Indonesia.go.id - Banjir Lumpur Menerjang Kediaman Bupati

Banjir Lumpur Menerjang Kediaman Bupati

  • Administrator
  • Kamis, 23 Juli 2020 | 02:43 WIB
LUWU UTARA
  Kondisi salah satu masjid yang tertimbun lumpur pasca banjir bandang di Desa Radda, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Selasa (21/7/2020). Foto: ANTARA FOTO/Abriawan Abhe

Basah sepanjang tahun, Luwu Utara cocok untuk perkebunan sawit. Di sana juga banyak situs galian tambang. Namun, alih fungsi lahan telah meningkatkan risiko banjir dan longsor. Musibah pun muncul.

Genangan air sudah mengering dan lumpur telah memadat. Jaringan listrik di sebagian tempat sudah menyala dan jalan-jalan telah bisa dilalui. Tapi, tidak berarti Kota Masamba, Ibu Kota Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, sudah kembali normal. Lumpur yang mengeras masih menimbun lantai rumah warga, toko-toko, kantor-kantor, dan menghampar di pelataran Masjid Raya Syuhada.

Sejumlah rumah tampak roboh. Ada yang miring atau dindingnya jebol. Di beberapa tempat, serpihan kayu bekas bangunan, batang pohon, cabang dan ranting menyeruak di atas hamparan lumpur coklat-hitam sisa banjir. Berbaur dengan aneka sampah. Dengan alat seadanya, warga membersihkan lumpur dari rumah mereka. Endapan lumpur itu sampai satu meter tebalnya. Perekonomian terhenti.

Banjir bandang yang menerjang Kota Masamba itu terjadi Senin (13/7/2020) malam. Sungai Masamba, yang membelah kota dengan penduduk sekitar 15.000 jiwa, meluap. Tapi banjir yang terjadi malam itu berbeda dari biasanya. Air sungai yang mengalir deras dari hulu itu rupanya mengangkut material longsoran. Tak pelak, batang-batang pohon yang hanyut itu menyumbat laju air di sana sini. Air bah pun melimpas ke kanan-kiri, menerjang apa yang ada di depan dan menggenangi tempat-tempat cekung.

Air limpasan itu menerjang tanpa pandang buru. Rumah jabatan bupati tidak luput dari amukannya. Bupati Luwu Utara Indah Putri Indriani harus tergopoh-gopoh mengungsi ke kompleks Kantor Pemkab yang luput dari serbuan banjir lumpur itu. Rumah dinas bupati itu terendam air setinggi 2 meter.

Seperti warga kota lainnya, Bupati Indah Putri dan keluarga harus bergegas. Perempuan berusia 43 tahun itu pun hanya sempat membawa baju ganti seadanya. Mobil dan motor trail kesayangannya harus direlakan terendam. Dokumen dan surat penting seperti ijasah dan Surat Keputusan (SK) sebagai bupati pun tidak sempat dia selamatkan. “Yang selamat hanya barang-barang yang berada di rak-rak lemari bagian atas. Yang terendam,” kata Bupati Indah Putri, kepada wartawan.

Toh, dalam situasi serba darurat malam itu, Indah Putri, ibu dua anak itu, masih sempat memerintahkan jajarannya melakukan aksi tanggap darurat. Fokusnya evakuasi warga ke tempat yang aman. Esok harinya, bupati mengumumkan masa tanggap darurat Luwu Utara (Lutra) antara 14 Juni hingga 12 Agustus 2020.

Rupanya banjir lumpur tidak hanya menghantam Kota Masamba. Malam itu, air bah menerjang enam kecamatan secara serempak. Air menerjang melalui tiga sungai utama di wilayah kabupaten itu, yakni Sungai Rada, Rangkong, dan Masamba. Daerah musibah ada di dataran rendah sepanjang jalur sungai. Tiga kecamatan yang mengalami kerusakan berat adalah Masamba, Baebunta, dan Sabbang.

Korban berjatuhan. Dalam webinar tentang evaluasi Banjir Luwu Utara, yang dihelat BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), Ahad (19/7/2020), disebutkan bahwa banjir bandang itu menelan 36 korban jiwa. Sedangkan 40 lainnya dinyatakan hilang dan puluhan luka-luka.

Kerugian harta benda pun tak kurang banyaknya. Ratusan bangunan rusak, terendam lumpur, bahkan roboh oleh banjir. Ada  bangunan kantor, rumah penduduk, gedung sekolah, pasar, pertokoan, serta rumah ibadah. Sejumlah ruas jalan, jembatan, pipa air minum, jaringan listrik, sarana telekomunikasi, serta utilitas publik lain rusak atau rusak parah. Perekonomian lumpuh. Sekitar 14.400 warga harus mengungsi, termasuk keluarga bupati.

Kepala BNPB Letjen Doni Monardo sempat meninjau ke lapangan Jumat (15/7/2020). Sejumlah bantuan diserahkan Letjen Doni, di antaranya tenda pengungsi, uang santuan kepada keluarga korban tewas, dan bantuan logistik. Seluruhnya senilai Rp2 miliar. Doni Monardo pun menyiagakan sebuah helikopter sejak hari kedua pascabencana untuk mendukung distribusi bantuan logisik serta evakuasi korban.

 

Tanah Rawan

Kabupaten Luwu Utara (Lutra) berada di sisi paling utara Sulawesi Selatan. Lokasinya persis di ujung Teluk Bone. Paras wilayahnya cantik. Di situ terhampar tanah lembar yang luas, dengan elevasi kurang dari 300 meter dari pemukaan laut (dpl), yang dikepung pegunungan di sisi barat, utara, dan timur. Di selatan ada Teluk Bone yang dihiasi oleh spot-spot pantai yang elok.

Daerah perbukitan di Lutra sudah lama menjadi incaran pengusaha. Bukan karena panoramanya yang indah dan serba hijau, wilayah itu cukup cocok untuk tanaman sawit. Di sana curah hujan cukup tinggi, 2.000 - 3.000 mm per tahun. Menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam 10 tahun terakhir di sana tidak ada bulan kemarau kering. Hujan turun sepanjang tahun. Tanah subur dan curah hujan yang tinggi jelas sempurna untuk kebun sawit.

Pangusaha tambang juga terus meliriknya. Di sana ada nikel, emas, tembaga, dan mineral lainnya. Tak heran bila dalam 20 tahun terakhir sekitar 19.000 hektar lahan disulap menjadi kebun sawit, dan kini Lutra menjadi sentra sawit di Sulawesi Selatan. Pada saat yang sama, pengusaha tambang juga terus menggali di berbagai spot mencari mineral berharga.

Belum lagi perkebunan rakyat yang meluas. Tak bisa dikesampingkan pula pembalak liar yang menjarah hutan alam di lereng-lereng gunung. Faktanya, banyak kayu gelondongan, yang rapi terpotong gergaji mesin, yang ikut hanyut terbawa air bah. Di daerah perbukitan itu kini mudah ditemui kebun sawit dan galian tambang.

Luas Kabupaten Luwu Utara mencapai 7.500 km2 (750.000 ha). Konversi lahan sebutlah seluas 30–35 ribu ha, itu porsinya tak sampai 5 persen dari seluruh wilayah. Tapi, dampaknya tidak sesederhana itu.  Tanah di Luwu Utara umumnya tergolong distropepts/inceptisols yang remah dan gembur, terdiri dari  campuran lempung, debu, dan pasir dengan konsolidasi rendah. Sifatnya rentan, mudah melumpur, lepas, dan longsor.

Di sisi lain alih guna lahan terjadi di lahan gembur dengan kelerengan 10-15 derajat atau bahkan lebih. Lingkungan geologis yang menghadirkan patahan lempeng bumi memberi peluang tambahan bahwa air limpasan dari dataran gunung akan mengalami percepatan ketika jatuh dari tubir tanah patahan itu. Ada potensi besar untuk menimbulkan longsor.

Hujan turun tiap hari menjelang musibah terjadi. BMKG mencatat curah hujan 30-40 mm antara  8-11 Juli, meningkat ke 85-90 mm di 12 Juli, dan 40 mm lagi di hari musibah 13 Juli. Namun, catatan itu dari stasiun klimatologi Musamba yang di lembah. Sedangkan, seperti disampaikan Lembaga Penerbangan Nasional dan Antariksa Nasional (Lapan) dalam webinar lalu itu, dari rangkaian foto satelit tampak awal cumulonimbus besar bergantung di atas pegunungan. Artinya, hujan di hulu diperkirakan lebih lebih tinggi, antara 200-300 mm selama 10--13 Juli.

Jatuh di tanah yang sudah basah sejak hari-hari sebelumnya, hujan besar itu membuat tanah jenuh dan melumpur lalu tergelincir ke bawah akibat gravitasi. Longsor itu terjadi di wilayah yang paling rentang, yakni di lereng-lereng bukit yang terguyur massa air besar. Tak pelak lagi, segala material longsoran itu terbawa arus menuju sungai-sungai. Ada batang pohon, batu-batu, dan segala macamnya.

Arus lumpur hujan itu terjadi bersamaan di tiga Daerah Airan Sungai (DAS) yang besar. Maka, massa air berskala puluhan juta meter kubik itu tumpah ke sungai, utamanya Sungai Masamba, Rankong, dan Rada. Di hulu, ketika sungai menyusuri badan medan yang lebih curam, air mengalir sangat deras. Arus air kadang berbelok ketika terhalang material kayu dan batu-batu, atau berkumpul dulu lalu menjebol halangan ketika energinya sudah terkumpul. Timbul banjir bandang. Sejumlah desa luluh lantak karena terjangan banjir bandang ini.

Ke arah hilir, badan sungai lebih landai. Namun, arus tetap deras. Volume air lumpur yang besar itu pun melimpas ke kanan kiri ketika melewati sungai yang dangkal oleh timbunan lumpur pada banjir-banjir sebelumnya. Material banjir yang bertumpuk di badan sungai pun ikut memperbesar arus limpasan ini. Itu yang terjadi di Kota Masamba dan sejumlah tempat lainnya.

 

Tata Ulang

Dalam catatan BNPB, ada unsur cuaca  (hujan deras) yang memicu terjadi banjir dan longsor. Namun, ada pula kerentanan alam setempat, berupa kawasan berlereng-lereng di kaki pegunungan, dengan tanah berstruktur remah yang mudah hanyut oleh arus air.

Namun, seperti dikatakan oleh Kepala BNPB Doni Monardo, ada pula unsur kelalaian manusia. Dengan mengalihfungsikan belukar hutan menjadi lahan pertanian dan pertambangan, ada dampak bahwa air hujan akan lebih kuat dan cepat menembus tanah. Di area berlereng, tanah yang jenuh oleh air mudah melumpur dan longsor. ‘’Alih fungsi lahan itu sering membuat daerah aliran sungai jadi tak terlindungi secara baik,” kata Doni Monardo.

Namun, nasi telah menjadi bubur. Bupati Indah Putri Indriani pun kini punya pekerjaan rumah untuk membenahi kondisi lingkungan yang telah berubah. Perlu rekayasa teknik di areal perkebunan, lokasi tambang, dan pertanian rakyat agar limpasan air hujan tertahan di embung (kolam retensi) sebelum meluncur ke badan sungai. Tentu, itu bukan pekerjaan kecil.

 

 

 

Penulis : Putut Trihusodo
Editor: Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini