Indonesia.go.id - Rabeg, Masakan Kesukaan Sultan Banten

Rabeg, Masakan Kesukaan Sultan Banten

  • Administrator
  • Kamis, 26 November 2020 | 08:15 WIB
KULINER
  Rebeg Banten. Dagingnyaya berasal kambing muda. Foto: Banten Travel

Campuran rempah yang khas membuat masakan ini mengeluarkan aroma nikmat dan menggugah selera siapa saja yang mencobanya.

Ada satu jenis masakan yang hanya bisa kita temui di Provinsi Banten. Cita rasanya begitu gurih karena selain berbahan dasar daging atau jeroan kambing, juga diperkaya oleh campuran rempah seperti biji pala, lada, kayu manis, jahe, dan lengkuas. Tidak itu saja, cita rasanya semakin terasa dengan adanya bumbu utama yaitu bawang merah, bawang putih, cabai, gula merah, atau kecap manis.

Sepintas, masakan ini mirip dengan tengkleng namun memberikan aroma yang kuat seperti hidangan khas Timur Tengah. Masakan ini dikenal sebagai rabeg oleh masyarakat Banten dan mudah dijumpai di kedai-kedai makan di Kota Serang dan Cilegon.  Jika kita tidak suka daging kambing karena bau khasnya, maka bisa diganti dengan daging sapi meski tak sedikit pula dari masyarakat di Serang yang mencampurkan kedua jenis daging itu dalam semangkuk.

Sebelum diolah menjadi sebuah masakan, daging harus dipotong kecil-kecil kemudian direbus agar bagian lemak pada daging bisa terangkat dan daging menjadi lebih empuk. Setelah itu, daging rebus tadi diangkat dan ditiriskan. Kemudian pada tahap berikutnya, daging rebus tersebut dimasukkan ke dalam tumisan bumbu rempah yang sudah dihaluskan. Jangan lupa untuk menuangkan sedikit air kaldu rebusannya ke dalam tumisan dan biarkan hingga air rebusan mengental dan menyatu dengan potongan-potongan daging. Supaya bau prengus khas daging kambing hilang, kita bisa menambahkan daun salam dan bunga lawang ke dalam masakan untuk menimbulkan sensasi harum.

 

Sejarah Panjang

Tak banyak yang tahu bahwa masakan ini memiliki sejarah panjang. Lewat buku Jejak Kuliner Arab di Pulau Jawa, dua penulis dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia, yakni Gagas Ulung dan Deerona, mengisahkan mengenai masakan rabeg yang menjadi salah satu bagian tulisan di buku terbitan 2014 itu.

Menurut mereka, rabeg sendiri tak akan pernah hadir di Banten sekiranya Sultan Maulana Hasanuddin tak berkelana ke tanah Arab untuk menunaikan ibadah haji. Sultan Maulana adalah putra sulung dari Sunan Gunung Jati dari Kesultanan Cirebon. Dia merupakan penguasa Kesultanan Banten bergelar Pangeran Sabakinking yang memerintah antara 1552 hingga 1570.

Setelah berlayar selama beberapa waktu dari Banten menuju Arab Saudi, maka ia dan rombongan tiba di pelabuhan Kota Rabigh yang terletak di tepi Laut Merah. Rabigh sendiri adalah sebuah kota kuno yang sebelumnya bernama Al Juhfah dan saat ini masuk dalam wilayah Jedah, Provinsi Mekah, Arab Saudi.

Pada awal abad ke-17, sebuah tsunami besar menghancurkan kota tersebut. Namun beberapa waktu setelah kejadian itu, Al Juhfah dibangun kembali dan justru menjelma menjadi sebuah kota yang sangat indah. Sultan Maulana Hasanuddin begitu mengagumi keindahan Rabigh dan kerap menghabiskan waktu berkeliling kota.

Saat menikmati suasana kota, Sultan Maulana Hasanuddin sempat mencicipi satu masakan berbahan dasar olahan daging kambing dan menyukai kuliner tersebut. Usai melaksanakan ibadah haji dan pulang ke Banten, Sultan Maulana Hasanuddin tak bisa lupa dengan kenangan akan kota di tepi Laut Merah tadi, terutama kelezatan masakan olahan daging kambingnya. Agar kerinduan akan Rabigh itu terobati, ia pun meminta juru masak istana membuatkan masakan seperti yang dia cicipi di Rabigh. Meski tidak sama persis, masakan karya juru masaknya tetap disukai Sultan.

Sejak saat itu kuliner ala Rabigh itu menjadi hidangan wajib di Istana Kesultanan Banten. Masakan itu pun dinamai rabigh dan seiring berjalannya waktu resep rabigh pun menyebar hingga ke seluruh Banten. Masyarakat ikut menyukai masakan favorit sultan mereka dan kata rabigh pun berubah menjadi rabeg sampai hari ini.

Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Banten Eneng Nurcahyati mengatakan bahwa rabeg sudah menjadi sajian yang melegenda di Banten. Karena bukan hanya terkait kelezatannya, tetapi juga nilai historisnya yang tak bisa dilepaskan dari Banten.

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Editor: Firman Hidranto/Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini

Berita Populer