Selamat Tahun Baru Saka! Pada 2019 ini, momen pergantian tahun baru ini jatuh pada Kamis 7 Maret 2019. Seturut kalender Hindu-Bali kini memasuki Tahun Saka 1941. Ada selisih 78 tahun dibandingkan Tahun Masehi.
Meskipun merupakan selebrasi pergantian tahun, namun di Bali perayaan Tahun Baru Saka ialah bagian dari ritual dan praktik keagamaan. Menariknya, sekalipun sistem kalender ini diadopsi dari India, namun adanya “Hari Hening” ala ritual Nyepi sebagai bentuk perayaan pergantian tahun, toh hanya dikenal di Indonesia.
Hari Raya Nyepi tentu bukan monopoli Pulau Bali. Juga dirayakan oleh seluruh masyarakat Indonesia yang memeluk Hindu. Tapi, karena Bali kini satu-satunya pulau di Indonesia yang mayoritas penduduknya masih memeluk Hindu, maka, meskipun tak sepenuhnya benar namun juga tak sepenuhnya salah, ritual Nyepi lantas terkesan identik dengan budaya dan masyarakat Bali itu sendiri.
Pulau Bali-Indonesia memang sangat menarik. Pada Maret 2017 TripAdvisor, sebuah situs travel terbesar sejagat, memasukkan Pulau Bali dalam daftar 10 top destinasi pilihan dunia. Posisi Bali-Indonesia berada di peringkat pertama dari 25 destinasi dunia. Sedangkan posisi Thailand justru berada di peringkat kesepuluh.
Seolah mengulang kesuksesan 2017, pada November 2018 TripAdvisor kembali menempatkan posisi Bali-Indonesia di peringkat ke-4 dari 25 negara destinasi pilihan dunia. Sekalipun turun dari posisi di 2017, namun Bali-Indonesia ialah satu-satunya negara Asia yang masuk daftar 10 besar. Negara Asia lain, Thailand, pun turun dan berada di peringkat ke-11.
Benar, Pulau Dewata mengandalkan industri pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi. Tentu, masyarakat Bali memandang signikan jumlah kunjungan wisatawan. Meskipun demikian, ini bukan berarti masyarakat Bali harus bersikap pragmatis dan mengorbankan ritual dan upacara keagamaan mereka semata-mata demi tujuan pariwisata.
Dan boleh dikata masyarakat Bali, dari dulu hingga kini, sebenarnya masih nisbi tampak kukuh menjaga dan mempertahankan tradisi dan budaya mereka. Sehingga meskipun pulau ini telah jadi destinasi tujuan wisata dunia sejak 1914, namun toh tetap saja hingga kini kebudayaaan Bali masih relatif terhindar dari kerusakan sebagai dampak komersialisasi industri pariwisata.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1552180530_antarafoto_upacara_tawur_panca_wali_krama_060319_nhw_3.jpg" />Upacara Tawur Agung Panca Wali Krama di Pura Besakih, Karangasem, Bali. Sumber foto: Antara Foto
Berbagai Larangan
Simaklah, Seruan Bersama Majelis-Majelis Agama dan Keagamaan Propinsi Bali di tahun 2019 ini, yang sedikit banyak memperlihatkan keseriusan masyarakat Bali menjaga warisan tradisi dan budayanya. Terkait Hari Raya Nyepi kali ini, lembaga ini mengeluarkan beberapa ketentuan, antara lain:
Sepanjang ritual Nyepi yaitu dari Kamis 7 Maret pukul 06.00 Wita hingga Jumat 8 Maret pukul 06.00 Wita seluruh jasa transportasi darat, laut, dan udara, dilarang beroperasi. Radio dan televisi tak boleh siaran. Data seluler internet dari semua operator harus dimatikan. Tak kecuali, hotel dan penyedia jasa hiburan jelas dilarang menyelenggarakan paket hiburan.
Made Mangku Pastika, saat jadi Gubernur di Propinsi Bali pun pernah mengeluarkan seruan senada. Pada 2017, Made Mangku Pastika sempat melarang pihak manajemen hotel menjual paket wisata Nyepi. Dasar pelarangan, seturut pendapatnya ialah karena ritual Nyepi ialah hari raya sakral.
Jelas, sepintas ketentuan berbagai larangan itu terkesan kontradiktif dengan agenda tourisme global. Bicara industri penerbangan saja, misalnya, merujuk Angkasa Pura, bandara I Gusti Ngurah Rai di sepanjang 2018 mencatat trafik 23,7 juta. Naik 12,6% dibanding tahun lalu. Artinya secara general bandara, yang telah sering mendapat penghargaan dari Airports Council International terkait kualitas layanannya itu, rata-rata hilir mudik penumpang hampir mendekati 65 ribuan orang per hari.
Bukankah bisa dibayangkan nilai kerugian saat bandara ini tutup selama 24 jam. Belum lagi, bicara wisatawan yang menggunakan transportasi mode darat dan laut. Secara kuantitas tentu tak kecil juga.
Artinya bicara nilai kerugian, dari hulu ke hilir secara multiplier effect sudah pasti sangat besar. Semua operator internet off selama 24 jam; sektor jasa, dari transportasi lokal baik rental sepeda, motor, dan mobil, tak disewa pengunjung; pun jasa local guide, tempat-tempat kuliner, aneka produk kerajinan hingga beragam jasa industri hiburan. Di hari sakral ritual Nyepi, semua sektor usaha dipaksa berhenti memutar roda komersialnya.
Ya, menggunakan logika sistem kapitalisme, yang cenderung menyederhanakan rasio manusia sebatas kalkulasi pertumbuhan ekonomisme atau tujuan profit, jelas kebijakan Majelis-Majelis Agama dan Keagamaan di Bali, juga pelarangan Made Mangku Pastika, bisa dianggap kontra produktif terhadap tujuan pertumbuhan pariwisata di Bali.
Tapi, masyarakat Bali tak ambil pusing. Bagaimanapun, orang Bali cenderung memiliki semesta makna atau nilai-nilai mereka sendiri, yang berakar kuat dalam pandang-dunianya. Merujuk I Wayan Suwena dalam “Fungsi dan Makna Ritual Nyepi di Bali”, semesta makna atau nilai-nilai ini terkonsentrasi pada tiga kerangka dasar: pertama, filsafat agama (tatwa); kedua, kesusilaan agama atau etika; dan ketiga ialah upacara agama atau ritual.
Lebih jauh seturut Suwena, dari sini muncul asumsi kebudayaan Bali yang dijiwai Hinduisme membuat kebudayaan Bali menjadi keramat. Nilai-nilai Hinduisme menjadi bagian dari sumber nilai budaya masyarakat Bali, membuat rupa kebudayaan Bali juga menjadi religius dan unik. Demikianlah kira-kira konstruksi persepsi orang Bali atas kebudayaan mereka sendiri.
Bicara sistem kepercayaan orang Bali sebenarnya juga berarti bicara fenomena kompleks. Ya, bangunan sistem kepercayaan masyarakat Bali dibentuk oleh banyak aspek. Bukan hanya Hinduisme khususnya Siwaisme, melainkan juga Budhisme plus tradisi warisan nenek moyang. Fenomena ini bukan hanya kasat mata dalam sistem kalender Hindu-Bali tetapi juga tercermin dalam ritual Nyepi.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1552181121_antarafoto_upacara_melasti_di_pantai_tanah_lot_040319_nhw_1.jpg" />Upacara Melasti jelang Hari Raya Nyepi di Pantai Tanah Lot, Tabanan, Bali. Sumber foto: Antara Foto
Rangkaian Ritual Nyepi
Ritual Nyepi sebenarnya memiliki sejarah yang panjang. Kitab Negarakertagama yang ditulis oleh Empu Prapanca pada abad ke-14 sudah mencatat perihal adanya ritual pergantian Tahun Saka itu. Di Bali sendiri perayaan Hari Raya Nyepi didasarkan pada petunjuk lontar Sundarigama dan Sanghyang Aji Swamandala.
Menurut orang Bali, dari sisi teologi atau filsafat agama (tatwa) bicara ritual Nyepi dalam makna “catur bratha penyepian” jelas bersifat wajib dilaksanakan umat Hindu. Ritus ini bukan hanya dipandang sebagai tradisi turun-temurun belaka, tapi juga termaknai dalam kitab suci Weda.
Dalam Yajur Weda XIX. 30 dinyatakan: “Pratena Diksam Apnoti, Diksaya Apnoti Daksina. Daksina Sradham Apnoti, Sraddhaya Satyam Apyate”. Artinya, bahwa saat seseorang menjalankan praktik bratha (asketisme), maka ia bisa mencapai Diksa, yaitu penyucian diri. Sementara dengan Diksa, seseorang akan mencapai Daksina, yaitu kehormatan. Dan dengan Daksina seseorang mencapai Sraddha, yaitu keyakinan. Dan melalui Sraddha, orang dapat mencapai kebenaran sejati.
Demikianlah, kira-kira makna sakral dari ritus Nyepi bagi orang Bali. Meminjam perspektif orang Jawa, tujuan esensial dari ritual ini ialah mewujudkan “manunggaling Kawula-Gusti”. Namun makna ini tak mudah ditangkap utuh sekiranya pemahaman kosmoslogis orang Bali juga tidak kita pahami.
Menurut kosmologi orang Bali, alam semesta (makrokosmos) itu terdiri tiga susunan, yakni bhur loka, bhuwah loka, dan swah loka. Secara common sense ketiga alam ini sering disederhanakan sebagai pengejawantahan alam bawah, alam tengah dan alam atas.
Alam pertama, bhur loka ialah dunia manusia, bhuta kala, dan makhluk halus lainnya. Meski demikian, pada derajat tertentu Bhuta Kala selalu dipandang lebih rendah daripada manusia. Bhuta Kala adalah sejenis makhluk halus ciptaan Tuhan yang dapat mengganggu keadaan alam semesta (bhuana agung) maupun diri manusia (bhuana alit).
Alam kedua, bhuah loka adalah dunianya para roh atau leluhur mausia. Sedangkan alam ketiga, swah loka adalah alamnya para Dewa atau Tuhan (Ida Sang Hyang Widi Wasa).
Sementara, bicara rangkaian upacara ritual Nyepi ditemui beberapa tahapan: Melasti, Tawur Kesanga, Nyepi atau Sipeng, dan Ngembak Geni. Keseluruhan ritual ini, dari awal hingga akhir, bisa berlangsung sepanjang 5 hari.
Upacara Melasti atau Mekiis, ada juga yang menyebutnya Melis. Lazimnya dipraktikan tiga atau dua hari sebelum momen ritual Nyepi. Fungsi ritual ini ialah penyucian, baik terhadap masing-masing individu maupun seluruh piranti upacara (pretima) untuk melaksanakan ritual catur brata penyepian di hari Nyepi. Ritual ini biasanya dilakukan di laut, danau, atau sungai juga sumber mata air.
Di sini, ada suatu pandangan bahwa laut, danau, atau sungai merupakan sumber air suci (tirtha amerta) dan dipercaya seluruh kecemaran (sarwa mala) bisa dilebur sekaligus disucikan dengan air itu.
Upacara Tawur Kesanga memiliki beberapa sebutan, antara lain Pangrupukan atau Tawur Agung. Ritual ini diselenggarakan sehari sebelum ritual Nyepi. Tepatnya ialah saat tilem sasih kasanga (bulan mati yang kesembilan) dilakukanlah upacara Bhuta Yadnya. Ritus ini ialah memberikan persembahan (mecaru) pada Bhuta Kala di alam bawah atau bhur loka.
Diadakan saat pergantian tahun menurut perhitungan kalender Hindu Bali. Tujuan upacara ini ialah menjaga keseimbangan alam semesta (bhuana agung) maupun diri manusia (bhuana alit) dari gangguan Bhuta Kala.
Pada momen ini dilakukan apa yang disebut Pangrupukan, yaitu menyebar-nyebar nasi tawur, mengobori-obori rumah dan seluruh pekarangan, menyemburi rumah dan memukul kentongan hingga gaduh. Tahapan ini dilakukan untuk mengusir Bhuta Kala dari lingkungan rumah, pekarangan, dan lingkungan sekitar.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1552181442_antarafoto_festival_ogoh_ogoh_030319_fik_2.jpg" />Festival Ogoh-Ogoh di Semarapura, Klungkung, Bali. Sumber foto: Antara Foto
Pada ritual Tawur Agung inilah, Ogoh-ogoh sebagai bagian kekayaan tradisi lokal Bali dan sekaligus festival seni pun berlangsung. Ogoh-ogoh biasanya berwujud seperti raksasa. Mata melotot dan mulut menganga. Secara simbolis, Ogoh-ogoh ialah manifestasi dari anasir Bhuta Kala dan bhur loka, diarak berkeliling dari satu banjar ke banjar yang lain hingga menjelang matahari terbit.
Setelah itu, Ogoh-ogoh itu dibakar, sebagai simbol Butha Kala sebagai manifestasi dari anasir kegelapan telah dikembalikan di tempat mereka masing-masing. Dan menjelang matahari terbit di ufuk timur, yaitu pada pinanggal apisan Sasih Kadasa (tanggal satu bulan kesepuluh Kalender Hindu-Bali), tibalah puncak Hari Raya Nyepi sesungguhnya. Masyarakat Hindu-Bali merayakan momen itu dalam bentuk catur bratha penyepian.
Ketika melakukan ritual Nyepi, masyarakat Bali belajar perihal mengendalikan diri secara total. Dilaksanakan selama 24 jam. Dimulai pukul 05.00 sampai pukul 05.00 besok pagi harinya.
Dalam catur brata penyepian terihat jelas bagaimana konsep meditasi, yoga atau semadhi, turut mewarnai ritual Nyepi. Ritus ini terdiri: amati geni, ini bermakna tiada api atau penerangan lampu, yang juga berarti manusia selalu tidak boleh mengobarkan api hawa nafsu; amati karya, ini berarti tidak bekerja atau alias berdiam diri dalam arti sesungguhnya dan tekun mensucikan batin; amati lelungan, ini berarti tidak bepergian juga bermakna pikiran tidak mengkhayal ke mana-mana; dan amati lelanguan, ini berarti dilakukan tidak sekadar bermaksud rekreasi atau menghibur diri.
Bagi mereka yang mampu melaksanakan catur bratha penyepian secara utuh, lazimnya juga disertai dengan upawasa (puasa), mona (tidak berbicara) dan jagra (tidak tidur).
Tahapan terakhir ialah Ngembak Geni. Dirayakan pada pinanggal ping kalih Sasih Kadasa, yaitu hari kedua bulan kesepuluh kalender Bali-Hindu. Momen ini mengandung makna berakhirnya catur brata penyepian.
Mirip momen Idul Fitri bagi umat Muslim di Indonesia. Pada hari Ngembak Geni ini masyarakat Hindu akan saling mengunjungi keluarga, kerabat, teman dekat, teman profesi, dan lainnya, untuk saling memaafkan atas segala kesalahan yang telah terjadi sebelumnya.
Jadi, kesimpulannya, Hari Raya Nyepi ialah momen “Tapa-Yadnya”. Sebuah momen refleksi, kontemplasi, asketisme, dan meditasi. Sekalipun merupakan momen perayaan pergantian tahun, namun pergantian Tahun Baru Saka khususnya di Bali-Indonesia ialah sebuah momen sakral. Hari Hening. Bukan hura-hura, pesta, dan aktivitas sejenis itu lainnya.
Menarik dicatat. Melalui ritual Nyepi masyarakat Bali sebenarnya telah turut berperan aktif dalam upaya mengurangi dampak global warming. Bagaimana tidak, sebuah kota internasional telah melakukan 24 jam tanpa listrik melalui ritus amati geni dan amati lelanguan; sehari tanpa asap kendaraan melalui ritus amati karya dan amati lelungan. (W-1)