Bertepatan dengan Tahun Baru Waisaka atau 1 Saka 1941, masyarakat Hindu di seluruh Indonesia akan merayakan Hari Raya Nyepi. Jatuh pada hitungan pinanggal apisan Sasih Kadasa atau tanggal pertama bulan ke sepuluh dalam kalender Hindu. Berasal dari kata sepi. Kata sepi di sini mengandung makna hening, sunyi, senyap, atau dalam bahasa Bali, sipeng. Merujuk sistem kalender masehi atau nasional, hari itu jatuh pada 7 Maret 2019.
Meskipun dalam arti tertentu ialah perayaan tahun baru, di Bali ritual Nyepi ialah ritual keagamaan yang dilakukan secara khidmat dan bukan perayaan nan gegap gempita. Menariknya lagi, sekalipun kalender Saka ini diadopsi dari India, perayaan 1 Saka terlebih mengambil bentuk Hari Hening ala ritual Nyepi hanya ditemukan di Indonesia.
Hindu di Indonesia dan khususnya di Bali, telah lama dianggap oleh pengamat kebudayaan sebagai Hindu yang telah mengalami proses lokalisasi. Bahkan seolah telah jadi kesepakatan umum di antara para peneliti, Hindu dan juga Budha, yang bekembang di Indonesia ialah berbeda dengan Hindu dan Budha yang dianut oleh masyarakat di India.
Adanya perbedaan ini disebabkan oleh karena ketika Hindu atau Budha masuk dan berkembang di Nusantara, kedua agama ini bertemu dengan konteks budaya lokal atau nilai-nilai kepercayaan setempat. Adanya budaya atau nilai-nilai kepercayaan lokal ini, sedikit banyak tentu turut mewarnai perjalanan dan pekembangan kedua agama ini sebagaimana terlihat adanya kini.
Dengan demikian masuknya kebudayaan Hindu atau Budha tampaknya tidak diterima secara serta-merta (taken for granted). Tetapi tetap saja melalui proses pengolahan yang disesuaikan dengan karakter budaya dan nilai-nilai yang dimiliki oleh penduduk Indonesia.
Kuatnya fenomena alkuturasi ini naga-naganya susah dipungkiri. Bukan saja fenomena ini tercermin dalam sistem teologi Hindu-Bali, salah satunya ialah Siva-Budha, melainkan juga terekspresikan dalam sistem penanggalan Hindu-Bali dan ritual Hari Raya Nyepi.
Agama Siva-Budha
Ambilah contoh, agama Siva-Budha di Bali, misalnya. Barangkali saja sinkretisme Siva-Budha bukanlah monopoli Indonesia. Fenomena sinkretisme Siva-Budha disinyalir juga terjadi India, Nepal, Tibet, atau Kamboja. Adanya alkulturasi atau sinkretisme kebudayaan barangkali sebenarnya bukanlah fenomena istimewa. Alkulturasi bisa jadi ialah fenomena natural (nature) dari konsekuensi adanya saling interaksi antarmasyarakat manusia yang sangat beragam.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1552033618_Sulinggih_yang_muput_di_Lawe_Tengah_Bencingah_Agung_Pura_dasar_BuanaGelgelKlungkung_696x338.jpg" style="height:338px; width:696px" />Sulinggih yang muput di Lawe Tengah Bencingah Agung Pura dasar Buana. Sumber foto: Balipuspa
Ya, orang India tentu tidak akan terkejut menyaksikan penyebutan dan simbolisasi arca (pantheon) dari kedua agama itu (Hindu dan Budha) saling dipertukarkan satu dengan lainnya. Di India fenomena saling menukar simbol dewa-dewa juga jamak terjadi.
Sebutlah contoh Dewa-dewa Hindu seperti Ganapati, Saraswati, Mahakala, Nilakantha, dan lainnya, juga terkenal di antara dewa-dewa Budha. Sedangkan Hindu pun seringkali meminjam dewa-dewa dari Budha seperti Mahacinatara, Janguli, Vajrayogini, dan lain sebagainya.
Namun orang India barangkali saja akan terkejut, sejarah evolusi perpaduan antara Siva dan Budha menjadi Siva-Budha di Indonesia, sepanjang sejarahnya di sini nisbi terjadi secara damai dan harmonis. Sedangkan, bicara sejarah evolusi hubungan Hindu dan Budha di India toh tidak selalu demikian.
Ada kalanya, interaksi di antara pemeluk Siva dan Budha di India justru menyebabkan posisi Budha mengalami kemerosotan. Khususnya di akhir zaman pertengahan, misalnya, tercatat peristiwa kebencian kaum Brahma?as terhadap pengikut Budha dianggap sebagai salah satu faktor penyebab kemerosotan agama Budha di sana.
Lain di Indonesia atau Bali, dulu dan hingga kini. Merujuk tulisan I Ketut Widnya dalam artikelnya Pemujaan Siva-Budha dalam Masyarakat Hindu di Bali, ditulis bahwa sejarah evolusi perpaduan Siva-Budha di Indonesia terjadi melalui tiga fase. Fase pertama ialah meliputi evolusi pra-Majapahit. Fase kedua ialah zaman Majapahit (1292-1500). Dan fase ketiga ialah pasca-Majapahit, di mana perkembangannya terjadi di Bali.
Fase pertama, yaitu sebelum zaman Majapahit. Tingkat sinkretisme antara Sivaisme dan Budhisme nisbi belum menunjukkan gejala penyatuan yang kuat. Perbedaan kedua agama ini masih dapat diperlihatkan dan batas-batas di antaranya juga masih tampak jelas.
Fase kedua, yaitu di zaman Majapahit. Sinkretisme antara Siva dan Budha menunjukkan tingkat penyatuan yang semakin kuat. Salah satu latar belakangnya ialah peran raja Majapahit, yang menganut kedua agama itu. Juga berkembangnya paham Tantra, yang bukan saja mempengaruhi kedua agama itu namun juga berfungsi menyatukan perbedaan Sivaisme dan Budhisme.
Sedangkan fase ketiga, yaitu evolusi Siva-Budha setelah era Majapahit. Khususnya di Bali, fenomena ini menunjukkan tingkat hubungan yang semakin luluh satu dengan lainnya. Fenomena ini ditunjukkan oleh adanya konsepsi teologis, di mana Siva dan Budha dipuja sebagai Tuhan yang satu: “Sanghyang Tunggal”.
Sekalipun fenomena peleburan Siva-Budha dikatakan terjadi sejak era Majapahit dan sesudah itu, fenomena sinkretisme di Bali sangat mungkin telah terjadi pada kurun waktu lebih awal. Fenomena sinkretisme Siwa-Budha ini, seturut tulisan Widnya telah terjadi sejak zaman Bali Kuno, yaitu di kisaran abad ke-8 hingga abad ke-14 M.
Widnya menyebut keberadaan Prasasti Blanjong, sejarah tertulis tertua tentang Pulau Bali. Bertarikh 835 Saka (913 M), dan dikeluarkan oleh seorang Raja Bali, Sri Kesari Warmadewa. Menurut Widnya, prasasti ini menceritakan kisah raja Bali yang tengah mencari perlindungan kepada Budha, demi kesejahteraan negerinya.
Masih merujuk artikel itu, disebutkan bahwa justru Budha-lah yang sebenarnya lebih dulu tiba di Pulau Dewata itu, dan barulah Hindu menyusul kemudian. Menariknya, di zaman Bali Kuno, justru Budha memiliki kedudukan sangat kuat dalam masyarakat Bali. Wajar saja jika hampir semua arca-arca Budha juga ditemukan dalam banyak tempat suci Hindu di Bali.
Para sarjana meyakini, fakta ini bukan merupakan bukti tentang terjadinya proses salin agama (conversion), melainkan lebih suatu proses penyatuan antara Sivaisme dan Budhisme yang terjadi secara gradual dalam proses sejarah. Barulah kemudian sinkretisme antara Sivaisme dan Budhisme itu semakin dikukuhkan seiring dengan terjadinya penyatuan Siva-Budha di era Kerajaan Majapahit.
Berbeda dari India. Dalam periode tertentu, Budhisme selalu mengklaim diri lebih unggul dalam filsafat dari Hinduisme. Sebaliknya pun tak kecuali, Hinduisme selalu mengklain diri lebih unggul juga dari Budhisme.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1552034138_Pendeta_Budha_sekaligus_Pendeta_Siwa.jpeg" style="height:453px; width:552px" />
Pendeta Budha (kanan) sekaligus Pendeta Siwa (kiri). Sumber: Made Suryawan
Apa yang terjadi di Bali tidaklah demikian. Dari dulu dan bahkan hingga kini, posisi kedua agama ini dianggap sejajar. Ini terbukti dari pengakuan para pendeta di Bali sendiri. Bagi para pendeta Siva, mereka tidak akan sempurna ilmunya jika tidak mengetahui ajaran Budha. Pun bagi endeta Budha, juga mengakui mereka tidak akan sempurna ilmunya jikalau tidak mengetahui ajaran Siva.
Tak kecuali dalam ritus kematian. Air suci tirtha Budha dari pendeta Budha dipakai oleh penganut Siva untuk menyucikan roh orang meninggal. Sebaliknya air suci pendeta Siva juga dipakai oleh penganut Budha untuk tujuan yang sama.
Mungkin sedikit berlebihan sekiranya menyimpulkan, bahwa Hindu yang dipraktikkan di Bali kini secara umum ialah mazhab Siva-Budha. Pasalnya, sejalan dengan mondialisme global di era revolusi digital saat ini, munculnya tren “Indianisasi Hindu” atas Hindu-Bali laiknya Arabisasi Islam tentu ialah sebuah gejala yang tak terelakan. Seberapa besar tren ini kini menggejala? Tentu dibutuhkan riset lapangan untuk menjawabnya.
Namun terlepas daripada itu, tentu tak berlebihan jikalau dikatakan sinkretisme Siwa-Budha ialah sebuah mazhab yang unik. Pasalnya di dalam konsep sinkretisme Siva-Budha ini juga diadopsi kepercayaan kuno dan kepercayaan lokal yang sangat kompleks. Di dalamnya termasuk elemen-elemen pemuliaan pada leluhur, ibu bhumi, pohon, roh burung, binatang, atau pada kekuatan-kekuatan magis, spirit dan hantu-hantu (Butha Kala).
Tak salah, jika beberapa kalangan peneliti kemudian secara general menyimpulkan: bicara sistem keyakinan orang Bali sebenarnya berarti juga bicara fenomena kompleks. Bangunan sistem keyakinan orang Bali setidaknya dilandasi oleh beragam aspek: Hinduisme, Siwaisme, Budhisme, dan tradisi leluhur.
Pada titik ini, suatu hipotesa patut dikemukakan. Jika benar, bahwa sinkretisme Siva-Budha-kepercayaan lokal di Bali merupakan hasil dari interaksi damai, maka bisa diduga interaksi antarunsur-unsur kebudayaan itu ialah merupakan proses yang diinginkan (interaction of willing) dan bukan paksaan.
Hipotesa di atas patut diandaikan, mengingat proses unifikasi ketiga unsur itu yaitu Sivaisme (Hinduisme), Budhisme, plus kepercayaan lokal, sejauh ini sebagai buah eksperimen dan rekayasa sosial (social engineering) ternyata menghasilkan pola relasi kebudayaan yang harmonis. Artinya, dalam derajat tertentu keberadaan Siva-Budha ini jelas mengingatkan pada capaian dan penguasaan praksis ilmu filsafat secara metodis, sebagai basis dari eksperimen dan rekayasa sosial yang selama ini telah berlangsung tersebut.
Dikenal dengan istilah filsafat perenialisme (Latin: philosophia perennis). Filsafat ini ialah sebuah sudut pandang dalam filsafat agama, yang meyakini setiap agama di dunia sesungguhnya memiliki suatu kebenaran tunggal dan universal. Tradisi ini juga meyakini, semua pengetahuan dan doktrin religius, apapun itu dan tanpa kecuali, pasti bermuara pada titik temu realitas yang satu, tertinggi, dan universal.
Sayangnya, sejauh ini banyak peneliti yang telah merasa puas ketika mendefinisikan perihal kepercayaan lokal Nusantara secara sederhana (simplified) sebagai sekadar animisme dan dinamisme. Sementara, bicara kategori animisme dan dinamisme sudah tentu memiliki derajat kompleksitas lebih rendah dibandingkan dengan keberadaan agama (religion).
Pertanyaannya ialah: Apakah mungkin jikalau unsur-unsur kepercayaan lokal di Nusantara ketika itu, yaitu animisme dan dinamisme, yang notabene memiliki derajat evolusi lebih rendah daripada keberadaan agama kemudian bakal sanggup melakukan eksperimen dan rekayasa sosial dengan memberikan kepemimpinan moral untuk menyatukan dua agama besar dunia?”
Bukankah, jikalau konsep-konsep penyusun dari kepercayaan lokal itu nisbi lebih sederhana ketimbang agama-agama besar, tentu akan tergagap-gagap saat bermaksud mewadahi konsep-konsep agama besar yang notabene sudah demikian kompleks dan rumit?”
Bagaimanapun, keberhasilan strategi kebudayaan ala filsafat perenialisme yang terejawantahkan dalam mazhab Siwa-Budha, juga mengejawantah pada praktik kehidupan agama yang toleran, damai, dan harmoni dalam masyarakat Bali tentu mensyaratkan kekayaan ide, konsepsi, atau gagasan yang tak sesederhana perspektif animisme dan dinamisme belaka.
Jelas, bukan tak mungkin Nusantara ketika itu sebenarnya telah memiliki kompleksitas gagasan atau konsep sebagai kepercayaan lokal, yang nisbi jauh lebih kaya dan canggih ketimbang entitas animisme dan dinamisme. (W-1)