Indonesia.go.id - Kalpataru, 40 Tahun Mengapresiasi Pahlawan Lingkungan

Kalpataru, 40 Tahun Mengapresiasi Pahlawan Lingkungan

  • Administrator
  • Selasa, 5 Januari 2021 | 01:13 WIB
KEANEKARAGAMAN HAYATI
  Penyerahan penghargaan Kalpataru kepada perintis, pengabdi, penyelamat dan pembina lingkungan pada puncak peringatan Hari Lingkungan HidupĀ . Foto: ANTARA FOTO

Penghargaan Kalpataru diberikan kepada sosok-sosok luar biasa yang mengabdikan hidupnya untuk upaya pelestarian dan penyelamatan lingkungan tanpa pamrih.

Suatu benda berwarna keemasan berbentuk akar mirip bola sepak. Uniknya, akar ini tumbuh pada bagian atas dan bawah. Benda ini adalah sebentuk penghargaan yang diberikan pemerintah kepada orang atau kelompok masyarakat karena jasanya terhadap pelestarian lingkungan di Indonesia. Benda ini bernama Kalpataru. 

Kalpataru diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti ‘pohon kehidupan’ atau ‘Kalpavriksha’. Penghargaan Kalpataru terdiri dari empat kategori, yaitu Perintis Lingkungan yang diberikan kepada warga masyarakat yang berhasil merintis pengembangan dan pelestarian fungsi lingkungan hidup secara luar biasa dan merupakan kegiatan baru yang belum dilakukan di wilayah tempat warga tersebut berdiam. Penghargaan kategori ini tidak ditujukan kepada pegawai negeri sipil atau tokoh masyarakat. 

Kemudian ada penghargaan kategori Pengabdi Lingkungan yang ditujukan kepada petugas lapangan, seperti penyuluh lapangan penghijauan, penyuluh lapangan, tenaga kesehatan, jagawana, penjaga pintu air, dan pegawai negeri sipil. Mereka bertugas mengabdikan diri melestarikan fungsi lingkungan hidup yang jauh melampaui kewajiban dan tugas pokoknya serta berlangsung cukup lama.

Masih ada penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan yang diberikan kepada kelompok masyarakat, baik informal seperti kelompok masyarakat adat maupun formal seperti LSM, lembaga penelitian, dan lembaga pendidikan, yang berhasil melakukan upaya-upaya pelestarian fungsi lingkungan hidup atau pencegahan kerusakan dan pencemaran serta penyelamatan lingkungan hidup.

Terakhir adalah penghargaan Kalpataru untuk kategori Pembina Lingkungan yang diberikan kepada pejabat, pengusaha, peneliti, atau tokoh masyarakat yang berhasil dan memiliki prakarsa untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup. Mereka juga ikut memberi pengaruh untuk membangkitkan kesadaran lingkungan serta peran masyarakat guna melestarikan fungsi lingkungan hidup. Tak hanya itu, mereka dinilai berhasil menemukan teknologi baru yang ramah lingkungan, seperti pejabat, pendidik, budayawan, seniman, wartawan, peneliti, pengusaha, manajer, tokoh lembaga swadaya masyakat, tokoh agama, dan lain-lain. Penghargan ini baru diberikan pada 1990.

Penghargaan Kalpataru diberikan pertama kali pada 1980 oleh Presiden Kedua RI Soeharto di Istana Negara. Saat itu, penghargaan ini diberi nama "Hadiah Lingkungan" dan baru setahun kemudian namanya berganti menjadi Kalpataru. Pada 1981, sebanyak enam individu dari lima provinsi menerima Kalpataru kategori Perintis Lingkungan dan kategori Penyelamat Lingkungan diberikan kepada Pondok Pesantren Nuqoyah di Kabupaten, Sumenep, Madura, Jawa Timur. Namun belum ada yang menerima Kalpataru untuk kategori Pengabdi Lingkungan.

 

Sosok Luar Biasa

Selama 40 tahun penghargaan ini diberikan pemerintah, sudah ada 388 pihak yang pernah menerimanya. Mereka terdiri dari 114 penerima untuk kategori Perintis Lingkungan, 116 penerima kategori Penyelamat Lingkungan, 99 nama untuk kategori Penyelamat Lingkungan. Terakhir adalah 59 nama untuk Kalpataru kategori Pembina Lingkungan.

Dalam perjalanannya terdapat sejumlah nama yang begitu mengabdikan diri bagi pelestarian lingkungan. Sebut saja Nyi Eroh asal Kota Tasikmalaya, Jawa Barat. Ia merupakan perempuan pertama penerima Kalpataru kategori Perintis Lingkungan pada 1988. Ia berjuang seorang diri membangun saluran air sepanjang 5 kilometer untuk menyelamatkan pasokan air bagi 60 hektar persawahan di tiga desa. Tak hanya itu, atas jerih payahnya, puluhan keluarga pemilik lahan sawah tadi berhasil menikmati pasokan air sepanjang tahun.    

Ada juga nama Soleman Ngongo yang telah mengabdikan diri selama 40 tahun menjaga dan merawat 240 pintu air primer, 140 pintu air sekunder, dan 160 pintu air tersier di Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Tak hanya itu, meski penghasilannya sangat minim sebagai penjaga pintu air, Soleman masih menyempatkan diri menanam pohon-pohon untuk reboisasi hutan di wilayahnya. Ia mendapatkan Kalpataru kategori Pengbdi Lingkungan pada 2011 di Istana Negara.    

Terdapat pula nama pakar primata dunia asal Kanada, Birute Marija Filomena Galdikas yang selama 51 tahun bergulat meneliti dan melakukan konservasi terhadap orangutan Kalimantan, salah satu satwa maskot Indonesia. Ia pertama kali meneliti orangutan Kalimantan di Cagar Alam Tanjung Puting, Kalimantan Tengah pada 1971, bersama Rod Brindamour, seorang fotografer. Upaya-upaya penelitian, penyelamatan, dan pelestarian primata jenis kera besar ini membawanya menerima Kalpataru kategori Pembina Lingkungan pada 1997. 

Untuk 2020, pemerintah memberikan Kalpataru bagi 10 tokoh dan kelompok masyarakat karena keberhasilannya dalam melestarikan lingkungan. "Kita bersyukur karena masih memiliki pejuang-pejuang lingkungan yang mengabdikan hidupnya untuk melestarikan lingkungan hidup dan kehutanan," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar di Jakarta, Senin (21/12/2020). 

Siti Nurbaya menilai, melalui Kalpataru ini masyarakat dapat melihat contoh nyata yang telah ditunjukkan oleh para pejuang lingkungan. Peran mereka telah memberikan dampak bagi kelanjutan ekologi, sosial, dan kesejahteraan masyarakat. Bagi sosiolog Imam Prasodjo, para penerima Kalpataru merupakan sosok luar biasa karena mampu keluar dari zona nyaman untuk menemukan solusi melestarikan alam. 

"Mereka adalah sosok-sosok yang berani mendobrak pakem, menjadi pendorong tumbuhnya harapan positif di tengah situasi sulit saat ini. Kita sangat membutuhkan orang-orang seperti mereka di negeri ini," kata anggota Dewan Pertimbangan Penghargaan Kalpataru.

 

 

Penulis: Anton Setiawan
Editor: Eri Sutrisno/ Elvira Inda Sari
Redaktur Bahasa: Ratna Nuraini