Indonesia.go.id - Munggah Kaji, Perjalanan Mencapai Keutamaan

Munggah Kaji, Perjalanan Mencapai Keutamaan

  • Administrator
  • Kamis, 11 Juli 2019 | 03:32 WIB
BUDAYA NUSANTARA
  Perjalanan jemaah haji Nusantara di Pulau Onrust, 1930. Foto: ANRI

Mekah dalam imajinasi orang Jawa hanyalah salah satu kota yang berada di tempat yang sangat jauh. Kota para leluhur dalam sejarah manusia.

Orang Indonesia atau orang Nusantara pada umumnya punya istilah sendiri untuk melakukan perjalanan atau bepergian ke Mekah. Perjalanan ke kota kiblat umat Islam itu adalah rukun Islam yang menantang. Saat ini orang biasa menyebutnya dengan istilah ‘naik haji’ atau bahasa Jawanya ‘munggah kaji’. Munggah artinya naik atau mencapai tingkatan yang lebih tinggi. Mengapa orang Nusantara menyebutnya dengan naik bukan dengan kata yang lain?

Orang Eropa menerjemahkan perjalanan haji dengan istilah ‘pilgrimage’. Penerjemahan yang mendekati makna aslinya. Pilgrim berasal dari bahasa latin ‘peregrinus’. Kata ini berkembang dalam bahasa Inggris menjadi ‘foreign’, yang berarti orang asing atau pengembara.

Beda dengan orang Nusantara. Istilah haji sudah lama ada dalam perbendaharaan kata Nusantara. Pengertiannya haji dalam bahasa Melayu tua atau Jawa kuno tentu beda dengan istilah ‘hajj’ dalam bahasa Arab. Haji atau Aji dalam bahasa melayu bisa berarti utama atau mulia. Untuk memberikan pemahaman tentang pentingnya perjalanan ke tanah suci, para ulama atau cerdik pandai agama Islam mempermudah pemahaman dengan istilah ‘munggah kaji’. Tidak hanya sekadar bepergian tetapi mencapai suatu keutamaan, kemuliaan.

Untuk melihat bagaimana orang Nusantara menerima ibadah Haji sebagai bagian dari kebudayaannya sendiri penting untuk melihat catatan naik haji dalam naskah-naskah kuno atau manuskrip Nusantara. Jan Just Witkam, Professor naskah kuno dari Universitas Leiden meneliti beberapa naskah kuno tentang orang Nusantara naik haji.  Tulisan itu dimuat dalam publikasi British Library, The Hajj:Collected Essays (2013).

Komitmen Lebih Tinggi

Orang Jawa ternyata punya ‘raison d’etre’ sendiri mengapa harus pergi haji. Dalam Serat Kandhaning Ringgit Purwa, biasa disebut Serat Kandha, naskah yang diperkirakan ditulis awal abad 17, orang Jawa punya versi sendiri kisah tentang Mekah. Berikut terjemahan bebasnya:

Ini kisah saat Nabi Adam dan Dewi Kawah hidup di Mekah. Kabil anak Adam, pergi dari Mekah setelah membunuh saudaranya, Habil. Kabil pergi mengikuti Setan Idajil. Idajil ini yang memberi Habil nama Manikmaya. Manikmaya inilah yang kemudian mengaku menciptakan dunia. Kabil tinggal di negeri Kaci, dia punya dua anak, Adabil dan Daliyah. Suatu hari Kabil kembali ke Mekah. Dia ingin bertemu saudaranya Nabi Sis. Dia tidak bertemu Sis dia hanya bertemu istrinya. Istri Sis, mengusir Kabil karena tahu dia sudah diusir dari Mekah. Kabil pun menjawab kalau anak yang dikandung istri Sis akan menjadi kemenakannya, dia akan melawan bapaknya. Selepas itu Kabil pulang ke Kaci, tetapi di tengah jalan dia terperosok di jalan. Malaikat melihat dia dan menghempaskan Kabil dengan sayapnya. Malaikat menghukum Kabil karena perbuatannya. Kabil pun amblas ke tanah dan masuk neraka.

Naskah itu sama sekali tidak bercerita tentang pengorbanan Ibrahim yang memberikan anaknya sebagai kurban. Nama-nama yang muncul dalam mitologi Islam ala orang Jawa adalah nama-nama yang berserak di kitab-kitab di luar Islam. Beberapa nama di antaranya terdapat di Kitab Kejadian Kristiani dan Torah Yahudi. Bagaimana nama-nama ‘asing’ itu bisa sampai ke perbendaharaan orang Jawa tentu memerlukan penyelidikan yang lain lagi.

Naskah Serat Kandha adalah naskah-naskah pesisiran yang diperkirakan berkembang pada masa yang disebut sebagai ‘renaisans’ kebudayaan Jawa. Ricklefs  dalam kajiannya tentang Sultan Agung (1998) memperkirakan masa keemasan kebudayaan Jawa merentang hingga 150 tahun sebelum Perang Jawa yang sangat melelahkan itu.

Kisah Habil dan Kabil yang ditempelkan ke dalam Serat Kandha, dalam catatan JJ Witkam menunjukkan satu kecenderungan yang khas kesusastraan Jawa. Kisah yang dramatis itu sangat sesuai dengan selera orang Jawa. Bagi orang Jawa, beberapa nukilan kisah-kisah anak Adam, adalah ‘karpet’ atau alas bagi kisah-kisah Jawa yang muncul kemudian.

Mekah dalam imajinasi orang Jawa hanyalah salah satu kota yang berada di tempat yang sangat jauh. Kota para leluhur dalam sejarah manusia. Penerimaan ke dalam khasanah sastra yang sangat tipikal Asia Tenggara. Arabia dalam Serat Kandha yang kemudian menjadi bagian dari Babat Tanah Jawa adalah salah satu pelengkap legitimasi.

Pigeaud (1938) dalam penelitiannya tentang selera kebudayaan orang Jawa melihat bahwa ‘munggah kaji’ adalah salah satu bentuk komitmen keislaman yang lebih tinggi dibandingkan sunat (khitan). Pemilihan kata ‘munggah’ punya arti yang dalam. Walaupun demikian mengunjungi makam wali juga mempunyai derajat yang sama. Bagi Sultan Agung yang ingin menguatkan legitimasi kekuasaannya, ziarah ke makam Tembayat mempunyai ‘kekuatan’  atau ‘kesucian’ yang sama dengan pergi haji.

Perjalanan Langka

Para peneliti Islam Asia Tenggara mengakui bahwa catatan-catatan yang dibuat oleh peziarah haji Nusantara sangat sedikit yang menulis tentang kisah perjalanan. Kecenderungan keagamaan orang Asia Tenggara yang kuat warna sufistiknya membuat ajaran-ajaran kerohanian (spiritual) yang ditulis Al Ghazali dalam konteks perjalanan haji menjadi kajian yang paling banyak dipelajari.

Kisah-kisah bernuansa spiritual, berbagai keajaiban yang ditemui, keutamaan ahlak, balasan atas perilaku tercela, hingga  puja dan puji syukur pada kebesaran Tuhan adalah topik yang bahkan hingga hari ini memenuhi sebagian tulisan perjalanan haji orang Nusantara.

Dari naskah-naskah yang langka itu ada satu naskah berjudul Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Judah, catatan perjalanan Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi yang sangat berharga. Perjalanan Abdullah (1796-1854) dari Singapura ke Mekah yang dilakukan pada 1270 hijriah atau 1854 Masehi itu penuh dengan detail perjalanan yang belum ditemukan padanannya dalam naskah-naskah pergi haji orang Nusantara.

Kisah Abdullah sayangnya adalah kisah yang tidak sampai selesai. Dia meninggal saat baru mencatat kesannya ketika memasuki Baitullah. Malang nasib Abdullah, dia meninggal saat dia baru beberapa waktu sampai di Tanah Suci. Padahal Abdullah berencana untuk melakukan umroh yang disambungkan dengan haji. Saat itu perjalanan umroh umumnya dilakukan beberapa bulan sebelum bulan haji. Umroh lazim dilakukan pada Ramadan, yang sering pula disebut  sebagai haji kecil. Selama tiga bulan menunggu tanggal sepuluh bulan dua belas, adalah masa belajar dan menjelajah yang tidak ternilai harganya.

Catatan perjalanan Abdullah untung berhasil dibawa pulang oleh teman seperjalanannya. Abdullah hanya sempat mencatat perjalanan dia selama 109 hari dari Singapura sampai ke Mekah. HC Klinkert, penerjemah pertama naskah Munsyi bahkan menceritakan bahwa Munsyi meninggal karena diracun. Dia keracunan setelah menggambar situasi kota Jedah dan menulis beberapa catatan. Teman-teman seperjalanannya bersaksi kalau dia jatuh sakit dan meninggal setelah kejadian itu.

Belajar dari catatan Snouck Hurgronje tentang Mekah di akhir abad 19, suasana ketegangan spionase di wilayah yang waktu itu berada di kekuasaan Kesultanan Turki Usmani  memang sangat beralasan. Penelitian lebih jauh dari berbagai sumber mengkonfirmasi bahwa Abdullah memang telah menggambar suasana Jedah saat menunggu berlabuh. Kegiatannya ini memancing perhatian agen-agen kesultanan. Sangat mungkin Munsyi dicurigai melakukan spionase. Pada saat itu kematian adalah hal yang biasa terjadi jika dituduh sebagai mata-mata.

Abdullah berangkat ke Mekah dengan menggunakan perahu layar. Perjalanan ini menggambarkan suasana sebelum kapal-kapal bermesin uap membawa revolusi besar-besaran. Catatan Abdullah sangat berharga karena menggambarkan ‘zaman pelayaran’ terdahulu.

Catatan Abdullah adalah catatan seorang pengamat yang bermata tajam. Kemampuan pengamatannya berbanding lurus dengan kemampuan berbahasanya. Salah satu yang mengesankan dalam catatannya adalah saat dia menggambarkan suasana badai yang menerjang kapal ketika mengitari Tanjung Komoro. Suasana ketakutan dan bahaya yang mencekam bisa disejajarkan dengan tulisan-tulisan Homer dalam sejarah laut Mediterania.

Bahasa yang digunakan Abdullah adalah kelas pujangga. Dia bisa menggunakan istilah-istilah Arab, Tamil, dan Persia, saling berserak dalam khasanah Melayu.

Abdullah bisa menggambarkan betapa sulitnya mendaratkan perahu besar memasuki pelabuhan Jedah yang perairannya penuh dengan karang yang tajam. Hanya seorang malim pandai (juru mudi-Arab-mu’alim) lah yang bisa melakukan tugas yang penuh bahaya itu. Dibutuhkan waktu lebih dari tiga jam untuk mendaratkan kapal layar besar melewati kanal-kanal sempit yang dikelilingi oleh karang yang bagaikan membentengi pelabuhan.

Catatan Abdullah bahkan menggambarkan buruknya pengangkutan kargo dari kapal ke para pemiliknya. Saking kacaunya pengangkutan, tumpukan kargo itu berserakan sedemikian rupa dengan semua pemilik berebut mencari barang kepunyaannya.

Banyak barang yang melesak, remuk, berpindah, dan hilang. Orang berkerubut seperti semut. Sedikit saja meleng, barang berpindah tangan. Barang dilempar, ditumpuk, dibuka paksa dalam perilaku yang paling kasar. Kertas-kertas, buku tulis, dan tinta yang dipakai Abdullah bahkan tumpah ke mana-mana.

Setelah semua kekacauan itu barang yang hilang relakan hilang, barang yang rusak biarkan rusak. Begitulah keadaan yang menimpa rombongan sebelum berlanjut ke tempat tujuan. (Y-1)