Sebuah stan Festival Danau Sentarum di Lanjak Kapuas Hulu 25-27 sempat menyedot perhatian wisatawan yang hadir di acara. Di stan tersebut ada mascot rangkong dan juga terpampang gambar-gambar dan cerita tentang burung rangkong. Juga di stan diputar video ekspedisi National Geography mengenai burung langka ini.
Di dalam stan, sejumlah pemuda sibuk menjelaskan kepada pengunjung melayani foto bersama. Para pemuda tersebut adalah para penggiat pelestari burung rangkong. Mereka membentuk organisasi untuk penyelamatan burung rangkong atau burung enggang. Organisasinya bernama Rangkong Indonesia yang merupakan salah satu kegiatan dari Rekam Indonesia yang berbasis di Bogor. Mereka selama ini melakukan penelitian, dokumentasi, dan sosialisasi ke masyarakat Kalimantan Barat untuk bersama-sama mencegah kepunahan burung rangkong.
Rangkong Indonesia hadir untuk membantu konservasi burung rangkong di Indonesia dengan melibatkan banyak pihak strategis untuk menuju satu visi, yaitu memastikan rangkong tetap hidup demi lestarinya hutan di Indonesia. Tidak hanya dalam ranah penelitian dan investigasi, Rangkong Indonesia juga melakukan edukasi dan sosialisasi demi meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat akan pentingnya peran rangkong dalam rantai ekosistem.
Di dunia ada 62 jenis rangkong atau enggang tersebar mulai dari Afrika (30 jenis) hingga Asia (32 jenis). Dari total 32 jenis di Asia, 13 jenis berada di Indonesia; tiga jenis di antaranya bersifat endemik. Persebaran terbanyak di Indonesia berada di Pulau Sumatra dengan sembilan jenis yang menduduki peringkat pertama, delapan jenis di Pulau Kalimantan, dan tiga jenis di Pulau Jawa. Sedangkan, Kawasan Wallacea dan Papua memiliki empat jenis rangkong atau enggang ini. Tiga di antaranya termasuk spesies endemik yaitu julang sumba (Rhyticeros everetti), julang sulawesi (Rhyticeros cassidix) dan kangkareng sulawesi (Rhabdotorrhinus exarhatus).
Rangkong atau enggang merupakan salah satu jenis burung bertubuh besar dengan panjang tubuh bervariasi antara 65-170 cm dan berat tubuh 290-4200 gr. Burung jantan memiliki warna bulu yang lebih mencolok dan ukuran tubuh yang lebih besar daripada betina. Hampir seluruh tubuh tertutup oleh bulu dengan berbagai warna, seperti hitam, abu-abu, putih, dan sedikit variasi warna lain (kuning dan merah) pada bagian kulit leher, kepala, dan lingkar mata.
Dalam memenuhi nutrisi, rangkong di Asia 99% makan buah-buahan atau bersifat frugivora. Namun saat musim berbiak atau sumber buah sedikit, rangkong cenderung memakan binatang lain atau bersifat omnivora. Sedangkan enggang di Afrika cenderung mengandalkan makanannya dari serangga.
Hardiyanti, atau akrab dipanggil Dian, bercerita tentang apa yang dilakukan organisasinya dalam upaya pelestarian rangkong. Mereka keluar masuk hutan dan kampung-kampung di sekitar hutan untuk mengamati, meneliti sekaligus menyadarkan masyarakat tentang pentingnya menjaga keberadaan burung rangkong.
Ia bercerita kadang sudah jauh jauh masuk hutan, sudah mengendap endap di dalam hutan berjam-jam, tapi tak jumpa burung yang dicarinya. Tak selamanya pencarian dan pengamatannya berbuah manis. “Kadang hanya dengar bunyi nya saja. Tak pernah terlihat burungnya.”
Dalam situs www.rangkong.org , disebutkan balung rangkong gading yang unik dan padat membuat perdagangan satwa iconic ini melonjak tinggi. Pada tahun 2012-2013 diperkirakan ada 6.000 ekor rangkong gading yang mati untuk diambil balungnya.
Burung rangkong berhubungan erat dengan budaya luhur sebagian masyarakat Indonesia. Ditemukannya relief burung enggang di Candi Prambanan menjadi salah satu bukti.
Di Kalimantan, masyarakat Dayak menganggap enggang sebagai lambang kesucian dan kekuatan. Mereka kerap berkomunikasi dengan leluhur melalui perantaraan enggang. Bagi masyarakat Kalimantan Barat, burung istimewa ini dipercaya sebagai tingang, tajak, atau tajay atau simbol “alam atas” yaitu alam kedewataan.
Masyarakat Dayak juga mempercayai bahwa konon roh alam yang melindungi Pulau Kalimantan dan masyarakat Dayak sering menampakkan diri dalam wujud rangkong raksasa; dikenal sebagai Panglima Burung.
Beberapa daerah di Indonesia telah menjadikan enggang sebagai maskot kebanggaan daerah. Provinsi Kalimantan Barat memilih engang gading, sementara Provinsi Sulawesi Selatan memilih julang sulawesi.
Seluruh jenis enggang di Indonesia termasuk dalam daftar satwa yang dilindungi. Menurut daftar merah IUCN, dari 13 jenis enggang yang tersebar di Indonesia, satu di antaranya berada dalam status Critically Endangered (CR) yakni terancam punah, tiga jenis berstatus Vulnerable (VU) atau dalam kondisi rentan, empat jenis berstatus Near Threatened (NT) atau dalam kondisi hampir terancam, serta lima jenis lainnya berstatus Least Concern (LC); belum masuk daftar satwa terancam punah.
Rangkong gading (Rhinoplax vigil) adalah jenis yang menduduki posisi satu tahap menuju punah, atau Critically Endangered (CR). Status ini meningkat hanya dalam waktu 3 tahun, dari Near Threatened (NT) menjadi Critically Endangered (CR) akibat maraknya perburuan dan hilangnya hutan sebagai habitat fangkong gading.
Rangkong gading, burung sangat besar dengan bulu ekor bagian tengah memanjang. Dari ujung paruh sampai ujung ekor, panjangnya mencapai 190 cm dengan bentang sayapnya 90 cm dan berat tubuh 3 kg. Dengan ciri khas yakni kulit leher tanpa bulu berwarna merah pada jantan dan putih kebiruan pada betina. Kemudian memiliki paruh simetris dan meruncing pada bagian ujungnya. Cula atau balung (casque) di bagian atas paruhnya padat berisi, dengan berat mencapai 13% dari berat tubuhnya.
Rangkong memilih pohon berukuran besar dan mencari lubang yang berada di ketinggian 20-50 meter di atas permukaan tanah. Masa pengeraman telur setiap jenis enggang bervariasi. Untuk jenis yang berukuran kecil, waktu pengeraman 25 hari, sedangkan yang berukuran besar bisa mencapai 150 hari. Contohnya, julang emas memiliki masa pengeraman selama 40 hari, sedangkan rangkong cula 37-46 hari dan rangkong gading memiliki masa berbiak terpanjang; 150 hari. Periode perkembangbiakan dapat 6 bulan sekali.
Selama bertelur, rangkong gading betina akan mengurung dirinya di sarang dan bulunya meluruh untuk dijadikan alas yang menjaga kehangatan telur. Kondisi ini membuat betina tidak bisa terbang sampai anak siap keluar dari sarang. Keluarga rangkong gading pun harus bergantung pada jantan untuk mengantarkan makanan. Jadi, bisa dikatakan bahwa membunuh satu ekor jantan rangkong gading sama dengan membunuh satu keluarga rangkong gading di alam.
Rangkong gading adalah satu jenis rangkong istimewa yang ada di Indonesia. “Gading” pada paruh burung ini yang sangat bernilai tinggi membuatnya menjadi target para pemburu. Paruhnya diperdagangkan ke pasar gelap internasional.
Beberapa tahun terakhir, tercatat bahwa permintaan dan aktivitas perdagangan paruh rangkong gading meningkat signifikan. Hal ini membuat populasi rangkong gading terancam kepunahan. Spesies ini juga masuk ke dalam daftar Appendiks I Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Tumbuhan dan Satwa Liar Terancam (CITES) dan dikategorikan sebagai spesies dengan status ‘Kritis’ oleh International Union for Conservation of Nature (IUCN)
Data KLHK bersama Rangkong Indonesia dan Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS-IP), sepanjang 2011 hingga 2017, penegak hukum telah berhasil menyita 1.347 paruh rangkong gading. Bahkan menurut data Kehati dan TFCA, selama tahun 2012-2016 telah disita 2.447 paruh rangkong. Dan pada 19 Juli 2019 telah digagalkan 72 paruh rangkong gading yang akan dikirim ke hongkong. Paruh burung dewasa harganya bisa mencapai Rp9 juta per ekor.
Kesadaran masyarakat sangat penting untuk penyelamatan burung besar ini. Aturan dan pelarangan yang sudah ada harus dilaksanakan oleh aparat keamanan. Upaya sekecil apapun dalam upaya penyelamatan burung rangkong akan sangat berguna dan penting. (E-2)