Pembangunan atau modernisasi bagi suatu bangsa lazim dipahami tidak semata terkait dengan aspek fisik, tetapi juga mental dan spiritual. Untuk mencapai tujuan pembangunan membutuhkan adanya persyaratan mental yang harus dimiliki oleh sebuah bangsa. Jika persyaratan mental atau budaya itu tidak terpenuhi, tujuan pembangunan bakal sulit dicapai.
Sebutlah sosiolog Jerman Max Webber, misalnya, jelas konsepsinya tentang ‘Etika Prostestan’ mengandaikan adanya mentalitas rasional yang sesuai dengan sistem ekonomi kapitalisme. Atau contoh lain, teori motivasi berprestasi (achievement motivation) yang dirumuskan David McClelland. Menurutnya, adanya kebutuhan berprestasi sebagai daya mental manusia memiliki pengaruh besar pada kinerja ekonomi masyarakat.
Bicara mentalitas manusia Indonesia berarti bicara potret budaya masyarakat Indonesia. Ilustrasinya sering disederhanakan sebagai kebudayaan masyarakat majemuk.
Presiden Joko Widodo berulang kali di berbagai kesempatan mengatakan, Indonesia memiliki 714 etnis dan sub-etnis. Bukan hanya multietnis, tapi juga multibahasa, multiagama, dan multibudaya.
Tentu ada keragaman ciri. Bukan saja ditandai keragamaan etnis maupun agama, tapi juga perbedaan pola sosial-ekonomi maupun derajat evolusi kebudayaannya. Itu semua bermuara pada keragaman model masyarakat dan manusia Indonesia. Tentu saja susah membangun simpulan umum perihal mentalitas manusia Indonesia. Pasalnya dalam banyak aspek senyatanya tak sedikit kontras warna mengemuka.
Sayangnya, tulisan tentang manusia Indonesia sementara ini sering tercitrakan negatif. Bahkan tampaknya malah lebih sering mengemuka stereotipe yang menonjolkan pesimisme ketimbang optimisme. Citra pesimisme ini telah muncul sedari awal Orde Baru berdiri, tercatat setahun sebelum dilaksanakannya pemilu pertama di era Presiden Soeharto.
Pada 1970, tercatat LIPI pernah menyelenggarakan seminar bertajuk ‘Perkembangan Sosial-Budaya dalam Pembangunan Nasional’. Para ahli ilmu-ilmu sosial-humaniora ketika itu melihat adanya hambatan pembangunan dari faktor-faktor non-ekonomi. Kesimpulan seminar yang mengemuka ialah, sikap mental orang Indonesia umumnya belum siap untuk pembangunan.
Empat tahun berselang semenjak seminar nasional itu, “Bapak Antropologi” Koentjaraningrat menerbitkan buku berjudul Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Dalam tulisan ini, sekali lagi, aspek negatif atau pesimisme kembali kuat mengemuka.
Bicara agenda Pembangunaisme Orde Baru, Koentjaraningrat memperlihatkan adanya lima kelemahan mentalitas orang Indonesia, antara lain, sifat mentalitas meremehkan mutu, sifat mentalitas yang suka menerabas, sifat tidak percaya pada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin, dan terakhir ialah sifat tidak bertanggung jawab.
Pada 6 April 1977, sejarah juga mencatat momen orasi kebudayaan yang tersohor di Taman Ismail Marzuki. Ya, orasi kebudayaan Mochtar Lubis berjudul “Manusia Indonesia” itu berisi kupasan tentang sifat-sifat negatif manusia Indonesia, seolah-olah hingga kini suaranya masih terngiang di telinga.
Meskipun terkesan hanya mengelaborasi konsepsi yang telah ditulis Koentjaraningrat, pada momen itu Mochtar Lubis setidaknya mengemukakan enam sifat negatif manusia Indonesia, antara lain, hipokrit atau munafik, tidak mau bertanggung jawab, berperilaku feodal, percaya pada takhayul, artistik atau berbakat seni, dan lemah karakternya.
Penting dicatat, di akhir orasi Mochtar Lubis menggarisbawahi perlunya penguasaan ilmu dan teknologi sebagai langkah pembawa kemajuan kebudayaan.
Revolusi Mental dan Political Will
Presiden Joko Widodo sudah tentu menyadari kekurangan dan kelebihan budaya bangsa Indonesia. Saat kampanye pilpres di 2014, mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga mengutip orasi kebudayaan Mocthar Lubis, dan dari sanalah program Revolusi Mental digulirkan pemerintah sebagai kerangka kerja pemajuan kebudayaan.
Menoleh ke belakang, sebenarnya ide gerakan Revolusi Mental pernah digelorakan oleh Presiden Soekarno pada 1957. Istilah Revolusi Mental mengemuka pada Pidato Kenegaraan 17 Agustus 1957. Berjudul ‘Satu Tahun Ketentuan’! Ketika itu Presiden Soekarno ingin mengajak rakyat Indonesia hidup sederhana, bergotong royong, hemat, dan religius. Konteks tujuan utamanya ialah ‘nation and character buildings’ Indonesia.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548164123_download.jpg" />Siswa Indonesia Kembali Ukir Prestasi Internasional Bidang Kimia dan Fisika. Sumber foto: Kemdikbud
“Revolusi Mental merupakan satu gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala,” ujar Presiden Soekarno.
Artinya, ide Revolusi Mental ini sebenarnya hanya kembali diserukan oleh Presiden Joko Widodo, dan kini ditempatkan jadi salah satu program Nawa Cita. Butir kedelapan Nawa Cita menegaskan:
“Melakukan revolusi karakter bangsa melalui kebijakan penataan kembali kurikulum pendidikan nasional dengan mengedepankan aspek pendidikan kewarganegaraan, yang menempatkan secara proporsional aspek pendidikan, seperti pengajaran sejarah pembentukan bangsa, nilai-nilai patriotisme dan cinta Tanah Air, semangat bela negara dan budi pekerti di dalam kurikulum pendidikan Indonesia.”
Dalam derajat tertentu, baik Presiden Soekarno maupun Presiden Joko Widodo, terkesan sangat meyakini unsur ‘voluntarisme’ dalam diri manusia. Bahwa, mentalitas manusia Indonesia itu bukan hanya bisa diubah tapi memang juga harus diubah. Tinggal persoalan ialah, mau atau tidak bangsa Indonesia sebagai koletif bekerja keras untuk mengubahnya.
Seperti diketahui, ‘voluntarisme’ ialah istilah yang merujuk suatu aliran filsafat dan tokoh-tokohnya yang yakin bahwa ‘kehendak’ menjadi kata kunci terpenting dalam proses kehidupan manusia. Secara etimologis berasal dari bahasa Latin, ‘voluntas’, yang artinya berkehendak, kemauan, atau keinginan. Dalam bahasa Jerman: ‘wille’; Inggris: ‘will’.
Voluntarisme menolak kungkungan pandangan mekanistik dan deterministik perihal manusia yang terdapat pada ilmu-ilmu sosial positivisme, yang menganggap kesadaran manusia sepenuhnya ditentukan oleh situasi dan lingkungan ekternalnya. Voluntarisme melihat manusia secara eksistensial ialah otonom dan bebas berkehendak. Walhasil, berkebalikan dengan paham positivisme, manusia sebagai subyek berkesadaran menurut voluntarisme justru dianggap sebagai sanggup mendeterminasi dan mengubah lingkungan sekitarnya.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548164392_download_(1).jpg" style="height:715px; width:1071px" />Kelompok Seni Pelajar Indonesia Juara di Forum Internasional. Sumber foto: Kemdikbud
Dari keyakinan pada kekuatan voluntarisme inilah, maka lahirlah political will Presiden Joko Widodo. Butir kedua Nawa Cita yang berbunyi ‘Membangun Indonesia dari Pinggiran dengan Memperkuat Daerah-Daerah dan Desa dalam Kerangka Negara Kesatuan’ jelas merupakan koreksi atas kekeliruan konsep pembangunan selama ini.
Atas nama keadilan bagi masyarakat kawasan timur Indonesia, maka didoronglah kuat kebijakan pembangunan infrastruktur secara masif. Bukan saja semata infrastruktur jalan, jembatan, bandara, dan pelabuhan bagi kelancaran transportasi dan perbaikan sistem logistik antarpulau-pulau, tetapi juga infrastruktur konektivitas jaringan telekomunikasi yang akan menjangkau 440 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
Ya, ‘Palapa Ring’ demikian proyek infrastruktur ini dinamai. Ini berupa pembangunan serat optik di seluruh Indonesia sepanjang 36.000 kilometer. Proyek ini tentu punya signifikansi besar. Dengan kebijakan ini berarti Presiden Joko Widodo tengah mencangkokkan instrumen teknologi yaitu internet sebagai langkah awal pembawa pemajuan kebudayaan.
Political will lainnya, realisasi Dana Desa secara konsekuen. Merujuk UU Desa, kucuran dana sebesar 10% dari APBN ke desa-desa di seluruh Indonesia diberikan tanpa melalui perantara, baik di tingkat propinsi maupun kabupaten/kota. Dan sepanjang 2015-2019 anggaran sebesar 257 trilyun disalurkan ke 83.344 desa di seluruh Indonesia.
Selain itu, juga seiring disahkannya UU Pemajuan Kebudayaan, di mana Pemerintah mendorong Pemda berperan aktif merumuskan PPKD (Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah). Berbeda dari era sebelumnya, alur proses perumusan sengaja digodok secara bottom up.
Sebagai upaya mendesain langkah pemajuan kebudayaan, maka kabupaten/kota hingga propinsi harus memetakan kondisi obyektif di daerah masing-masing serta berbagai usulan solusinya. Lantas, dari sana disusunlah strategi kebudayaan sebagai arah umum untuk mendorong derap kemajuan kebudayaan ke depan.
Menariknya memasuki 2019, alur proses perumuskan PPKD hendak dielaborasi lebih luas sehingga data-data itu dikumpulkan dari tingkat desa. Walhasil, di sepanjang 2019 ini sejumlah 83.344 desa akan mulai bergerak menentukan dirinya (self determination). Dengan adanya fasilitas internet sebagai piranti belajar, masing-masing desa “dipaksa” secara learning by doing untuk menemukan potensi pengembangan ekonomi di desanya, dan sekaligus belajar merumuskan arah kebudayaannya di tingkat komunitas desa.
Tak kalah pentingnya ialah political will Presiden Joko Widodo menginisiasi pembentukan BEKRAF, di mana semula urusan ekonomi kreatif ini ialah bagian dari Kemenpar sekarang. Namun sejalan mekarnya revolusi digital dan pentingnya sektor ini berikut tantangannya yang semakin besar ke depan, dibuatlah sebuah lembaga tersendiri.
Pertanyaannya ialah, apakah makna dari semua political will Presiden Joko Widodo? Seluruh kebijakan ini secara kelembagaan ditujukan sebagai upaya mendesain proses pembangunan secara terdesentralisasi dan bottom up, juga merupakan upaya pemajuan kebudayaan oleh masyarakat sendiri secara partisipatoris. Ditambah alokasi anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN, juga kebijakan program vokasi berbasis penguasaan teknologi sebagai model pendidikan untuk merespons situasi industrial terkini (baca: Industri 4.0), maka tak mustahil Indonesia akan segera berderap menuju proses kemajuan pembangunan dan pemajuan kebudayaan.
Di atas semua itu, tentu saja yang terpenting ialah derajat partisipasi aktif masyarakat sendiri dalam proses pembangunan. Bisa dibayangkan, saat di desa-desa bukan saja digelontorkan Dana Desa dan disiapkan kewirausahaan melalui BUMDES-BUMDES, namun juga terdapat fasilitas belajar yang sangat memadai melalui internet. Semua itu jelas memungkinkan masyarakat untuk belajar dan gotong-royong bekerja memajukan lapangan ekonomi dan kebudayaan di desanya masing-masing.
Sejauh mana masyarakat terlibat aktif untuk mengawal dan menjalankan proses pembangunan di desa-desa, plus juga mengawal proses perumusan kebijakan baik di daerah maupun di pusat, bagaimanapun akan menjadi kata kunci penting dari sukses atau tidaknya seluruh upaya pembangunan dan pemajuan kebudayaan.
Bagaimana hasilnya? Ya, sekalipun di sana-sini tak sedikit kekurangan dan kritik, setidaknya mulai terlihat bukti nyata dari program Revolusi Mental. Pada 2018 tingkat IPM (Indeks Pembangunan Manusia) Indonesia telah meningkat menjadi 70, 81.
Sebagai gambaran perihal arah Revolusi Mental ke depan, di sini patut dicatat poin orasi Presiden Joko Widodo pada kuliah umumnya di Institut Seni Indonesia di Denpasar pada 23 Juni 2018.
“Selama 3 tahun kita membangun infrastruktur. Tapi jangan dimaknai hanya membangun fisik semata. Artikan juga bahwa kita membangun infrastruktur budaya untuk peradaban di masa depan, membangun konektivitas budaya, membangun mental, dan karakter budaya yang baik. Pembangunan infrastruktur kini dilanjutkan dengan pembangunan sumber daya manusia”.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1548164673_de30bdc9_a58f_4dbf_a7f2_1aa8ea19d7e6.jpg" style="height:585px; width:780px" />4 Siswa SMA Indonesia meraih penghargaan riset dari lembaga riset dunia. Sumber foto: Kemdikbud
Sudah jelas, bahwa fokus pembangunan Indonesia ke depan ialah pada pembangunan manusia. Di berbagai kesempatan berikutnya Presiden Joko Widodo bahkan berulang kali menegaskan, bahwa proyek pembangunan sumber daya manusia ini akan dilakukan secara besar-besaran.
Benar, bahwa kemampuan orasi dan retorika Presiden Joko Widodo tak sepiawai Presiden Soekarno dalam menginspirasi khalayak luas. Namun adanya ketekunan, keuletan, keteguhan, etos kerja yang tak mengenal kata lelah, serta kesantunan tutur katanya, tentu dapat menjadi tauladan tersendiri bagi khalayak perihal implementasi agenda Revolusi Mental.
Cinta Tanah Air dan nilai-nilai patriotisme tampaknya diperlihatkan oleh Presiden Joko Widodo melalui etos kerja dirinya ketimbang kepiawaian seni retorikanya.
Mudah diterka, keyakinan Presiden Joko Widodo pada konsepsi voluntarisme, yang terekspresikan dalam tagline ‘Kerja, Kerja, dan Kerja’, jelas sekaligus mengisyaratkan keyakinannya pada konsepsi ‘homo faber’. Bahwa, tugas manusia itu sejatinya ialah bekerja, di mana bekerja ialah juga berarti menciptakan, mengukir, dan memperindah kehidupan dunia. (W-1)