah dilakukan sejak 13-31 Mei lalu. Hasilnya, salah satunya pada saat Lebaran tidak ada asap.

“Jadi ada korelasi antara modifikasi cuaca dan hari hujan. Ketika awannya direkayasa, diinduksi hingga uap airnya berkembang menjadi awan hujan dan jatuh jadi air hujan.  Airnya membasahi gambut, dan mengisi embung-embung yang telah dibangun,” ujarnya.

Modifikasi ini juga akan dilakukan di Kalimantan yang kemaraunya masuk di bulan Juli ke Agustus.  “Ini mudah-mudahan bisa menjadi solusi yang ada formatnya, daripada memadamkan terus, gitu, jadi ini dengan sistematis kita persiapkan,” kata Siti Nurbaya.

Pada 6 Februari 2020, Presiden Joko Widodo ketika memberikan arahan pada Rakornas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) 2020 di Istana Negara menyebut, kerugian akibat karhutla bisa mencapai ratusan triliun rupiah. Apalagi, jika karhutla bila terjadi seperti pada skala 2015 yang menghanguskan 2,61 juta hektare lahan gambut. Di Indonesia ada jutaan hektar hutan gambut yang di atasnya tersimpan plasma nutfah, baik flora dan fauna. Gambut kering adalah sasaran empuk bagi si jago merah.

Sebelumnya pernah diberitakan, hasil monitoring dan analisis dinamika atmosfer, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi pada 2020 tidak terindikasi akan terjadinya El Nino atau La Nina kuat. Sementara itu, untuk kondisi suhu muka laut perairan Indonesia diprakirakan normal hingga cenderung hangat yang bertahan hingga Juni 2020.

BMKG memprediksi tingkat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) akan menurun pada tahun ini yang disebabkan musim kemarau panjang sebagaimana di 2019 kemungkinan tak kembali terjadi. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, musim kemarau panjang diprediksi tak akan terjadi tahun depan karena tidak ada fenomena El Nino hingga Juni 2020.

Selain itu, indikasi munculnya fenomena perbedaan signifikan suhu muka air laut di sebelah timur Afrika dan barat daya Sumatra juga tak akan terjadi. Dengan demikian, suhu muka air laut di Indonesia pada 2020 menjadi normal. “Artinya diprediksi tidak terjadi musim kemarau berkepanjangan,” kata Dwikorita.

Untuk periode musim kemarau 2020 (April-Oktober), lanjutnya, curah hujan saat kemarau akan mirip dengan pola normalnya. Kondisi musim kemarau 2020 tidak akan sekering tahun 2019 di sebagian besar wilayah Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara).

Kepala BMKG menjelaskan, kekeringan 2019 yang berdampak pada sektor pertanian, sumber daya air, kehutanan, dan lingkungan ini turut dipicu oleh fenomena El Nino yang aktif dari September 2018 hingga Juli 2019 di Samudera Pasifik, ekuator bagian tengah. Kemudian diikuti pula oleh fenomena Dipole Mode fase positif Samudera Hindia (IOD+) yang menguat sejak April 2019 hingga Desember.

Kekeringan tahun 2019, tambahnya, menjadi cukup parah salah satunya adalah karena lebih dinginnya suhu permukaan laut di wilayah Indonesia terutama bagian selatan pada periode Juni-November 2019. Suhu permukaan laut yang lebih dingin menyebabkan munculnya tekanan tinggi pada kolom udara di atasnya yang menghambat pertumbuhan awan.

"Secara umum, musim kemarau tahun 2019 menunjukkan kondisi lebih kering dari musim kemarau tahun 2018 dan acuan normal klimatologis tahun 1981-2010, meski tidak lebih kering dari kondisi musim kemarau tahun 2015 saat terjadi fenomena El Nino kuat pada waktu itu," ujar Dwikorita waktu itu.

 

 

 

Penulis: Eri Sutrisno
Editor: Putut Tri Husodo/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini