Indonesia.go.id - Leluhur Nusantara di Tanah Tinggi

Leluhur Nusantara di Tanah Tinggi

  • Administrator
  • Selasa, 20 Agustus 2019 | 04:36 WIB
SEJARAH
  Suasana pemakaman Mbah Moen di Ma’la, Mekkah, Selasa (6/8/2019). Foto: ANTARA FOTO/Hanni Sofia

Siapa sangka pekuburan di tanah tinggi Mekah ternyata menyimpan sejarah ulama Nusantara, bahkan yang lebih lama. Seperti tokoh besar Hamzah Al Fansuri, yang diperkirakan hidup di abad 16, dan Mas'ud Al Jawi, yang diperkirakan dikubur di sana pada seratus tahun sebelumnya.

Orang-orang Nusantara telah lama memiliki tradisi menghormati kuburan. Sejak zaman tulisan belum ditemukan, batu-batu besar adalah penanda bagi yang hidup untuk tetap bersama mereka yang telah mati. Saat tulisan sudah lazim digunakan, lembar-lembar sejarah manusia umumnya bermula dari tulisan di atas batu nisan.

Sayangnya, berkali-kali dalam sejarah manusia, beberapa gelintir yang ingin berkuasa kerap berusaha menghapus ingatan bersama yang tertulis di atas pusara. Dalam seratus tahun terakhir kelompok yang berkuasa di Semenanjung Arabia telah mempraktikkan upaya sistematis untuk menghapus apapun yang berbentuk bangunan di atas kuburan.

Ziauddin Sardar dalam bukunya Mecca, The Sacred City (2012) melukiskan perilaku penguasa Kerajaan Saudi Arabia dalam seratus tahun terakhir sebagai ‘a horror of history’, atau sejarah yang paling seram. Jika pewayangan Nusantara memiliki simbol raksasa yang disebut Buta, maka Saudi Arabia saat ini adalah negeri yang sedang dikuasai para Buta. Buta dalam arti sesungguhnya. Mereka menutup penglihatannya dan berusaha menghapus catatan yang ada. Tidak hanya benda dan bangunan lama, bahkan naskah dan tulisan lama pun kalau bisa tidak perlu ada.

Di Ujung yang Jauh, Di Tempat yang Tinggi

Maqbarah Al Ma'lah alias Maqbarah Al Hajun adalah nama kuburan yang letaknya tidak jauh dari Masjidil Haram. Jaraknya kira-kira hanya satu kilometer di sebelah utara timur laut. Letaknya membentang di atas dataran yang berada di kaki bukit yang menuju Gunung Al Hajun. Ma'lah dalam bahasa Indonesia berarti tanah yang lebih tinggi. Sementara itu, Al Hajun atau Hujuun dalam beberapa riwayat bahasa lama hampir sama maknanya dengan kata ‘ujung’ dalam bahasa Melayu.

Di ujung yang jauh, di tempat yang  tinggi, mereka ditinggal dengan tak ada teman di sana. Demikian diungkapkan Ibnu Ishaq, penulis riwayat Muhammad yang paling awal. Kalimat itu dia gunakan untuk mengisahkan saat Ibrahim meninggalkan Hajar yang menggendong bayi ismail. Di tempat itu pula, tutur Ibnu Jarir At-Thobari, penulis riwayat Muhammad generasi berikutnya, menceritakan saat-saat Muhammad menghadapi tahun-tahun yang berat bagi pribadinya. Tahun-tahun dia menguburkan istrinya Khadija dan pelindungnya, Imran ibnu Abd Al Muttalib alias Abu Talib.

Dalam riwayat yang lain, khususnya yang diyakinii penganut ajarah Syiah, kuburan ini juga disebut sebagai Kuburan Quraisy. Leluhur Suku Quraisy yang merupakan suku Nabi Muhammad menguburkan keluarganya di sana. Mulai dari Qushay ibnu Kilab,  kakek kelima Muhammad, dikubur di sana. Kemudian kakek keempat Abdul Manaf ibnu Qusay juga di sana. Dia berputra yang ketiiga Hasyim ibnu Abdul Manaf yang kemudian berputra Syaibah ibnu Hasyim alias Abdul Muttallib. Penjaga Baitullah ini berputra Abdullah ayah Muhammad. Mereka dikuburkan di tempat ini, kecuali Abdullah.

Tragedi Kuburan Suci Kedua

Sejak Ibnu Zubair cucu dari sahabat Abu Bakkar menjadikan kota Mekah sebagai wilayah kekhalifahan tandingan penerus Muawiyah di Damaskus, banyak  pengikut Muhammad menjadikan pekuburan ini sebagai tempat istimewa. Karena menyimpan jasad para pelindung Muhammad saat hidup di Mekah, kuburan ini menjadi lebih tinggi derajatnya ketimbang yang lain. Kuburan ini menjadi kuburan suci kedua, setelah Al Baqi di Madinah tempat bersemayam Rasul Muhammad.

Tetapi di pekuburan ini, tragedi menimpa Ibnu Zubair. Dalam catatan At-Thobari, karena dianggap sebagai rival utama pewaris Bani Umayyah, cucu Abu Bakar ini harus dimusnahkan. Jenderal Hajjaj ibnu Yusuf, penguasa Irak, atas perintah Abdul Malik bin Marwan, menyerbu Mekah dengan pedang, ketapel, dan panah api.

Diriwayatkan setelah mengepung selama enam bulan, ribuan pasukan Hajjaj menyerbu dan membakar Masjidil Haram. Ibnu Zubair yang bertahan sampai akhir ditangkap dan dihinakan. Hukumannya adalah pancung dan penyaliban. Kepalanya dipenggal dan tubuhnya disalib di atas Al Ma'lah, tanah tinggi yang seharusnya disucikan.

Saksi Sejarah Tirani

Fitnah, perang, dan tragedi adalah kenyataan sejarah yang ada dalam perkembangan agama Islam sejak awal mula. Dari empat sahabat yang menjadi khalifah sepeninggal Muhammad, hanya satu yang meninggal wajar. Sisanya mati dibunuh secara gelap. Toha Hussein, sastrawan Mesir, melukiskan keadaan itu sebagai "malapetaka terbesar dalam sejarah Islam". Peristiwa itu yang kemudian dicatat sejarah sebagai Fitnah Al Kubra.

Walau demikian, dengan segala kemelut yang muncul dalam sejarah Islam lebih dari lima belas abad hingga kini, pekuburan Ma'lah di kaki bukit Hajun seperti ditakdirkan menjadi museum sejarah yang alamiah. Jasad-jasad yang tersisa dari orang-orang yang mewarnai gelap maupun terangnya perkembangan Islam sebagian terkumpul di sana. Salah satu yang paling kontroversial adalah khalifah dinasti Abbasiyah yang kedua, yakni Al Mansur.

Sejarah mencatat reputasi  Al Mansur sebagai khalifah yang berlumur darah. Di masa kekuasaannya dia membunuh jenderalnya yang berpengaruh Abu Muslim, kemudian Ja'far Al Sadiq Imam Keempat Syiah, Abu Ayyub Imam Keenam Syiah, dan pamannya sendiri, Abdullah ibnu Ali. Al Mansur sendiri diriwayatkan sebagai seorang ego maniak. Dia akan sangat murah hati dan royal jika itu menguntungkan, tetapi beralih menjadi sangat kikir jika itu merugikan.

Pendek kata Al Mansur adalah seorang tiran. Tetapi dia dimakamkan di Ma'lah. Riwayat yang dituturkan oleh Fadl Ibnu Rabi'ah dari Suriah mengatakan kalau Al Mansur meninggal saat melakukan perjalanan haji, di dekat Sumur Maimun. Dia kemudian dimakamkan di Al Hajun pada umur 65 tahun. Konon saat dia meninggal dia meninggalkan brankas berisi  600 juta dirham dan 14 juta dinar.

Kuburan Wali

Sejak abad ke-9 Hijriyah, menurut catatan Ibn Fahd, pekuburan tua ini telah menjadi favorit orang-orang yang berpengaruh. Mulai dari  bangsawan, hakim, alim ulama-ahli hadits, qari, mistikus, pengelana, hingga pejabat dan penguasa. Penjelajah Turki abad 11 H, Evliya Celebi mencatat adanya 75 makam di tempat ini yang memiliki kubah. Di antara semua itu, yang paling besar adalah Kubah Khadijah al Kubra. Bangunan ini dibangun atas inisiatif Sultan Sulaiman Al Qanuni atau Sulaiman Pertama dari Dinasti Turki Usmani pada abad ke-8 H. Konon dia terinspirasi Khalifah Abdul Malik dari Dinasti Umayyah yang melakukan hal itu setelah merebut Mekah dari kekuasaan Ibnu Zubair.

Salah satu catatan modern tentang kuburan istimewa ini datang dari seorang Nawab Kerajaan Bhopal India. Dia adalah Nawab Sikandar Begum yang melakukan perjalanan haji pada1863 M. Perjalanan haji yang disertai 1.000 orang pengiring itu mencatat beberapa catatan menarik tentang Kuburan Wali di Ma'la. Yang pertama adalah kuburan Abdur Rahman putra Abu Bakkar, kemudian kuburan leluhur Bir Al Eidrus, kuburan 'Ulwan, kubur Umar A'rabi. Kemudian kuburan Syeikh Farid Al Gharib. Ada pula kuburan Syeikh Abdul Wahab dan Sayid Nu'amai. 

Kuburan Ulama Nusantara

Mbah Moen, salah seorang ulama senior Indonesia telah memilih untuk dimakamkan di Ma'la. Dia dimakamkan di sana agar dekat dengan guru-gurunya saat dia menempuh ilmu agama di masa muda. Konon sebelum Mbah Moen juga dikuburkan di sana Syekh Muhammad Yasin Al Fadani, anak dari Muhammad Isa Al Fadani, yang berasal dari Padang. Dia adalah salah seorang guru Mbah Moen yang masih berdarah Batak.

Kuburan Ma'la juga menjadi tempat terakhir bagi dua ulama asal Banten yang terkemuka di akhir abad 19. Mereka adalah Syekh Nawawi Al-Bantani dan Syekh Abdul Karim Al-Bantani. Siapa sangka pekuburan di tanah tinggi Mekah ternyata menyimpan sejarah ulama Nusantara bahkan yang lebih lama. Penelusuran Claude Gillot dan Ludvik Galus terhadap inskripsi makam-makam di Hejaz memperlihatkan bahwa tokoh besar Hamzah Al Fansuri, yang diperkirakan hidup di abad 16 juga dikuburkan di sana. Tidak hanya itu penelusuran jejak nasab al Jawi dalam manuskrip dari Yaman menemukan nama Mas'ud Al Jawi yang juga dikuburkan di sana, pada perkiraan waktu seratus tahun sebelumnya. (Y-1)