Subuh itu, Minggu 21 April 2019, pekuburan yang berada tepat di halaman SD Negeri 096132, Jl Girsang Sipanganbolon, Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumut itu semarak dengan sukacita. Orang-orang tidak gentar. Tiada seorang yang berkabung. Mereka berkumpul, mengelilingi masing-masing kubur anggota keluarganya. Dari tempat yang paling sunyi itu, mereka merapalkan doa kepada Tuhan agar jiwa mereka pun turut dibangkitkan kelak, di akhir zaman.
Pada hari biasa Guluan adalah zona sunyi. Pekuburan sering dianggap sebagian orang sebagai tempat angker dan banyak hantunya. Jika bukan karena ada hal mendesak, orang-orang tidak akan mengunjunginya. Namun hari itu, sekitar pukul 4 pagi, para peziarah berdatangan untuk merayakan pesta sukacita bernama buha-buha ijuk. Sebuah ibadah peringatan kebangkitan Yesus Kristus dari kubur.
Tradisi warga Parapat yang melangsungkan ibadah subuh di pekuburan Kristen, persis meniru peristiwa di Alkitab, ketika Maria Magdalena mengetahui kabar kebangkitan Yesus Kristus dari kubur. Ia berlari ke kubur untuk memastikannya. Peristiwa itulah yang kemudian di-kloning oleh warga Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), yakni merayakan paskah langsung di jantungnya pekuburan.
Dalam kepercayaan Nasrani, peringatan kebangkitan itu tidaklah sekadar kebangkitan daging, tetapi sekaligus bukti kemenangan Yesus (korban penyaliban) atas kuasa maut. Dan kematiannya yang fenomenal itu diyakini, sesuai pesan Alkitab, membuka jalan sekaligus menggaransi kebangkitan bagi manusia yang percaya kepada Yesus sebagai juru selamat dunia.
Pengetahuan itu telah dibawa sejak dua ribuan tahun silam dalam proses panjang dan berliku. Oleh sejumlah misionaris atas nama zending, membawa kabar baik (injil) itu juga sampai ke tanah Batak. Tak kurang dari misionaris Ingwer Lodewyik Nommensen, rasul Batak, berhasil meyakinkan leluhur orang Batak atas keyakinan baru itu. Sejak itu, nenek moyang orang Batak perlahan mulai meninggalkan ritual animisme dan dinamisme.
Peran HKBP (Huria Kristen Batak Protestan), sebagaimana kelanjutan misi Nommensen, kemudian membawa perubahan radikal soal keagamaan dan ritual-ritual di tengah masyarakat, termasuk pembaharuan budaya. Tidak serta-merta budaya dan ritual nenek moyang itu diubah, beberapa yang dianggap layak dipertahankan tetap dipertahankan. Salah satunya ritual buha-buha ijuk. Tradisi menziarahi kubur keluarga.
Pernah ada upaya untuk menggeser prosesi buha-buha ijuk ini dari lokasi pekuburan menjadi ibadah di gedung gereja. "Tapi itu tidak bertahan. Orang-orang tidak datang ke gereja. Sehingga kembali dirayakan di kuburan ini," kata seorang peziarah, subuh itu.
Memang di banyak tempat, acara buha-buha ijuk telah dirayakan di gereja saja. Orang-orang boleh berziarah sehari sebelumnya atau siang hari setelah ibadah gerejawi rampung. Namun di "Kota Wisata" Parapat, warga masih mempertahankan perayaan buha-buha ijuk dirayakan di kuburan. Ada bahkan yang berinovasi dengan membuat tradisi baru yakni "mencari telur paskah". Meski telur tidak punya kaitan signifikan dengan paskah.
"Rata-rata warga di sini kan masih kenal akrab semua. Masih saudaralah. Jadi sekalian silaturahim. Gelap-gelap begini, kami enggak takut. Kan pada ramai juga. Ada lilin ada bulan," cetus lelaki muda bermarga Butar-butar, warga setempat.
Pagi itu ia menziarahi kubur ayah ibunya dan kakek neneknya. Ia menuturkan kalau neneknya meninggal saat dia sedang main cubit-cubitan di tempat tidur. Tahu-tahu neneknya sudah meregang nyawa. "Kalau bapak ninggal, pas lagi tidur. Mama karena sakit," imbuhnya.
Berbeda dengan Amang Simanungkalit, ia datang bersama tiga anaknya. Mereka menziarahi kubur kakek mereka. "Bapakku ini dulu tentara. Pangkat terakhirnya Letkol. Pernah bertugas di Medan. Dia tak mengizinkan kami untuk mengikuti jejaknya. Katanya, kami enggak boleh jadi tentara ataupun polisi," bebernya.
Simanungkalit juga pagi itu berencana berangkat ke Siantar untuk menziarahi kubur istrinya yang mati muda. Mati karena sakit penyakit. "Tiap tahun kami ziarah," ungkapnya lagi.
Tak hanya di Kota Parapat, di daerah Toba, di Padangsidempuan, di Pulau Samosir dan di wilayah yang banyak didiami oleh jemaat HKBP, perayaan buha-buha ijuk begitu penting dan masuk dalam agenda gerejawi. Beberapa gereja tradisional bahkan melangsungkan longmarch, pawai obor serta menirukan prosesi jalan salib (via dolorosa).
Di area peristirahatan terakhir itulah, para peziarah duduk terpekur. Secara bersama-sama mereka melantunkan kidung-kidung penderitaan. Saat itu, berkelabatlah peristiwa 2000-an tahun lampau tentang proses via dolorosa, jalan penderitaan. Kristus harus menderita demi perdamaian dan pembebasan dunia dari kutuk dosa. Yesus diadili para imam. Tubuhnya digelandang ke hadapan Pilatus penguasa Romawi untuk menentukan vonis dan hukuman seperti apa yang selayaknya diganjar kepada orang yang mengaku dirinya sebagai Mesias, dan Bapa-Nya lah, penguasa semesta raya yang tiada bandingan.
Yesus Kristus yang dititipkan-Nya pada rahim Bunda Maria, pada saatnya harus dijadikan sebagai kurban penebusan. Dan kebangkitannya kemudian sebagai garansi bagi siapa saja bisa beroleh hidup di Kerajaan Sorga yang memercayai-Nya. Itu sebabnya, bagi kaum Nasrani, Paskah sama pentingnya dengan Natal. Keduanya bahkan saling berkaitan. Karena itu perlu dirayakan. Dan buha-buha ijuk ini, salah satu tradisi di Tanah Batak, khususnya umat Nasrani yang percaya dengan terminologi kebangkitan dari maut dan hidup kekal. (K-DH)