Indonesia.go.id - Manganjab, Tradisi Memohon Kesuburan Tanah

Manganjab, Tradisi Memohon Kesuburan Tanah

  • Administrator
  • Selasa, 28 Mei 2019 | 17:00 WIB
RITUAL ADAT
  Tradisi Manganjab. Sumber foto: K/Gunawan Hutajulu

Sesungguhnya, ritual Manganjab tetap relevan sepanjang zaman karena ia berupa doa. Tradisi ini juga efektif membangkitkan semangat generasi muda untuk mencintai sejarah bangsa Batak dan budaya yang dicetus oleh leluhur.

Ratusan tahun silam, leluhur Batak berkeyakinan ada kekuatan lain yang mengendalikan alam. Oleh karena itu, menjaga kelestarian alam menjadi keniscayaan. Sebagai syukur atas hasil panen yang melimpah, sekaligus permohonan kesuburan tanah dan permohonan tolak bala, masyarakat memanjatkan doa kepada Mula Jadi Nabolon (Sang Khalik Langit dan Bumi). Tradisi ini disebut Manganjab.

Tradisi ini masih awet dan terus dilestarikan oleh masyarakat Desa Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun. Mereka mempertahankan dan melestarikan budaya Batak Toba ini sebagai bentuk penyembahan kepada Sang Pencipta sekaligus penghormatan kepada alam.

Tradisi Manganjab dilakoni masyarakat adat keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas. Ritual Manganjab berkaitan erat dengan dinamika pertanian di Nagori (Desa) Sihaporas Simalungun.

Ompu Mamontang Laut bermarga Ambarita. Ia adalah generasi kedelapan dari garis Siraja Batak. Dua desa di Sihaporas yang konsisten menjalankan ritual ini adalah Lumban Ambarita Sihaporas (33 keluarga) dan Sihaporas Aek Batu (40 keluarga). Rata-rata, penduduk kedua desa bermata pencaharian sebagai petani. Mereka menanam padi, jagung, jahe, dan cabai. Itu sebabnya, kehidupan mereka bergantung erat dengan kelestarian alam.

Pelaksanaan ritual ini ditentukan berdasarkan kalender Batak di hari Sihori Purasa dan disesuaikan pada Mei dalam kalender Masehi. Ritual Manganjab diawali dengan persiapan hingga prosesi ke area tempat ritual yang didominasi dengan kegiatan martonggo (berdoa). Masyarakat mengurbankan seekor kambing bersama persembahan lainnya. Kurban dan persembahan itu ditujukan kepada Mulajadi Nabolon (Tuhan Pencipta Langit dan Bumi), Raja Uti, dan Sisingamangaraja.

Setelah ritual berkurban selesai, dilanjutkan dengan acara santap bersama. Mereka menyantap nasi, sitompion, dan itak (beras yang tumbuk dengan campurannya). Kemudian diakhiri dengan pembagian sitompion ke masing-masing penggarap tanah untuk dipersembahkan ke lahan pertanian masing-masing dengan materi-materi lainnya yang tercampur sebagai tawar.

Budayawan Batak Thompson Hs menyebut, tawar ini menjadi “ruma tondi” untuk semua tanaman yang akan berhasil untuk dipanen kemudian. Ritual dilengkapi dengan masa rehat (robu) seminggu sebelum dan sesudah hari pelaksanaannya.

Thompson menambahkan, pusaka warisan Ompu Mamontang Laut seperti piso tumbuk lada dan pinggan pasu digunakan dalam kaitan ritual. Satu bentuk makanan mentah yang disebut bogar dihamparkan di sebuah tampi yang terletak dekat meja ritual (langgatan) yang dihiasi dengan janur kuning (maremare).

Kurban kambing setelah ritual dibagikan kepada induk marga Isumbaon. "Sebaliknya suatu saat kalau garis Isumbaon melakukan ritual yang serupa, kurban dibagikan kepada induk marga-marga Ilontungon. Prinsip itu dikenal dengan sebutan sitariparon atau yang diseberangkan," terangnya.

Penatua adat bernama Oppung Moris Ambarita mengatakan, ritual Manganjab ini mungkin sudah asing bagi generasi milenial. Namun sesungguhnya, ritual Manganjab tetap relevan sepanjang zaman karena ia berupa doa. Tradisi ini juga efektif membangkitkan semangat generasi muda untuk mencintai sejarah bangsa Batak dan budaya yang dicetus oleh leluhur.

Tradisi Manganjab ini, sambung Oppung Moris Ambarita, tidak hanya doa memohon kesuburan tanaman. Tetapi juga mengingatkan kita masyarakat agar senantiasa hidup bersahabat dengan alam dan menjaga kelestariannya. Sebab, kelestarian alam menyumbang hal baik bagi masyarakat. Ketika tanaman jauh dari penyakit, hasil pertanian melimpah, maka masyarakat jua yang merasakan manfaatnya. “Tentu saja kami berharap, tradisi ini terus dilestarikan. Melalui Manganjab ini, kami berpesan agar generasi penerus senantiasa saling memberitahu, baik mereka yang di kampung maupun di perantauan," pesannya.

Masyarakat luas yang mengetahui adanya kelompok masyarakat adat yang masih mempertahankan tradisi Manganjab ini mendukung agar budaya leluhur ini tetap dipertahankan. Publik menghendaki, ritual ini bisa dikelola dengan baik sebagai bagian dari wisata budaya di kawasan Danau Toba.

Pelestarian budaya Batak ini penting mengingat masih banyak ritual lain yang tak kalah menarik, unik dan sarat pesan luhur. Selain Manganjab, bahkan masih ada ritus lain yang berkaitan dengan pola masyarakat memandang Tuhan dan alam. Semuanya mengandung nilai-nilai kearifan, yakni kesabaran, rasa syukur dan keimanan terhadap Mulajadi Nabolon.

Ritual dimaksud yakni Patarias Debata Mulajadi Nabolon (pesta adat memuji, memuliakan dan menyampaikan persembahan kepada Tuhan), Raga-raga Na Bolak Parsilaonan (doa disertai ritual permohonan dan persembahan kepada leluhur), Mombang Boru Sipitu Suddut (doa disertai permohonan dan persembahan melalui Rajai Raja Uti dan Raja Sisimangaraja, Ulaon Habonaran i Partukkoan (doa melalui Habonaran sampai pada Raja Sisimangaraja), Pangulu Balang Parorot (doa melalui penjaga kampung dan hadatuaon) dan Manjuluk (doa di ladang sebelum memulai bercocok tanam).

Jika tradisi baik ini dilestarikan, bukan tidak mungkin upaya penyelamatan lingkungan, akan lebih baik karena mengandalkan kearifan lokal. Dan di saat bersamaan, pariwisata kita akan membaik serta nama baik bangsa kita kian harum karena kekayaan dan keragaman budaya kita tetap lestari. (K-DH)