Indonesia.go.id - Kepertapaan dan Jati Diri Bangsa Religius

Kepertapaan dan Jati Diri Bangsa Religius

  • Administrator
  • Rabu, 12 Juni 2019 | 17:00 WIB
TRADISI ASKETISME
  Bima Dewa Ruci. Foto: Istimewa

Sikap religiusitas bukanlah suatu sikap statis dan menutup diri dalam kacamata dogmatisme, melainkan justru ditandai oleh unsur dinamisme dan keterbukaan. Mari kita ciptakan lagi perpaduan antara Faust dan Arjuna, seperti obsesi Sanusi Pane.

Suma Oriental, tulisan pelancong Portugis, Tome Pires, selalu saja menarik untuk disimak kembali. Berkunjung ke tanah Jawa antara 1512 – 1515, Pires pernah memberi kesaksian perihal tradisi laku kepertapaan (ascetism) sebagai upaya manusia bersatu dengan Tuhannya lazim ditemui di sini. Pires bahkan mencatat, sepanjang kunjungannya itu setidaknya ditemui hingga limapuluh ribu pertapa.

Selain memberikan estimasi jumlah pertapa di Jawa saat itu, Pires juga memberikan deskripsi lanjutan tentang profil mereka. "... Ada yang tidak makan nasi atau minum tuak; mereka tidak ada yang kawin; mereka belum pernah bergaul dengan perempuan. Mereka memakai semacam tutup kepala yang panjang dan...kalau cocok di kepala ada lima bintang berwarna putih... mereka juga sangat dihormati oleh orang-orang Islam, dan sangat percaya pada mereka, dan bergembira kalau di antara mereka ada yang mengunjungi rumahnya..."

Barangkali saja di Nusantara khususnya Jawa, tradisi laku kepertapaan atau asketisme merupakan warisan dari era Hindu-Budha di masa lalu, yang berarti terbentuk di sepanjang hampir sepuluh abad kesejarahan kedua agama ini. Atau barangkali juga pun merupakan produk senyawa mistisisme Islam atau sufisme, yang hadir belakangan di abad ke-15 dan berdampak menguatkan tradisi ini.

Pada akhir abad ke 17, berita dari pelancong Barat juga masih mencatat fenomena kepertapaan sebagaimana pernah dilihat oleh Tome Pires pada awal abad 16. Mengutip tulisan Anthony Reid (1993) dalam Southeast Asia in the Age of Commerce 1450 - 1680, diceritakan bahwa seorang dokter Jerman mendeskripsikan kategori "pertapa" ini dalam catatannya: mereka menggunakan tutup kepala panjang, hidup dalam gua-gua, melakasanakan praktik asketisme, menjaga tempat-tempat ziarah, dan dianggap sebagai orang-orang suci dalam Islam.

Reid juga menunjukkan adanya kata tapa dalam manuskrip Islam di pesisiran dari abad ke-16, Javanese Code. Istilah tapa dikenakan untuk menyebut adanya disiplin hidup ketat dan bentuk penyangkalan diri orang Islam. Menyimak lintasan catatan sejarah, tak salah Reid kemudian menyimpulkan bahwa perilaku kepertapaan ialah bukti mencolok dari kontinuitas antara pola asketisme Hindu-Budha dan Islam di Jawa.

Sudah tentu kisah dan tauladan perihal ritual kepertapaan orang Jawa tak sedikit. Hampir semua folklore atau legenda tentang orang suci di Jawa atau setidaknya yang dianggap suci oleh orang Jawa, bisa dipastikan tak bakalan terlepas dari cerita tentang praktik kepertapaan. Bahkan kepertapaan sering terlihat jadi unsur utama pembentuk struktur narasi folklore atau legenda.

Antara Faust dan Arjuna

Indonesia sebagai bagian bangsa Timur sering dikatakan, konon lebih memiliki karakteristik spiritualisme ketimbang bangsa Barat yang materialisme. Bangsa ini bahkan tak ragu, mendaku diri bangsa religius.

Lihatlah, Pulau Bali yang juga disebut Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Lihatlah Pulau Lombok yang sohor dengan nama lain, Pulau Seribu Masjid. Jelas citra atau persepsi bangsa religius ini langsung atau tidak langsung memiliki korelasi erat dengan tradisi laku kepertapaan atau asketisme di masa lalu.

Demikianlah stereotipe tentang identitas kultural sebagai bangsa yang mementingkan aspek rohaniah telah terpateri selama ini, bahkan juga kuat terinternalisasi dalam jati diri bangsa ini. Pandangan demikian bahkan telah mengemuka dan menjadi common sense dalam perdebatan intens di tahun 1930-an.

Dalam debat para intelektual saat itu, yang kemudian dikumpulkan oleh Achdiat K Mihardja dan diberi nama "Polemik Kebudayaan" ini, terlihat tak sekali dua ditekankan tentang keyakinan perihal jati diri Indonesia yang lebih bercorak spiritualisme daripada materialisme.

Dikemukakan Sanusi Pane, lawan debat Sutan Takdir Alisjabana (STA), menariknya ia juga menyinggung soal tradisi laku kepertapaan ini. “Barat mengutamakan jasmani, sehingga lupa akan jiwa. Akalnya dipakainya menaklukkan tenaga alam. Ia bersifat Faust, ahli pengetahuan (Goethe), yang mengorbankan jiwanya, asal menguasai jasmani. Timur mementingkan rohani, sehingga lupa akan jasmani. Akalnya dipakainya mencari jalan mempersatukan dirinya dengan alam. Ia bersifat Arjuna yang bertapa di Indrakila.”

Namun Pane tak menolak budaya Barat secara serta merta. Dia hanya tak menginginkan, kita menelannya mentah-mentah. Pane menganjurkan adanya keterpaduan antara Barat dan Timur, antara materialisme dan spiritualisme, antara intelektualisme dan kehalusan emosi atau jiwa, antara individualisme dan kolektivisme.

Dengan kata lain, segala adat ketimuran yang tertanam dalam berbagai tradisi tidak untuk dikesampingkan atau serta merta diputuskan kesinambungan proses kesejarahannya seperti usulan STA.

Menurut Pane, kebudayaan Barat hadir bukan dalam rangka menggantikan, melainkan lebih dalam arti memperluas dan sekaligus memperkaya jati diri kultural bangsa Indonesia, yang sebelumnya telah terbentuk dari kekayaan berbagai anak sungai kebudayaan yang telah ada: Hindu-Budha, Cina, dan Islam. Tugas kita--meminjam istilah Pane yang tersohor--ialah memadukan ”antara Faust dan Arjuna”.

Tulisan ini tidak akan membahas sejauh mana kebenaran proposisi stereotipe tersebut. Stereotipe ialah buah generalisasi yang mengandung simplifikasi atas unsur-unsur kompleksitas yang ada. Ada prangka di dalamnya, baik dalam arti positif maupun negatif. Artinya, sekalipun pandangan stereotipe bisa jadi memiliki kebenaran, namun tidaklah pernah mutlak. Apa yang patut diantisipasi dari model pandangan ini ialah mengemukanya prasangka negatif yang memicu munculnya sikap diskriminasi.

Barangkali saja stereotipe sendiri jika dianalisis secara sociology of knowledge lazimnya akan terlihat, bahwa model pandangan ini telah terkontruksi dalam sejarah yang panjang. Adanya artefak ratusan candi sebagai lanskap sejarah dan budaya; juga segudang folklore atau legenda yang sarat mitos tentu telah membentuk diskursus publik; dan tak kecuali masih lestarinya pandangan dunia yang mengedepankan spiritualisme seperti Kejawen, Sunda Wiwitan, Hindu-Bali, dan lainnya; yang semua itu sedikit banyak turut membangun jaring-jaring makna bagi bangsa Indonesia khususnya etnis Jawa untuk memaknai dirinya sendiri.

Pada titik ini, menarik disimak kata kunci "Arjuna yang bertapa di Indrakila" seperti disebut oleh Sanusi Pane. Apa pasalnya? Jelas, Pane merujuk pada kitab sastra Jawa Kuno yang sangat mahsyur, Arjunawiwaha. Karya Mpu Kanwa yang ditulis pada kisaran 1028 - 1035 ini bisa dipastikan didedikasikan kepada Raja Airlangga, pendiri Kerajaan Kediri. Menarik dicatat di sini.

Sanusi Pane pernah menerjemahkan kitab ini ke dalam bahasa Indonesia. Cetakan pertama diterbitkan oleh Balai Pustaka pada kisaran tahun 1940-an. Sanusi Pane menerjemahkan Arjunawiwaha dari edisi Belanda hasil suntingan Purbatjaraka.

Sekalipun riset di lapangan filologi dan epigrafi telah dilakukan, barangkali saja pembacaan dan kontruksi sejarah Kediri saat itu belumlah semaju saat ini. Sanusi Pane bisa saja belum mengenal jauh sosok Raja Airlangga dan kualifikasi Kitab Arjunawiwaha sebagai karya sastra Jawa Kuno.

Bagaimana tidak. NJ Krom ahli purbakala dan sejarawan Jawa memuji Mpu Kanwa sebagai pandai, puisinya bagus, begitu pula bahasanya juga sangat bagus. Pun jika menyimak penelitian Zoetmulder dalam Kalangwan perihal kondisi sastra Jawa Kuno, seturut pendapatnya karya Mpu Kanwa ini baik dari sudut komposisi maupun gaya bahasa merupakan contoh puisi kakawin yang berada pada puncak kesempurnaan.

Ya, karya sastra Jawa Kuno di era Kediri, selain melimpah jumlahnya, oleh para ahli kebudayaan Jawa Kuno juga dinilai bermutu tinggi. Wajar tak satu dua dari mereka kerap menyatakan, bahwa zaman keemasaan susastra Jawa Kuno terjadi pada era Kerajaan Kediri.

Dari sini saja sebenarnya susah memahami ide Sanusi Pane yang menyimpulkan, bangsa Timur sebagai tidak intelektualisme. Bagaimana mungkin, ketika budaya literasi dan susastra terlihat mekar sedemikian rupa di era Kediri, tapi fakta tersebut tidak disimpulkannya sebagai manifestasi dari aspek intelektualisme.

Sedangkan bicara capaian bidang arsitektur di masa lalu, tulisan Pane juga menyisakan pertanyaan. Ia alpa Indonesia di masa lalu juga pernah menorehkan sejarah monumental yang masyur ke seantero dunia hingga kini, yaitu Borobodur dan Prambanan? Bukankah, desain kontruksi kedua bangunan itu telah didirikan dengan struktur besar (megastructure building) yang mensyaratkan penguasaan teknologi tinggi?

Jika fakta itu diakui, maka obsesi Pane untuk memadukan ”antara Faust dan Arjuna” sebenarnya sudah pernah tercapai jauh di masa lalu. Raja Airlangga, arsitek pembangunan Borobudur maupun Prambanan, jelas bukanlah pertapa tanpa intelektualisme dan penguasaan teknologi.

Kesalahan mendasar Sanusi Pane, juga tanpa terkecuali sinisme tulisan SDA, ialah menempatkan “Timur” dan “Barat” dipandang sebagai hakikat yang monolitik. Asumsi pandangan ini tanpa sadar  terjebak pada penyederhanaan hitam dan putih. Padahal "Timur" dan "Barat" sendiri jelas bukanlah entitas tunggal, melainkan sebenarnya di balik istilah tersebut terdapat sebuah realitas yang demikian beragam.

Sebagai penutup, pesan moral yang patut dicatat ialah: Kini tradisi kepertapaan atau   tentu punya makna berbeda. Ambil contoh Sartono Kartodirdjo, misalnya, jelas ia terinspirasi oleh tradisi ini. Sejarawan Indonesia pertama dan papan atas ini pada 1999 juga pernah mengeluarkan sebuah risalah Asketisme Intelektual.

Dalam berbagai kesempatan, ia selalu mengingatkan akan pentingnya sikap asketis dalam diri seorang profesional. Sartono mengungkapkan bahwa asketisme dilakoni dengan olah jiwa dalam moral dan spiritual dengan menghilangkan keinginan atau hawa nafsu jasmaniah. Lebih jauh Sartono mengungkapkan, bahwa inti dari asketisme intelektual adalah pemunculan spirit kepakaran (expertise) dari intelektual. Kepakaran ini mesti memenuhi nilai-nilai: otoritas, otonomi, otentisitas, dan integritas.

Kita tentu bisa memaknainya secara berbeda. Namun belajar dari sejarah terlihat saripatinya kepertapaan--atau sebutlah itu dalam istilah hari ini sebagai "religiusitas"--tetaplah berarti hadirnya sikap zuhud dan kesahajaan. Juga mekarnya intelektualisme yang tidak ragu untuk memahami dan sekaligus menguasai metodologi pengetahuan modern, sains, dan teknologi.

Sikap religiusitas bukanlah suatu sikap statis dan menutup diri dalam kacamata dogmatisme, melainkan justru ditandai oleh unsur dinamisme dan keterbukaan. Mari kita ciptakan lagi perpaduan "antara Faust dan Arjuna", seperti obsesi Sanusi Pane. (W-1)