Masih hangat dalam ingatan publik Indonesia saat terjadi debat tentang penemuan sub-fosil "manusia kerdil" (hobbit) dari sebuah goa yang ada di Flores, Nusa Tenggara Timur pada pertengahan 2000-an. Pada waktu itu Profesor Teuku Jacob dari Universitas Gadjah Mada melontarkan kritik terhadap klaim tentang penemuan spesies manusia purba yang baru.
Profesor yang dikenal sebagai Bapak Paleo-Antropologi Indonesia ini berpendapat bahwa fosil tengkorak yang ditemukan itu bukan manusia purba. Pendapatnya dikuatkan dengan pengamatan terhadap populasi di sekitar lokasi penemuan yang memperlihatkan adanya penduduk yang mengalami gangguan pertumbuhan atau mikrosefali. Adanya fakta bahwa kerangka-kerangka itu belum membatu (fossilized) semakin menguatkan kritik yang dilontarkan. Situs penggalian kerangka itu bahkan sempat ditutup untuk beberapa lama.
Pada akhirnya, sejarah membuktikan sebaliknya. Temuan di Liang Bua itu adalah bagian dari apa yang disebut sebagai rangkaian sub-fosil. Temuan berbagai kerangka purba itu masing-masing berasal dari lapisan tanah yang berbeda-beda. Ada kerangka yang telah menjadi fosil dan ada yang belum menjadi fosil. Umur temuan itu pun menjadi berbeda-beda. Ada yang diperkirakan berasal dari 94.000 tahun yang lalu dan ada yang berasal dari 13.000 tahun yang lalu.
Penelitan lebih lanjut pada September 2007 menemukan petunjuk baru yang menguatkan temuan itu sebagai spesies manusa purba yang baru. Pengamatan terhadap tulang pergelangan tangan yang ditemukan ternyata memperlihatkan ciri-ciri yang berbeda dari tulang Homo Sapiens maupun Homo Neandertal.
Dari Catatan Fossil Ke Catatan Genetik
Kontroversi Homo Floresiensis dalam riwayat di atas memperlihatkan berbagai macam masalah yang dihadapi dalam penyelidikan tentang leluhur manusia berdasarkan Paleo Antropologi atau temuan fosil. Paleo Antropologi yang mendasarkan penyelidikannya pada benda-benda organik yang berasal dari zaman purba memiliki berbagai kelemahan dalam penerapannya.
Bias atau kelemahan yang dimaksud bisa dilihat dalam proses perubahan menjadi fosil itu sendiri. Suatu benda organik hanya bisa menjadi fosil jika berada dalam kondisi yang sangat spesial. Biasanya benda itu harus terbenam dalam lumpur, pasir, atau debu dalam waktu yang sangat lama. Selain itu harus ada tekanan yang cukup untuk membuat lapisan mineral yang ada di sekitarnya terserap dan mengubahnya menjadi fosil atau membatu.
Oleh karena itu, hanya binatang-binatang yang besar yang paling mungkin untuk menjadi fosil. Binatang-binatang kecil atau berbentuk lunak menjadi sangat langka. Kelemahan yang lain, terdapat dalam proses penentuan umur fosil. Proses ini mendasarkan diri pada perhitungan umur lapisan tanah tempat fosil berasal. Kontaminasi berbagai mineral dan bahan-bahan lain yang berbeda-beda umurnya bisa membawa kekacauan dalam perhitungan selanjutnya.
Para peneliti evolusi mahluk hidup sudah lama mengetahui kelemahan mendasar catatan fosil. Darwin dan Wallace menyadari adanya suatu proses dalam seleksi alam yang menentukan kemampuan bertahan hidup mahluk hidup. Tetapi mereka berdua belum bisa menjelaskannya.
Yang mampu melihat itu adalah Gregor Mendel, seorang biarawan Agustinian dari Austria. Mendel yang belajar pemuliaan tanaman melihat bahwa sifat-sifat atau karakteristik mahluk hidup diwariskan ke keturunannya berdasarkan faktor-faktor tertentu. Karena Mendel belum bisa membuktikan faktor-faktor apa yang dia maksud, untuk beberapa lama teori Mendel diabaikan.
Baru pada awal abad 20, penelitian William Bateson mampu menemukan kembali teori Mendel. Percobaan-percobaan yang dilakukan Bateson mampu mengukuhkan istilah genetik sebagai proses yang terjadi saat mahluk hidup mewariskan sebagian karakter induk pada keturunannya. Saat itu antara teori Darwin dengan genetika Mendelian belum menemukan titik temu.
Memasuki tahun 30-an tiga orang peneliti biologi, dua dari Inggris dan satu dari Amerika, menulis hasil penelitian mereka terhadap berbagai populasi organisme dalam kacamata kuantitatif. Yang pertama bernama Richard Fisher. Selain peneliti biologi, dia adalah seorang ahli statistik. Dengan kacamata statistiknya dia mengamati berbagai variasi genetis yang ada dalam populasi. Hasilnya dia bisa melihat ada proses seleksi alam yang ada dalam populasi genetis.
Berikutnya JBS Haldane, yang juga berasal dari Inggris, yang mengembangkan lebih jauh penelitian Fisher dan menggunakan kacamata statistik untuk melihat berbagai fenomena yang terjadi di luar laboratorium. Peneliti ketiga bernama Sewall Wright dari Amerika Serikat. Kemampuannya dalam bidang pembiakan hewan membuat dia bisa menerapkan "model" seleksi alam dalam populasi yang terisolisasi.
Karya ketiga peneliti di ataslah yang bisa mempersatukan Teori Evolusi Darwin dengan Teori Genetika Mendel. Gabungan keduanya memungkinkan peneliti untuk menerapkan prinsip-prinsip teori evolusi di dalam populasi organisme. Inilah yang selanjutnya dinamakan Genetika Populasi.
Perkembangan selanjutnya peneltian biologi evolusioner dan genetika memasuki tahapan yang lebih terapan. Dari Linus Pauling hingga Frederick Sanger semuanya meletakkan dasar pada apa yang kemudian disebut sebagai disiplin ilmu Biologi Molekular. Ilmu ini adalah ilmu yang meneliti unit terkecil mahluk hidup untuk membongkar kode-kode yang menentukan karakteristiknya.
Dari Laboratorium Penyakit Hingga Melacak Leluhur Manusia
Apa hubungan antara leluhur manusia, perkembangan teori evolusi genetik, dan Nusantara? Ketiga hal itu adalah bidang-bidang yang saat ini sedang menjadi kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Laboratorium Biologi Molekular Eijkman.
Laboratorium Eijkman, mulai dikenal masyarakat luas saat berhasil dalam waktu singkat melacak jejak pelaku pemboman Kedutaan Australia pada 2004. Berdasarkan sampel-sampel yang didapatkan dari penyelidik kepolisian, Laboratorium Eijkman, dipimpin peneliti utamanya yakni Herawati Sudoyo, berhasil mengungkap identitas pelaku pemboman kurang dari dua minggu.
Laboratorium Eijkman yang sebelumnya lebih dikenal sebagai laboratorium yang meneliti berbagai penyakit endemik di wilayah tropis, ternyata mampu menangani persoalan-persoalan yang lebih praktis. Kemampuan forensik yang kuat dengan analisis mikrobiologi yang kompleks membuat Laboratorium Eijkman saat ini telah merambah jangkauannya ke tingkat yang lebih luas lagi. Kontribusi terhadap studi asal-usul manusia adalah hal yang saat ini sedang menjadi perhatian Eijkman Institute.
Jejak penelitian genetika memulai pijakan penting di awal 90-an, saat pembacaan genome manusia dimulai, data-data genetik manusia dari berbagai penjuru dunia sangat dibutuhkan. Sayangnya sampai pembacaan genome selesai pada 2003, data-data genom tentang manusia Indonesia tidak cukup mendukung untuk dibaca lebih lanjut. Akibatnya para peneliti dunia saat meneliti data pengembaraan manusia ketika keluar dari Eurasia langsung meloncat ke Australia.
Herawati Sudoyo dari Eijkman menyadari keterbatasan data tentang manusia Indonesia yang ada dalam bank data genetik yang tersedia. Karenanya, dalam beberapa tahun terakhir Lembaga Eijkman memusatkan perhatian pada penelitian tentang leluhur manusia Indonesia atau Nusantara.
Keragaman Orang Nusantara
Pada saat ini Eijkman telah mengumpulkan dan menganalisis kurang lebh 6.000 sampel DNA dari berbagai lokasi di Indonesia. Lebih dari 37.000 individu dari 35 entis diuji DNA mitokondrianya. Selain itu hampir 3.000 individu juga diuji untuk kromosom Y. Secara sederhana penarikan sampel itu untuk melihat riwayat jejak DNA manusia Indonesia dari garis ibu dan garis ayah.
Penelusuran dari DNA mitokondria memperlihatkan beberapa kelompok besar penyebaran DNA orang Indonesia. Kelompok atau Haplogoup pertama ada di bagian barat Indonesia. Kelompok itu diberi nama M, F, Y2, dan B. Kelompok ini adalah sebagian besar penutur bahasa Austronesia, yang dituturkan di Asia Tenggara, Madagaskar, dan Kepulauan Pasifik. Kelompok kedua berasal dari Indonesia Timur. Namanya kelompok Q dan P. Kelompok ini unik karena hanya dimiliki orang Papua dan Nusa Tenggara saja. Mereka adalah penutur bahasa non-Austronesia. Kelompok ketiga cukup unik, yakni haplogroup Mentawai dan Nias yang ternyata membentuk kelompok sendiri bersama dengan suku asli Formossa yang ada di Kepulauan Filipina hingga Taiwan. Mereka ada juga penutur bahasa Austronesia, tetapi membuat haplogroup sendiri.
Gabungan antara penelitian genetika dengan sejarah, antropologi, arkeologi, dan linguistik hingga saat ini telah mampu memberikan gambaran yang lebih kuat tentang asal-usul leluhur orang Nusantara. Jejak DNA memperlihatkan bahwa nenek moyang orang Indonesia atau orang Nusantara datang secara bergelombang.
Yang paling tua terlacak sekitar 72.000 tahun yang lalu. Pada masa inilah kedatangan leluhur manusia, atau Homo Sapiens dari Afrika, karena berbagai sebab, telah sampai ke wilayah semenanjung Arabia di selatan menuju ke anak benua India.
Sekitar 50.000 tahun yang lalu beberapa kelompok telah sampai ke wilayah yang sekarang menjadi kepulauan Nusantara. Saat itu yang ada adalah Paparan Sunda bukan Kepulauan Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan, dan Jawa masih satu daratan. Keturunan kelompok ini sebagian menyebar menyeberangi selat Wallacea ke Kepulauan Sulawesi, menyeberangi Selat Sahul untuk menyeberang ke Benua Australia. Dan sebagian lagi setelah melewati Kepulauan Sulawesi menyeberang ke kepulauan Maluku, ke Kepala Burung Papua, hingga menyeberang hingga kepulauan-kepulauan pasifik.
Penemuan kerangka berumur 34.000 hingga 46.000 tahun di Sarawak adalah salah satu bukti penguat migrasi yang pertama di atas. Belakangan penemuan gambar-gambar prasejarah, di gua-gua Maros, Sulawesi Selatan, juga diperkirakan berumur sekitar 40.000 tahun.
Migrasi yang kedua adalah migrasi yang sering disebut sebagai migrasi asal-usul sebagian besar orang Nusantara. Migrasi dari Asia Daratan bagian Selatan yang berlangsung sekitar 30.000 tahun yang lalu. Migrasi berikutnya terjadi pada sekitar 5.000 hingga 6.000 tahun yang lalu saat pendatang dari Formossa sampai di Kepulauan Nusantara.
Migrasi berikutnya bisa dibilang sudah memasuki masa ditulisnya sejarah. Periode antara abad ketiga sampai ketiga belas adalah migrasi dari wilayah sekitar Samudera Hindia ke Kepulauan Nusantara. Perpindahan inilah yang paling banyak memunculkan haplogrup dengan ciri Asia Selatan. Jejaknya terlihat dalam frekuensi rendah dari orang-orang yang ada di Bali, Jawa, Borneo, dan Sumatra. Pada masa inilah terjadi pula penyebaran agama Islam yang saat ini menjadi agama mayoritas. Uniknya kemunculan haplogrup Asia Selatan ini juga memunculkan hapogroup O-M7 yang memberikan ciri asal dari garis Tiongkok. (Y-1)