Dalam dunia perburuhan, ada banyak istilah yang mungkin asing bagi telinga awam. Salah satunya adalah mogok kerja.
Banyak definisi tentang mogok kerja. Kamus besar bahasa Indonesia mencatat, mogok kerja dapat didefinisikan sebagai: “Mogok dengan menghentikan kegiatan, pekerjaan karena adanya tuntutan yang tidak dipenuhi oleh pihak perusahaan atau tempat bekerja.”
Secara sederhana mogok ialah, aksi yang dilakukan oleh buruh secara bersama-sama dan terorganisir untuk menghentikan proses kegiatan produksi. Mogok adalah senjata kaum buruh untuk melakukan protes. Mogok menjadi alat penyeimbang supaya kaum buruh mempunyai kekuatan yang sama ketika berhadap-hadapan dengan kekuatan pengusaha sebagai pemilik alat-alat produksi.
Sejarah mencatat, mogok mulai digunakan sebagai alat perjuangan kelas buruh sejak era Revolusi Industri, di mana buruh menjadi faktor penting dalam kegiatan industri manufaktur dan pertambangan.
Namun demikian di awal era Revolusi Industri itu, mogok masih dipandang sebagai tindakan kriminal dan persekongkolan jahat sehingga dapat diancam ketentuan pidana. Lebih dari itu, karena dianggap berdampak merugikan, bukan saja bagi pemilik modal tapi juga masyarakat luas, mogok bisa dikenai ancaman pidana dan sekaligus perdata.
Bahkan di Chicago Amerika pada 1886, terkait kasus pemogokan Haymarket yang kini dikenang oleh kaum buruh sebagai “May Day,” sejarah mencatat adanya tindakan represif yang brutal dan berujung pada terjadinya kerusuhan. Pascapemogokan yang menuntut “delapan jam sehari” itu, masih tercatat para pemimpin buruhnya dijatuhi hukuman mati.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1556989085_antarafoto_aksi_hari_buruh_jakarta_010519_wpa_5.jpg" />Peringatan Hari Buruh Internasional di kawasan Jalan MH Thamrin Jakarta, Rabu (1/5/2019). Sumber foto: Antara Foto
Dalam kerangka memperingati para martir Haymarket itulah, pada Kongres Internasional Kedua di Paris 1889, 1 Mei ditetapkan sebagai hari libur buruh. Bendera merah dijadikan simbol untuk mengenang perjuangan kelas pekerja yang menjadi martir saat memperjuangkan hak-haknya.
Itu semua tak sia-sia. Di sepanjang akhir abad ke-19 hingga paruh awal abad ke-20 sejarah juga mencatat, konsep mogok yang dipandang sebagai tindakan kriminal dan diancam ketentuan pidana mulai ditinggalkan. Mayoritas negara Barat mulai melegalkan mogok kerja.
Inggris, misalnya, tempat lahirnya Revolusi Industri ialah negara pertama yang meninggalkan konsep mogok sebagai tindakan kriminal. Disahkannya Trade Union Act pada 1871 menandai fase baru, di mana serikat buruh memiliki kebebasan untuk melakukan mogok (freedom to strike). Serikat buruh juga memiliki kekebalan hukum (immunity) saat mengkoordinasikan pemogokan, termasuk terhadap tuntutan ganti rugi. Sekalipun demikian mogok masih belum ditempatkan sebagai hak (right to strike).
Demikian juga di Belanda pada 1872, sifat pidana dari mogok dihapuskan. Sejak itu pula ketentuan khusus yang mengatur dan melarang mogok tidak ada. Kasus sengketa perburuhan diselesaikan di pengadilan.
Tak kecuali Jerman pada era Republik Weimar, 1918 – 1933. Adalah Hugo Sinzheimer, seorang ahli hukum, yang mengintroduksi adanya kesepakatan kontrak kerja bersama antara buruh dan pemilik modal, serta mendorong proses legalisasinya di bawah undang-undang.
Dari tokoh ini pulalah, konsep dewan kerja (works council) muncul di Jerman dan kemudian menyebar ke banyak negara di Eropa pada abad ke-20. Asuransi atau jaminan sosial juga sudah berkembang di Jerman sejak akhir abad ke-19 dan menyebar ke seluruh Eropa sejak awal abad ke-20.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1556989908_antarafoto_aksi_hari_buruh_internasional_jakarta_010519_rn_9.jpg" />Peringatan Hari Buruh Internasional di depan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2019). Sumber foto: Antara Foto
Contoh lain yang tak kalah pentingnya ialah Amerika. Satu dasawarsa lebih sebelum Declaration of Human Right lahir pada 1935, lahirlah Wagner Act. Dalam regulasi ini mogok dikonsepsikan menjadi hak (right to strike). Melalui Wagner Act, Paman Sam tercatat sebagai negara pertama yang mengakui mogok sebagai hak. Bahkan Wagner Act dianalogikan sebagai Magna Charta bagi buruh di Amerika.
Lima belasan tahun sebelum lahirnya Wagner Act itu, pada 11 April 1919 International Labour Organization (ILO) lahir sebagai bagian dari Perjanjian Versailes, satu tahun pasca-Perang Dunia I. Organisasi yang pada 2019 itu memasuki usia 100 tahun didirikan untuk tujuan memperbaiki kondisi para pekerja sebagai upaya mewujudkan keadilan sosial di seluruh dunia.
Di awal kehadirannya, ILO terdiri dari 15 anggota dan 9 negara saja. Sejalan dengan pendirian PBB pasca-Perang Dunia II yaitu pada 1946, organisasi ini pun menjadi bagian dari PBB dan membidangi urusan perburuhan. Berkantor pusat di Jenewa, ILO kini memiliki 187 negara anggota. Indonesia telah bergabung dengan ILO sejak 19 Juni 1950.
Menarik dicatat di sini, struktur organisasi ILO nisbi berbeda dengan organisasi-organisasi lain di bawah payung PBB, seperti UNESCO, FAO, UNCTAD, dan lainnya. Struktur organisasi ILO berbentuk tripartit, yaitu menempatkan posisi pemerintah, organisasi pengusaha, dan serikat buruh pada kedudukan setara dalam menentukan program dan proses pengambilan kebijakan.
Penting dicatat di sini. Meskipun tak pernah eksplisit disebutkan dalam kontitusi pendirian ILO maupun Deklarasi Philadephia, hak mogok secara implisit telah tertuang dalam Konvensi ILO No 87 Tahun 1948 tentang Hak Mendirikan dan Menjadi Anggota Serikat Buruh dan Konvensi ILO No 98 Tahun 1949 tentang Hak Berserikat dan Berunding Secara Kolektif.
Dari sudut pandang ILO, hak mogok tidak dapat dipisahkan dari kebebasan kaum buruh untuk membentuk atau menjadi anggota serikat buruh, yang memiliki kaitan erat dengan hak untuk berunding secara kolektif. Dalam perjalanannya, ILO terus menambah sejumlah konvensi dan mengembangkan International Labour Code yang mencakup semua persoalan yang terkait dengan isu perburuhan.
Kebijakan Reformasi Perburuhan
Sepanjang Orde Baru, bicara kebijakan perburuhan, khususnya terkait isu hak mogok, jelas iklimnya tidak kondusif. Konsep Hubungan Industrial Pancasila dirumuskan Orde Baru secara otoriterianisme. Kendati Indonesia telah menerbitkan UU No 18 Tahun 1956 tentang Ratifikasi Konvensi ILO No 98 Tahun 1949 mengenai Pelaksanaan Prinsip-prinsip dari Hak untuk Berorganisasi dan Berunding Bersama, bisa dikata jauh panggang dari api.
Kaum buruh dikooptasi dalam wadah tunggal dan secara korporatis dibentuk oleh negara, yaitu Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Bicara politik pengupahan, tak terkecuali, juga kasat mata ditetapkan sepihak dan tanpa melibatkan kaum buruh.
Bagi kacamata Orde Baru, sekalipun tidak secara legal formal mogok dilarang, melalui Surat Keputusan Bakorstanas No 02/Satnas/XII/1990 dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 342/Men/1986, yang berhak memediasi jika terjadi sengketa perburuhan ialah militer. Walhasil, mendorong aksi mogok sering berbuah intimidasi. Sering terjadi di lapangan militer menjadi piranti utama untuk menyelesaikan aksi pemogokan buruh dengan represi.
https://indonesia.go.id/assets/img/assets/1556990203_antarafoto_peringatan_hari_buruh_di_surabaya_010519_ma_1.jpg" />Peringatan Hari Buruh Internasional di kawasan Tugu Pahlawan, Surabaya, Jawa Timur, Rabu (1/5/2019). Sumber foto: Antara Foto
Pasc-Orde Baru, agenda Reformasi 1998 tentu menjadi berkah bagi kebijakan perburuhan. Menjelang Konferensi ILO Juni 1998, ini berarti satu dua bulan setelah lengsernya Presiden Soeharto, pemerintah telah mengeluarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja No 5 Tahun 1998 yang memungkinkan berdirinya serikat pekerja di luar SPSI.
Upaya reformasi hukum perburuan terus bergulir. Setidaknya hingga 2004, negeri ini telah menyelesaikan isu-isu utama dari agenda reformasi hukum. Pada tahun itu, UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industri, disahkan. Regulasi ini merupakan satu dari tiga regulasi yang memayungi persoalan perburuhan. Dua lainnya ialah UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Bukan hanya itu. Indonesia ialah negara pertama di Asia dan negara kelima di dunia yang notabene tercatat telah meratifikasi seluruh konvensi dasar dari ILO. Sejak Indonesia menjadi anggota ILO pada 1950, setidaknya hingga kini telah meratifikasi 20 konvensi.
Di masa Presiden BJ Habibie (1998 – 1999), bermaksud menguatkan Keputusan Menteri No 5 Tahun 1998 di atas, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No 83 Tahun 1998 yang mengesahkan Konvensi ILO No 87 Tahun 1948 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi. Pun di masa Presiden Ketiga ini, UU No 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja juga disahkan.
Presiden Abdurrahman Wahid (1999 – 2001) pun dinilai berhasil memperbaiki iklim demokrasi, termasuk di sektor perburuhan. Ini tercermin disahkannya UU No 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
Sedangkan di masa Presiden Megawati (2001 – 2004) juga dihasilkan peraturan yang sangat fundamental, yaitu UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Regulasi ini menggantikan 15 peraturan ketenagakerjaan, sehingga UU ini jadi payung bagi peraturan lainnya.
Masih di era Presiden Kelima, UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, disahkan. Tak kalah pentingnya ialah disahkannya UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, sebagai upaya mengadopsi sistem asuransi sosial sebagaimana yang telah dipraktikan di negara Jerman jauh hari.
Bicara upaya reformasi di masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, patut dicatat beberapa capaian penting, antara lain, UU No 1 Tahun 2008 tentang Pengesahan Konvensi ILO No 185 mengenai Dokumen Identitas Pelaut Tahun 1958, juga dikeluarkan Keputusan Presiden No 107 Tahun 2004 tentang Dewan Pengupahan, dan tak kalah pentingnya ialah penetapan 1 Mei “May Day” sebagai Hari Libur dengan Keputusan Presiden No 24 Tahun 2013.
Terakhir, era Presiden Joko Widodo (2014 – 2019). Beberapa capaian reformasi hukum perburuhan juga pantas disebut. Pemerintah Jokowi telah mengeluarkan Peraturan Presiden No 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Jaminan ini tergabung dalam program BPJS ketenagakerjaan, yang meliputi antara lain jaminan kecelakaan kerja, jaminan kematian, jaminan hari tua, dan jaminan pemeliharaan kesehatan.
Selain itu, juga ada Kebijakan penetapan UMP dalam Peraturan Pemerintah No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Kebijakan ini mendapat sorotan tajam dari serikat pekerja dan selalu jadi salah satu poin utama kritik. Presiden Jokowi menyetujui tuntutan buruh terkait revisi Peraturan Pemerintah tersebut.
Namun di sisi lain IMF justru memuji kebijakan ini. Menurut IMF, PP No 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan ini berdampak positif pada terjadinya penyerapan tenaga kerja muda dan tidak berpendidikan.
Kembali pada isu hak mogok. Sejauh mana Indonesia pasca-Orde Baru serius mengadopsi hak mogok? Mari disimak definisi tentang mogok kerja dalam regulasi UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Pasal 1 Angka 23 UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mendefinisikan mogok sebagai: “Mogok kerja adalah tindakan pekerja yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.”
Pasal 137 disebutkan: “Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.”
Jika menyimak bunyi Pasal 1 Angka 23 dan Pasal 137, sangat jelas bahwa mogok adalah hak dasar dari buruh (right to strike).
Sudah tentu kebijakan mengadopsi hak mogok juga memiliki batasan-batasan yang membuat aksi pemogokan dapat dikategorisasikan sebagai sah atau tidak sah. Dalam konteks pengaturan teknis, pemerintah telah membuat aturan main yang diatur dalam Kepmenakertrans No. 232 Tahun 2003 tentang Akibat Hukum Mogok Kerja Tidak Sah. Mogok kerja yang dilakukan secara tidak sah sebagaimana petunjuk teknis dalam regulasi itu akan dikualifikasikan sebagai ‘mangkir.’ (W-1)