Indonesia.go.id - Riset Genetika dan Antropologi Ubah Sejarah Migrasi Leluhur

Riset Genetika dan Antropologi Ubah Sejarah Migrasi Leluhur

  • Administrator
  • Kamis, 2 Mei 2019 | 10:12 WIB
SAINS
  Sumber foto: dr Herawati Sudoyo

Riset-riset genetika dan kajian antropologi membuka cakrawala baru mengenai sejarah migrasi para leluhur manusia.

Siapa nenek moyang Indonesia? Dari mana asalnya? Kenapa etnik dan budayanya berbeda? Tiga pertanyaan pamungkas itu diajukan dr Herawati Sudoyo, ahli genetika dari Biomolekular Eijkman Institut, saat membuka paparannya pada seminar bertajuk "Asal Usul Genetika Nenek Moyang Bangsa Indonesia" yang digelar di Digital Library, Universitas Negeri Medan, Sabtu (24/4/2019).

Pertanyaan itu sukses memantik ratusan peserta seminar untuk berpikir. Tanpa menunggu lama, pengajar Biomolekular di Universitas Indonesia itu menjawabnya dengan pertanyaan lain: "Kita mulai dengan pertanyaan: siapakah saya?"

Herawati adalah perempuan kelahiran Kota Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Pada abad 12 pernah berdiri sebuah kerajaan besar di sana bernama Kerajaan Kediri. Sedangkan ayahnya asli Purwokerto, Jawa Tengah. Dulunya, Purwokerto menjadi pusat Kerajaan Mataram Kuno. Jika memakai penjelasan singkat itu, asumsinya, nenek moyang Herawati adalah dari pulau Jawa.

Rupanya hasil tes DNA berbicara lain: "Herawati, moyangmu dari garis ibu adalah seorang perempuan yang dapat ditelusuri hidup di Afrika sekitar 150.000 tahun yang lalu. Haplotip maternal menggambarkan cerita pengembaraan mereka...."

Tes DNA membabar, saripati genetik Herawati mengandung Haplogrup B7. Tipe ini bersumber dari perempuan yang pernah hidup 57 ribu tahun lampau. Haplogrup B7 ini jarang ditemukan di dunia. Sampai kini, B7 ditemukan paling banyak di daerah Meghalaya, India utara bagian timur laut, daerah di dekat Puncak Himalaya. "Moyang saya, Haplogrup B7 bersumber dari suku Khasi di Meghalaya, negeri di atas awan. Luar biasa kan?" tandasnya.

Selain itu, uji DNA bercerita, komposisi genetik Herawati terdiri dari 96 persen bersumber dari Asia Timur dengan native (tutur bahasa) American (suku Indian), 2 persen Asia Barat, sisanya Cina. Komposisi genetiknya memiliki 232 motif neanderthal. "Saya tanya kepada orangtua saya, apakah ada keluarga kita yang kawin dengan orang Cina, mereka tidak tahu," sambung periset yang pernah mengidentifikasi DNA gembong teroris, Nurdin M Top.

Ternyata dengan menggunakan uji DNA pertanyaan itu bisa terjawab. Uji DNA bisa mendeteksi "unsur Cina" itu masuk kapan di dalam kromosom nenek moyangnya, yakni sekitar tahun 1800. Uji DNA mampu bercerita secara gamblang dan saintifik tentang siapa Herawati yang sebenarnya dan siapa nenek moyangnya. "Nah dengan mempelajari genetika dan antropologi, saya bisa melacak siapa saya," timpalnya.

Herawati juga bercerita, dengan riset genetika, ia bisa mempelajari struktur populasi di Indonesia beserta migrasi leluhur. Dalam slide presentasinya, penerima Habibie Award 2008 itu juga menunjukkan, kawasan Indonesia sudah dihuni oleh leluhur yang datang sejak 60 ribu tahun lalu. Temuan ini jauh lebih lama dari teori-teori soal usang yang kerap dijejali dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah yang menyebut 4000 tahun lampau. Tidak hanya memakai metode genetika, Herawati juga menganalisis sebaran bahasa, budaya dan temuan-temuan arkeologi untuk menguatkan hasil temuannya.

Penerima Australian Alumni Award of Scientific and Research Inovation 2008 itu menunjukkan hasil riset genetiknya bahwa asal-usul manusia di bumi diketahui berasal dari Afrika, yang menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia, melalui daratan Cina hingga menuju Australia. Ia mengungkap, sudah ada sekitar 3 ribuan orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas menjadi sampel analisa DNA yang diinisiasi oleh lembaga Eijkman.

Herawati menyebut, genetik orang Indonesia sangat beragam, berkat pembauran dari beragam genetika. Pembauran gen itu menjadi jawaban mengapa kedekatan geografis tidak serta-merta menghasilkan kedekatan genetik suatu etnis. Ia mencontohkan genetik orang di timur Indonesia ternyata lebih dekat dengan orang-orang di kawasan Samudera Pasifik, sedangkan orang di barat Indonesia, lebih dekat ke kawasan Asia Tenggara. Begitu pula genetik orang Nias dan Mentawai lebih dekat dengan Formosa (suku asli Taiwan). Meski secara geografis Nias dan Mentawai dekat dengan orang Sumatra, sama sekali tidak ada hubungan secara DNA. Malahan Orang Nias justru bertalian darah dengan penduduk Taiwan, yang terpaut jarak 3.500 kilometer ke arah timur laut.

Begitu juga Orang Batak Toba dan Batak Karo (termasuk juga orang Melayu) ternyata punya pertalian darah dengan orang India. Sangat dimungkinkan jika terus diriset akan terungkap seperti apa kerekatan pertalian darah antara Batak (dan Melayu) dengan India ini.

Menurut Herawati, sains genetik membuka cakrawala berpikir kita soal migrasi leluhur Indonesia dan sebarannya. Temuan riset genetika bisa dimanfaatkan untuk memperkaya dan menopang pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah, khususnya bagi generasi millenial yang punya rasa penasaran tinggi.

Hasil riset arkeologi juga menunjukkan, migrasi manusia pertama kali terjadi di Sumatra kira-kira 12.000 hingga 8.400 tahun lampau. Dan migrasi pertama ditemukan di Nias. Identifikasi dilakukan pada tulang kaki gajah, batu, dan tengkorak manusia. Sedangkan migrasi kedua terjadi di Gayo sekitar 4000 tahun lalu. Sedangkan migrasi gelombang ketiga diperkirakan terjadi 3000 tahun lalu. Dan gelombang keempat terjadi sekitar 1000 tahun lalu hingga 1 Masehi ketika budaya dongsong (perunggu) berkembang pesat di Asia Tenggara. "Paling sedikit telah terjadi lima migrasi di Sumatra," papar Ketua Balai Arkeologi Sumatera Utara Dr Ketut Wiradnyana.

Dengan temuan riset genetik dan hasil penggalian arkeologi terbaru, menurut Ketua Jurusan Sejarah Unimed Lukita Ningsih, guru-guru sejarah harus belajar. Sebab generasi millenial tidak lagi semata belajar dari teks-teks kuno. Tetapi mereka juga belajar dari hasil penelitian, uji laboratorium, berbagai kajian, uji forensik, kedokteran.

"Semua itu musti terintegrasi dalam pembelajaran sejarah. Supaya terjadi perubahan dalam pembelajaran di era revolusi 4.0, sehingga proses belajar-mengajar di kelas tidak monoton, tapi dinamis dan kaya wawasan," imbuhnya.

Berdasarkan riset genetik dan arkeologi itu pula, Dr Ichwan Azhari, Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan, menandaskan bahwa dengan sendirinya teori Deutro dan Proto Melayu yang hingga kini masih diajarkan di sekolah-sekolah kita telah runtuh. Karena itu ia mengajak para guru sejarah maupun mahasiswa ilmu sejarah agar jangan lagi mengajarkan bahwa nenek moyang kita berasal dari Hindia pada 4000 tahun lalu.

"Kolaborasi sains genetika, arkeologi, dan biologi serta ilmu lainnya efektif menopang ilmu sejarah," pungkasnya. (K-DH)