Sekalipun secara nasional bangsa Indonesia modern telah menggunakan sistem tahun Masehi sebagai penanda waktu, bukan berarti kalender lokal—atau sebutlah itu ‘kalender tradisional’—yang dimiliki oleh banyak etnis serta-merta hilang begitu saja. Kalender nasional dan kalender tradisional agaknya masih hidup berdampingan. Seringkali keduanya memang memiliki fungsi dan makna yang berbeda antara satu dengan lainnya.
Menariknya, yang disebut sebagai kalender tradisional bukan mustahil sesungguhnya merupakan buah kreativitas dinamik dari masyarakat etnis tertentu terhadap sistem kalender tertentu, yang sesungguhnya berasal dari luar Indonesia. Artinya, dalam proses adopsi ini pasti terdapat fenomena “pe-lokalisasi-an” secara kreatif.
Ya, kalender tertentu itu bukan hanya semata diadopsi secara serta-merta oleh kelompok etnis pengguna, melainkan juga telah diadaptasikan dengan konteks lokal setempat.
Setelah diadopsi, juga diadaptasi sedemikian rupa. Barulah, kalender itu dalam proses perjalanannya lekat menjadi bagian pembentuk representasi identitas dan jati diri etnis penggunanya.
Sebutlah contoh sistem kalender Jawa, misalnya. Itu adalah buah dari perpaduan dari sistem Tahun Saka dan Tahun Islam. Artinya, dalam derajat tertentu sistem kalender Jawa ini memiliki ciri pembeda (distinctive) dengan Tahun Saka maupun Tahun Islam.
Tak kecuali juga kalender etnis Bali yaitu Saka Bali. Pun ialah perpaduan dari aspek lokal dan sistem Tahun Saka. Hasilnya nisbi sama dengan kalender Jawa. Dalam derajat tertentu, kalender Saka Bali juga memiliki karakteristik pembeda dengan Tahun Saka versi lama, maupun Tahun Saka versi baru di India.
Sementara itu, bicara pokok-soal (subject matter) etimologi, istilah kalender berasal dari bahasa Inggris modern, calender, menyerap dari bahasa Perancis kuno, calendier, yang asal mulanya dari bahasa Latin kalendarium. Artinya, buku catatan pemberi pinjaman uang. Sedangkan kalendarium berasal dari kata kalendae atau calendae yang artinya hari permulaan suatu bulan.
Dalam kamus KBBI, istilah kalender berarti ‘daftar hari dan bulan dalam setahun; penanggalan; almanak; dan takwim’. Singkat kata, arti kalender adalah suatu sistem yang teratur untuk membagi waktu menurut hitungan tahun, bulan, pekan, dan hari.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1543301739_1.jpeg" style="height:500px; margin-left:150px; margin-right:150px; width:400px" />
Di dunia setidaknya terdapat tiga mazhab besar penghitungan sistem tahun. Di antaranya, ada yang mendasarkan pada perhitungan waktu edar bumi mengelilingi matahari atau sistem solar. Ada juga yang mendasarkan pada perhitungan waktu edar bulan mengelilingi bumi atau sistem lunar. Lainnya lagi, juga ada yang dibuat dengan kombinasi kedua sistem perhitungan di atas atau galib disebut sistem luni-solar.
Selain itu, tentu juga masih ada sistem perhitungan kalender yang ditentukan berdasar sistem konvensi dan sistem perbintangan.
Hingga kini, paling tidak, pada masyarakat etnis Jawa, Sunda, Bali, Batak Karo, Bugis, Tengger, atau Sasak-Lombok, misalnya, masih ditemui aneka kalender tradisional itu. Kalender-kalender ini berfungsi seiring dengan keberadaan kalender nasional yang berbasis sistem tahun Masehi.
Yang penting dicatat adalah, naga-naganya bukan hanya mencerminkan asumsi kosmologis etnis setempat, kalender lokal atau tradisional juga mencerminkan adanya keragaman kearifan lokal.
Misalnya bagi etnis Jawa. Sistem penanggalan tradisional menjadi basis penghitungan untuk menentukan hari baik dan hari buruk. Juga sering berfungsi untuk menentukan momentum hari “H” perkawinan berdasar pada penghitungan hari lahir kedua mempelai (dalam bahasa Jawa disebut “weton”), pun tak kecuali saat hendak menentukan dimulainya proses pembangunan rumah hingga penentuan waktu ritual Slametan-nya saat selesai dibangun, dan lain sebagainya.
Tidak jauh berbeda ialah masyarakat Bali. Dalam kalender Saka Bali ini dapat dilihat adanya perhitungan lokal yang jadi acuan untuk menentukan waktu terbaik melakukan suatu kegiatan, seperti saat hendak menanam padi, panen, melaut, juga membangun rumah. Tak kecuali kalender ini juga menjadi tonggak acuan untuk penentuan waktu upacara atau ritual adat tertentu, bahkan konon dapat untuk melihat sifat orang, hingga memprediksikan keadaan cuaca serta potensi anomalinya secara lengkap.
Contoh lainnya ialah pada masyarakat Sasak di Lombok. Juga ditemui gejala yang mirip. Masyarakat Sasak mempedomani kalender lokal sebagai acuan penyelenggaraan gawe, beteletan (bercocok tanam), pembagian musim, arah naga, dan wuku (pengaruh posisi rasi bintang terhadap peristiwa-peristiwa di permukaan bumi). Disebut kalender Rowot, sistem kerja penghitungannya didasarkan pada pengamatan gerak rasi bintang tertentu.
Fenomena Paling Unik
Di antara keanekaragaman kalender tradisional yang ada, patut disebutkan kalender Batak sebagai fenomena paling unik. Disebut ‘Porhalaan’, terdiri dari duabelas bulan dengan masing-masing 30 hari, kalender ini boleh dikata bukanlah sistem penanggalan dalam arti konvensional. Porhalaan tidaklah dimaksudkan sebagai bentuk sistem penanggalan, melainkan lebih digunakan untuk tujuan meramal hari baik atau disebut panjujuron ori.
Di sini tentu menarik digarisbawahi, adanya keragaman kalender tradisional berbasis etnis ini pada tingkat detail tentu akan berbeda antara satu etnis dengan etnis lainnya. Namun aneka rupa perbedaan itu senyatanya kini telah diselesaikan dengan diadopsinya sistem penanggalan tahun Masehi sebagai kalender nasional.
Sedangkan bicara kalender nasional sudah tentu ialah bicara agenda Indonesia modern. Sekalipun hari-hari sakral semua agama di Indonesia telah dimasukkan sebagai agenda tahunan, fungsi kalender ini dalam ruang kehidupan bangsa Indonesia terlihat dimaknai sebagai lebih bersifat profan ketimbang sakral.
Bicara aspek sakralitas sebuah penanda hari atau bulan, rasa-rasanya pelbagai masyarakat etnis tetap nisbi lebih berpedoman pada sistem penanggalan tradisional mereka masing-masing.
Sudah tentu, kalendar nasional ini bukannya tanpa memiliki kelompok kategori “hari sakral”. Proses pembentukan Indonesia dan definisi keindonesiaan jelas saling terjalin berkelidan dalam hadirnya sistem penanggalan nasional.
Sebutlah, antara lain, 17 Agustus adalah terkait Hari Kemerdekaan, 28 Oktober adalah Hari Sumpah Pemuda, 10 November adalah Hari Pahlawan, dan masih banyak lainnya.
Pada tiap-tiap momentum tanggal dan bulan itu di setiap tahunnya lazim dilakukan berbagai ritus upacara berbangsa dan bernegara yang dihelat oleh negara. Sudah pasti berbagai ritus itu memiliki makna penting.
Selain berfungsi sebagai penanda kolektif bagi pembentukan ingatan bersama sebuah bangsa (nation-state), lebih jauh juga bermakna memberikan keseragaman horizon dan kontinuitas ruang dan waktu sejarah bagi keberadaan sebuah bangsa yang bernama Indonesia. Dulu, kini dan juga nanti.
Sayangnya, bagaimana proses sejarah terciptanya—sebutlah itu “konsensus nasional secara tidak disengaja”—perihal dianutnya sistem kalender tahun Masehi di Indonesia, nisbi tidak ditemui catatan sama sekali.
Barangkali saja dianutnya sistem tahun Masehi secara nasional lebih merupakan buah kelaziman dari sistem administrasi kolonialisme telah mengakar di tengah masyarakat. Walhasil, aspek kontinuitas penggunaan sistem kalender ini pun jadi sebuah fenomena umum.
Barangkali juga prosesnya sedikit mirip dengan penemuan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional. Berawal dari posisi bahasa Melayu sebagai bahasa pergaulan (lingua franca) antaretnis, kemudian didorong melalui konsensus Sumpah Pemuda 1928.
Integrasi ribuan etnis yang tersebar dalam puluhan ribu pulau, yang memiliki aneka ragam adat budaya dan bahasa masing-masing itu, juga bukan tak mungkin pun memiliki sistem kalender lokalnya sendiri-sendiri. Namun keanekaragaman kalender lokal itu kini telah disatupadukan oleh sejarah kolonialisme melalui pengadopsian penanggalan sistem tahun Masehi, sekalipun tanpa melalui konsensus atau sebuah sumpah.
Terang, ada faktor “ketidaksengajaan sejarah” yang secara intens berkerja menentukan dan membentuk rupa sejarah Indonesia modern hingga hari ini.
Sejarah kolonialisme memang tak semuanya niscaya berbuah buruk, dan sejarah memang bukan semata tafsiran kaku secara “hitam-putih” terhadap rangkaian fakta peristiwa-peristiwa (W-1).