Indonesia.go.id - Istana Maimoon, Simbol Akulturasi Budaya

Istana Maimoon, Simbol Akulturasi Budaya

  • Administrator
  • Senin, 27 Mei 2019 | 17:00 WIB
AKULTURASI BUDAYA
  Istana Maimoon. Foto: IndonesiaGOID/Dedy Hutajulu

Harmoni tabuhan gendang berpadu gitar bas dan akordean menyambut kedatangan para pengunjung Istana Maimoon, Jalan Brigadir Jenderal Katamso, Kelurahan Sukaraja, Kota Medan, Sumatera Utara, tempo hari. Bangunan istana yang megah dan musik yang mendayu-dayu itu menandaskan keperkasaan warisan budaya Melayu melintasi waktu dan zaman.

"Enak ya musiknya," puji Bambang (40), pengunjung dari Jakarta. Bambang tidak sendiri. Ia datang bersama istrinya Ismi (30). Mereka tiba di sana sekitar pukul 14.00 WIB. Di jam-jam segitu, setiap hari digelar live music genre Melayu. Panggungnya di teras istana. Musik ini sengaja disediakan untuk menghibur para pengunjung istana, sekaligus memperkenalkan budaya seni musik Melayu.

Tak hanya pasangan Bambang dan Ismi. Setiap bulan sedikitnya 3000 orang datang mengunjungi istana Sultan Deli ini. Mereka wisatawan domestik dan mancanegara yang tertarik melihat warisan kejayaan Kesultanan Melayu di Sumatera bagian timur yang masih tersisa dan utuh hingga kini.

Menurut Astri (16), seorang pemandu menerangkan, penamaan Istana Maimoon diambil dari nama Siti Maimunah, permaisuri Sultan. Maimoon dalam bahasa Arab dan bermakna ”berkah. Maka istana yang didominasi warna kuning ini sebagai bukti cinta sultan terhadap permaisurinya. Dan kini, istana itu menjadi jejak keindahan dan kedigdayaan peradaban Melayu di masa silam yang masih bisa dinikmati generasi muda. Istana yang tegak berdiri sejak 28 Agustus 1888 ini telah dinobatkan sebagai salah satu ikon Kota Medan. Apalagi, bangunan istana ini hanya sepelemparan batu dengan Masjid Al Mashun yang dibangun pada 1906.

Diarsiteki Tentara

Akulturasi budaya itu kentara pada arsitektur bangunan istana. Bangunan istana tidak dimonopoli oleh satu budaya, tetapi perpaduan antara budaya Eropa, Persia dan Melayu, yang hasilnya sebuah kemegahan dan keindahan yang mengagumkan. Arsiteknya ternyata seorang tentara dari Kerajaan Belanda bernama Theodore van Erp. Ia berpangkat kapten.

Di tangan Theodore, gaya arsitektur tradisional Melayu, Timur Tengah dan India serta corak Italia dikawinkan sedemikian rupa. Sehingga tercipta satu istana yang benar-benar mengagumkan. Bangunan istana diberi warna kuning mendominasi untuk menunjukkan kedigdayaan Kesultanan Melayu. Tak hanya pada warna, teras lantai dan tangga yang dibangun dari kayu serta seluruh hiasan atap bermotif pucuk rebung, mencirikan bangunan khas Melayu. Uniknya, seluruh bangunan dan motif hiasan istana itu masih karya tulen. Asli.

“Gaya arsitektur tradisional Melayu di Istana Maimun ini dapat dilihat dari bentuk atap limas, ornamen khas Melayu dengan corak ‘pucuk rebung’ dan ‘awan boyan’ pada lipsplank dan pinggir atap. Konsep khas tradisional itu juga terlihat di anjungan kanan-kiri bangunan," ungkap Dosen Arsitektur Institut Teknologi Medan, Saufa Yardha Moerni.

Sementara budaya Eropa kentara pada tiang-tiang penyangga, dinding vertikal dan kubah serta bentuk lengkung perahu terbalik yang mengkloning tradisi Timur Tengah. Termasuk marmer pada lantai tangga utama pintu masuk dan seluruh balairung, tempat Sultan menerima tamu dan menggelar upacara, mencirikan budaya Italia. Lampu-lampu gantung semua dipasok dari Perancis. Perabot istana diimpor dari Belanda dan Inggris. Tidak hanya itu, bentuk pintu dan jendela istana pun mirip dengan bangunan-bangunan yang terdapat di Eropa. Pun ukiran-ukiran yang terdapat pada langit-langit adalah khas Timur Tengah.

“Desain pintu dan jendela seperti ini banyak dijumpai pada bangunan-bangunan di kawasan Timur Tengah. Sedangkan pengaruh Eropa terlihat dari ornamen lampu, kursi, meja, lemari, hingga pintu dorong,” timpalnya.

Istana Maimoon dibangun sebagai pusat pemerintahan Kesultanan Deli, menggantikan istana di Medan Labuhan yang berjarak 20 kilometer dari Belawan. Pemindahan pusat pemerintahan dilakukan karena wilayah istana Labuhan dinilai sudah begitu sesal oleh aktivitas perniagaan. Sultan menginginkan aktivitas administrasi dipusatkan di jantung kota Medan. Lokasi yang paling memungkinkan menganulir ide itu adalah di titik pertemuan antara Sungai Deli dengan Sungai Babura. Pemindahan itu juga dimungkinkan karena ditunjang keuangan kesultanan sedang bagus-bagusnya. Kala itu, bisnis perkebunan tembakau yang dijalankan Sultan Deli IX, Sultan Ma’moen Al-Rasyid Perkaya Alamsyah tengah berjaya. Sehingga, biaya pembangunan istana baru tidak terkendala. "Sultan dulu mengelola bisnis tembakau deli. Dan tembakau itu terkenal ke seluruh dunia," jelas Astri.

Sebuah istana yang megah pun ditegakkan di atas lahan seluas 4,5 hektar, menghadap ke timur. Luas bangunannya mencapai 2.700 meter persegi. Dibangun dua lantai. Bangunannya terdiri dari tiga bagian, yaitu Balairung Seri Utama, tempat sultan menerima tamu, sayap kanan dan kiri istana yang terdiri dari 30 ruangan. Diperkirakan pembangunan istana ini menelan biaya ratusan ribu gulden. Istana baru ini rampung dibangun dalam tiga tahun.

Istana Maimoon kini dikelola yayasan. Kendati demikian, istana ini tetap dipakai sebagai tempat Sultan Deli dan keluarganya untuk melangsungkan upacara adat dan kegiatan lainnya. Hanya bagian utama istana yang dibuka untuk publik. Sayap kiri dan kanan ditutup dari akses publik karena digunakan sebagai tempat tinggal bagi para ahli waris sultan. "Keluarga Sultan tinggal di situ. Jumlahnya mereka sekarang ada seratusan," timpal Astri.

Istana Maimoon telah ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai Undang-Undang tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Peraturan Daerah Kota Medan Nomor 6 Tahun 1988 tentang Pelestarian Lingkungan yang Bernilai Sejarah Arsitektur Kepurbakalaan. (K-DH)