Indonesia.go.id - Melestarikan Manisnya Jeruk Siompu

Melestarikan Manisnya Jeruk Siompu

  • Administrator
  • Jumat, 26 Februari 2021 | 11:50 WIB
KEANEKARAGAMAN HAYATI
  Ilustrasi. Petani memanen jeruknya di sebuah perkebunan di Buton Sulawesi Tenggara. ANTARA FOTO
Kontes Jeruk Keprok Nasional di Kota Batu, Malang, Jawa Timur, pada 2016 pernah menobatkan jeruk siompu sebagai jeruk dengan rasa paling manis di Indonesia. Buah tropis itu beberapa kali dihidangkan pada jamuan kenegaraan di Istana Negara.

Jeruk menjadi komoditas buah terpenting di dunia. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB, FAO, menyebutkan pada 2019 produksi jeruk global per tahun telah melampaui 75 juta ton. Varietas jeruk paling banyak diproduksi adalah jenis jeruk manis (orange) sebanyak 60 persen, diikuti oleh keprok (mandarin) 20 persen. Sisanya adalah jenis siam (tangerine), lemon, purut, dan lainnya.

Di tingkat nasional, mengutip data Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbang) Kementerian Pertanian (Kementan) 2020, produksi jeruk lokal telah mencapai 2,5 juta ton per tahun. Itu menjadikan Indonesia berada di peringkat kedelapan produsen jeruk terbanyak di dunia dengan Brasil, Tiongkok, dan India sebagai tiga besar penguasa jeruk dunia.

Produksi nasional sebanyak 2,5 juta ton itu dihasilkan dari total lahan perkebunan seluas 57.000 hektare (ha). Mayoritas produksi jeruk nasional dikuasai oleh jenis jeruk siam, yaitu sebanyak 70 persen, diikuti jeruk keprok (20 persen), dan jeruk lainnya 10 persen.

Salah satu daerah penghasil jeruk lokal ada di Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. Di kabupaten berpenduduk hampir 80.000 jiwa tersebut terdapat satu pulau dengan varietas jeruk endemiknya. Di sana tak hanya dikenal dengan komunitas warga keturunan Portugis bermata biru dan surganya wisata laut, di mana terdapat bentangan pantai pasir putih mengelilingi pulau disertai terumbu karang alaminya.

Di Siompu, pulau berjarak sekitar 40 kilometer barat daya Buton Selatan, itu juga dikenal sebagai penghasil jeruk keprok.  Namanya jeruk siompu dan menjadi varietas endemik buah tropis dari pulau berpenduduk 22.000 jiwa. Jeruk siompu memiliki keistimewaan tersendiri dibandingkan buah sejenis asal daerah lain. Buah berbobot 135-200 gram ini rasanya lebih manis dibandingkan dengan hampir semua jenis jeruk unggulan di tanah air. Misalnya, jeruk keprok sumatra, jeruk kalimantan, atau jeruk dari Bali dan Pulau Jawa.

Pulau Siompu dengan kondisi geografis terdiri dari susunan batu kapur keras dan tajam, tanah kering serta perbukitan adalah surga bagi jeruk siompu. Tampilan fisik jeruk ini saat panen berwarna kuning emas dan daging buah oranye terang. Tekstur kulit buah agak tebal sedikit kasar dan kulitnya mudah dikupas.

Menurut Balai Penelitian Tanaman Jeruk dan Buah Subtropika (Balitjestro) Balitbang Pertanian Kementan, jeruk endemik ini telah dimasukkan sebagai jeruk unggulan nasional melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 742/Kpts/TP.240/7/97. Tingkat kemanisan jeruk siompu berada pada skala 11-12 derajat Brix. Satuan ukur derajat Brix, diambil dari nama kimiawan Jerman Adolf Adolph Ferdinand Wenceslaus Brix (1798-1870), dipakai untuk mengukur kualitas kandungan larutan misalnya kadar gula pada jeruk.

Pada Kontes Jeruk Keprok Nasional di Kota Batu, Malang, Jawa Timur, 2016 lalu, jeruk siompu dinobatkan sebagai jeruk dengan rasa paling manis. Kandungan air pada jeruk siompu lebih sedikit dari jeruk sejenisnya. Karena alasan itu pula buah ini jarang dijadikan minuman segar (juice) dan lebih dipilih sebagai hidangan setelah makan oleh warga Buton Selatan.

Bupati Buton Selatan La Ode Arusani menyebutkan karena keistimewaan dan rasa manisnya, jeruk siompu diketahui pernah menjadi buah-buahan untuk jamuan kenegaraan di Istana Negara pada 1990-an. Selain itu, jeruk siompu merupakan primadona tanaman buah di Pulau Buton dan Kabupaten Buton Selatan.

Pada laporan Badan Pusat Statistik Buton Selatan berjudul "Statistik Daerah Buton Selatan 2020" terbitan 28 Desember 2020. Disebutkan bahwa produksi jeruk varietas ini menduduki urutan kedua terbesar dari komoditas buah-buahan asal Buton Selatan, setelah pisang. Sebanyak 495,3 ton jeruk siompu dihasilkan dari bumi Buton Selatan pada 2019 di mana 290 ton di antaranya dipasok dari Pulau Siompu dan sisanya dari kecamatan lain, seperti Kadatua.

 

Jangan Sampai Punah

Menurut peneliti Balitjestro Kementerian Pertanian (Kementan), Emy Budiyati, jeruk siompu dapat tumbuh dengan baik di dataran rendah hingga maksimal di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut. Tanaman jeruk siompu baru bisa dipanen kala berumur 6-7 tahun dan tiap pohonnya mampu menghasilkan 100-135 kilogram jeruk segar. Umumnya dalam 1 ha lahan terdapat 300-400 pohon jeruk siompu.

Pemerintah setempat sudah berupaya melakukan budi daya jeruk siompu pada lahan di luar Pulau Siompu. Sayangnya, kualitas buahnya tidak sebagus di daerah asalnya. Kondisi tadi ditambah lagi dengan semakin turunnya produksi jeruk siompu di daerah asalnya.

Jika pada 10 tahun lalu produksi jeruk siompu masih mampu di angka 800-950 ton, maka sejak 2017 turun hingga rata-rata produksi tak lebih dari 300 ton per tahun dihasilkan dari lahan tersisa seluas total 15 ha. Mayoritas petani jeruk di Siompu saat itu mulai tidak bergairah menanam pascaserangan penyakit secara massal pada tanaman jeruk mereka saat menjelang panen pada 2015. Hal itu membuat para petani merugi. 

Sulitnya mendapatkan bibit berkualitas serta tantangan alam menjadi beberapa kendala lain bagi pengembangan dan distribusi ke luar pulau. Ini di luar alasan minimnya permodalan para petani jeruk siompu.

Kondisi-kondisi tersebut membuat jeruk siompu sulit untuk bersaing, apalagi harganya menjadi dua kali lebih mahal dibandingkan jeruk-jeruk lainnya. "Karena itu Balitjestro Kementan diminta pihak DPRD Buton Selatan bersama pemerintah daerah setempat untuk membantu pengembangan jeruk unggulan ini agar tidak sampai punah," kata peneliti dengan bidang keahlian agronomi ini.

Lulusan Jurusan Agronomi Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang ini menyebutkan, jeruk siompu hanya dapat tumbuh dan berkembang pada zona agroekologi tertentu seperti lahan kering Pulau Siompu. Usaha tani jeruk di lahan kering biasanya memiliki masalah serius dalam memenuhi kebutuhan air dan unsur hara bagi tanaman.

Lahan pertanian dengan tanah jenis ini biasanya memiliki laju infiltrasi yang cepat sampai sedang dan tingkat kesuburannya rendah. “Salah satu cara untuk mengatasi masalah kesuburan tanah di lahan kering adalah pemberian pembenah tanah zeolit alam. Di Jepang dan Amerika, zeolit digunakan oleh petani sebagai pengontrol kandungan air tanah, meningkatkan keasaman (pH) tanah, dan sebagai pemantap struktur tanah,” ujarnya.

Di samping itu, anggota Perhimpunan Hortikultura Indonesia (Perhorti) itu juga menyarankan kepada pemerintah setempat agar menanam jeruk siompu pada lahan pertanian dengan batas ketinggian maksimal 700 meter saja. Jika ditanam di dataran lebih tinggi lagi, maka rasa buahnya menjadi lebih asam. Jeruk siompu memerlukan suhu optimal berkisar antara 25-30 derajat Celcius dan harus mendapatkan sinar matahari penuh sepanjang hari agar hasil produksi buahnya dapat optimal.

Tanah yang disukai tanaman jeruk ialah jenis tanah gembur, berpori, dan subur. Kedalaman air tanahnya hendaknya tak lebih dari 1,5 meter ketika musim kemarau dan tidak boleh kurang dari 50 sentimeter pada musim hujan. Tanah tidak boleh tergenang air karena akarnya akan mudah terserang penyakit.

Tanah yang baik untuk tanaman jeruk harus berkadar asam pH 5-6. Curah hujannya yang cocok berkisar antara 1.000-1.200 milimeter per tahun dengan kelembaban udara 50-85 persen. Dengan adanya bantuan perbaikan teknis penanaman dan pengembangan dari Kementan ditunjang makin membaiknya tingkat konsumsi jeruk nasional, empat kilogram per kapita pada 2020 atau naik enam kali lipat dibandingkan 1995, harus dijadikan momentum untuk mengembalikan kejayaan manisnya jeruk siompu.

 

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Redaktur: Ratna Nuraini/ Elvira Inda Sari