Indonesia.go.id - Kanjeng Ratu Kidul

Kanjeng Ratu Kidul

  • Administrator
  • Kamis, 15 Agustus 2019 | 05:35 WIB
MITOLOGI
  Tarian Bedhaya ketawang. Foto: Pesona Indonesia

Menurut kitab Wedhapradangga, pencipta Bedhaya Ketawang adalah Sultan Agung. Meskipun demikian kepercayaan tradisional meyakini, tarian ini diciptakan oleh Kanjeng Ratu Kidul sendiri. Menariknya, Sunan Kalijaga sebagai juru syiar Islam di tanah Jawa diceritakan ikut memberikan patokan-patokan saat menciptakan titi nada gending pada tarian tersebut.

Seperti ditulis pada artikel sebelumnya, Tafsir Jawa atas Kuasa dan Kekuasaan, pandangan kosmologi Jawa meyakini adanya kesejajaran antara makrokosmos (jagat gede) dan mikrokosmos (jagat cilik).

Menurut kepercayaan ini, keseluruhan tatanan sosial yang terdiri dari masyarakat luas di luar benteng kraton, para abdi dalem, dan lapisan kelompok para priyayi, serta berpuncak hirarkis pada diri raja, pada derajat tertentu merupakan representasi kosmis itu sendiri. Sekalipun dimaknai demikian, secara simultan tatanan sosial juga selalu berada di bawah pengaruh daya-daya kosmis alam semesta.

Dalam kerangka konsepsi Dewa-Raja atau Ratu-Binanthara inilah, kesanggupan seorang raja untuk mengharmoniskan keseluruhan tatanan sosial dan sekaligus daya-daya kosmis alam semesta, ialah kata kunci bisa atau tidaknya menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakatnya.

Sedangkan bicara perihal daya-daya kosmis, selain didasarkan pada wahyu, daya kosmis lainnya ialah restu para leluhur tanah Jawa dan pusaka. Dalam konteks inilah, bicara restu leluhur tanah Jawa sudah tentu bukan hanya satu dan tunggal. Namun begitu, salah satu mitos yang diyakini kuat oleh masyarakat Jawa ialah Kanjeng Ratu Kidul.

Bagaimana menonjolnya mitos Kanjeng Ratu Kidul atau disingkat KRK, tanpa mengenal mitos ini orang tidak bakalan dapat memahami makna tarian sakral Bedhaya Ketawang; juga makna artefak bangunan Panggung Sanggabuawana di Kraton Surakarta; tak kecuali adanya folklore tentang jin bernama lampor maupun ritus sedekah laut yang lazim dilakukan masyarakat Jawa di sepanjang daerah pesisir Samudra Hindia.

Jejak-jejak Diskrusif

Merujuk artikel Robert Wessing yang berjudul “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyai Roro Kidul, Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, setidaknya ditemui beberapa versi sejarah. Menurut Wessing, sebagai seorang putri Sunda, umumnya KRK diceritakan sebagai puteri penguasa kerajaan Pajajaran di Jawa Barat, meskipun perihal siapa ayahnya ada beberapa nama mengemuka. Ada yang menyebutkan KRK ialah putri dari Prabu Mundingsari, lainnya menyebut nama Prabu Munding Wangi, atau juga disebut nama Prabu Siliwangi maupun Prabu Cakrabuwana.

Selain Pajajaran, cerita lain mengisahkan asal-usul KRK ialah kerajaan Galuh. Prabu Sindhula dari abad ke-13 merupakan ayahnya. Tempat asal lainnya yang disebutkan ialah kerajaan Kediri di Jawa Timur, saat diperintah oleh “Notradamus Jawa” yaitu yang legendaris, Raja Jayabaya; atau bahkan berasal dari kerajaan yang lebih tua, Kahuripan, diperintah oleh Raja Airlangga juga berlokasi di Jawa Timur. Namun demikian dari semua kisah itu, bagaimanapun kerajaan Pajajaran merupakan asal-usul KRK yang paling sering disebutkan.

Bagaimana kisah terjadinya transformasi dari seorang putri menjadi Dewi Samudra juga muncul banyak versi. Kisah paling umum menuturkan, dia adalah seorang puteri cantik yang, karena sihir ibu tirinya yang jahat dan cemburu, terjangkit penyakit kulit. Sakit kulit itu membawa bau yang menjijikkan sehingga memaksanya meninggalkan istana, dan pergi mencari perlindungan ke hutan. Beberapa kisah mengatakan, dibalut duka yang mendalam puteri itu lalu bermeditasi dan moksha.

Merujuk Poerbatjaraka dan Woodward, Wessing mencatat versi lain. Konon diceritakan, permaisuri raja Galuh melahirkan anak perempuan. Keanehan muncul, ia laiknya Yesus sejak usia bayi sudah dapat bicara dan berkata:

“Aku Ratu Ayu, akulah penguasa semua lelembut di Tanah Jawa. Istanaku berada di Laut Kidul.”

Raja Sidhula, yaitu raja Galuh yang telah lama meninggal, dikisahkan kemudian muncul memberi tanda dan bersabda bahwa puteri itu ialah cucunya. Untuk menjaga kesuciannya dia tidak akan pernah menikah hingga nanti tiba saatnya seorang raja Muslim muncul dan memerintah Jawa. Sosok inilah yang nanti jadi suaminya.

Menunggu dua abad lebih, hingga suatu saat datanglah Panembahan Senapati, pendiri wangsa Mataram-Islam. Historigrafi Jawa yaitu Babad Tanah Jawa meriwayatkan, bagaimana Panembahan Senopati mula pertama bertemu dengan KRK. Pertemuan yang bermuara menjadi hubungan percintaan ini mengawali kisah, di mana KRK bukan hanya menjadi “istri” Panembahan Senopati, melainkan juga raja-raja Mataram-Islam penerusnya.

Awalnya dikisahkan dia pergi bertapa di Sungai Opak (bahasa Jawa: kungkum), lalu berenang (tapa ngeli) ke arah muara hingga mencapai Pantai Selatan. Sampai di sana Panembahan Senapati meneruskan bertapa dan memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Hadiwijaya di Pajang. Konon, berkat ketekunan bertapa membuat Samudera Hindia bergolak. Istana gaib tempat singgasana KRK menjadi porak-peranda karena kekuatan meditasi sang pemuda itu.

Walhasil, KRK pun muncul. Namun pucuk dicinta ulam tiba, KRK justru tertegun dan terpesona melihat seorang pemuda gagah tengah bermeditasi. Dia langsung jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati. Setelah bercinta tiga hari tiga malam di istana gaib Laut Selatan, KRK berjanji akan membantu Penembahan Senapati dan anak cucu keturunannya.

Menurut De Graaf, Ki Ageng Pemanahan tercatat meninggal di tahun 1583, dan sebagai gantinya ialah putranya Panembahan Senopati. Jika pembacaan De Graaf itu valid, menarik disimak pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang berkuasa pada 1940–1988, terhitung hampir berselang empat abad kemudian sejak Panembahan Senopati.

Dalam biografinya “Tahta untuk Rakyat” yang disusun oleh Atmakusumah (editor), ketika diwawancarai dan ditanya apakah benar dia adalah "suami" dari KRK dan apakah pernah "berhubungan" dengannya, Sultan Hamengku Buwono IX menjawab:

“Menurut kepercayaan lama memang demikianlah halnya. Saya menyebutnya Eyang Rara Kidul saja. Dan saya pernah mendapat kesempatan "melihatnya" setelah menjalani ketentuan yang berlaku seperti berpuasa selama beherapa hari dan sebagainya. Pada waktu bulan naik, Eyang Rara Kidul akan tampak sebagai gadis yang amat cantik; sebaliknya apabila bulan menurun, ia tampil sebagai wanita yang makin tua.”

Ketimbang “istri”, pada anak cucu penerus Panembahan Senapati setelah memasuki abad ke-20, posisi KRK tampaknya lebih berfungsi sebagai pepunden atau pamomong, atau sebutlah itu leluhur. Demikianlah catatan Jhon Pemberton dalam bukunya On The Subject of Java perihal cerita popular di Solo. Masyarakat Solo beranggapan raja sebagai “suami” KRK hanya sampai masa Paku Buwono IX.

Konon, diceritakan Paku Buwono X suatu ketika tengah naik ke Panggung Sanggabuwono. Tempat ini merupakan ruang pertemuan antara KRK dan Susuhunan. Di dalam bilik itu disediakan kursi dan pakaian serta sesaji untuk KRK. Diceritakan suatu saat PB X terpeleset saat menaiki tangga bangunan itu, dan KRK berucap kaget: “….Ooo, kepiye ngger!?” (Ooo, bagaimana kau nak!?). Nah, gara-gara dipanggil “ngger” itulah, Paku Buwono X tak pernah lagi dianggap sebagai “suami” KRK.

Pemberton juga memiliki catatan lain yang menarik. Paku Buwono yang memerintah pada 1823--1830, seperti diketahui dibuang ke Ambon oleh Pemerintah Hindia Belanda karena ketahuan mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (1825--1830). Pemberton mencatat, salah satu alasan kuat Belanda untuk membuang Susuhunan ini dikarenakan dia diketahui sering “berkunjung dan menemui” KRT hingga mendapat tuduhan tengah merencanakan sebuah makar.

Menarik juga dicermati, sekalipun keberadaan KRK katakanlah lekat dengan sejarah wangsa Mataram-Islam, ritus sedekah laut bukan hanya dilakukan oleh institusi keraton. Melainkan, juga dilaksanakan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir selatan Pulau Jawa. Ini artinya, masyarakat luas juga merasa memiliki KRK sebagai penguasa dan pelindung hidup mereka.

Itulah sebabnya pelbagai ritus terhadap KRK nisbi sering dilakukan oleh orang Jawa. Dari yang sifatnya pribadi hingga yang sifatnya kolektif atau massal. Pewaris Mataram-Islam, sebutlah Kasultanan di Yogyakarta, hingga kini setahun sekali masih melaksanakan upacara labuhan.

Kata labuhan berarti membuang barang-barang tertentu di laut atau kawah gunung sebagai sesaji. Barang yang dilabuh, antara lain, seperangkat pakaian untuk KRK. Pakaian dan kebutuhan wanita itu berupa kain panjang, semekan atau kain tutup dada, tusuk konde dan berbagai macam pakaian wanita beserta perlengkapan lain seperti param, ratus, minyak cendana, dan kepingan uang logam.

Bukan hanya ritus labuhan, kraton juga mengenal ritus sakral lain berupa pementasan Tari Bedhaya Ketawang. Menurut Kitab Wedhapradangga, pencipta tarian ini adalah Sultan Agung, raja paling agung yang berkuasa pada 1613--1645. Meskipun demikian kepercayaan tradisional meyakini, tarian ini diciptakan oleh KRK sendiri. Wajar saja, tarian ini bukan hanya semata sakral, tapi juga bahkan dianggap sebagai pusaka.

Menariknya, Sunan Kalijaga sebagai juru syiar Islam di tanah Jawa juga ikut memberikan patokan-patokan saat menciptakan titi nada gending tarian tersebut. Titi nada gamelan itu disebut diberi nama Gending Ketawang Gedhe berlaras pelog pathet 5.

Tari ini melukiskan proses jatuh cintanya KRK pada Panembahan Sanapati. Segala gerakannya melukiskan bujuk rayu dan cumbu birahi. Untuk itu KRT memohon Sinuhun tidak tergesa pulang, namun Sinuhun tidak mau. Dia masih ingin mencapai “sangkan paran dumadi”, yaitu hakikat kemanunggalan diri dengan Tuhan.

Namun Panembahan Senapati berkenan memperistri KRT, bahkan janji hingga turun-temurun. Siapa saja keturunannya yang bertahta di tanah Jawa akan mengikat janji dengan KRT pada detik kenaikan tahtanya (jumenengan nata). Karena itulah tarian sakral ini hanya ditarikan ketika pelantikan raja atau peringatan momen tersebut di setiap tahunnya.

Konon, saat tarian sakral ini ditarikan KRT selalu hadir dan turut menari di antara sembilan penari lainnya. Bahkan KRT jugalah yang konon mengajar secara langsung Tari Bedhaya Ketawang pada penari-penari kesayangan raja tersebut. (W-1)