Pegunungan Muria Jawa Tengah pada era 1970 sampai 1980-an, lerengnya penuh tumbuh pohon randu. Jika randu mulai berbunga, itu pertanda hadirnya musim hujan dan jika kulit buah pohon yang mirip jagung itu mulai pecah dan jatuh ke tanah, itu bertanda musim kemarau segera datang.
Angin akan menerbangkan kapuk yang ringan itu ke udara seperti halnya salju yang melayang. Kala itu, randu mudah ditemukan di pinggir jalan di beberapa kota di Jawa Tengah seperti Kudus, Pati, Jepara dan berjajar sampai jalan-jalan desa. Desa Trungkal, Tayu, Bangsri, Karaban sampai Juwana di Pati penuh dengan randu.
Di beberapa bukit sampai gunung Muria, randu ditanam selain untuk buah kapuknya, juga pohon peneduh bagi tanaman di bawahnya. Randu juga berfungsi sebagai pencegah erosi di lereng-lereng gunung. Beberapa jalan di Bogor, Jawa Barat, juga pernah penuh dengan pohon randu sepanjang jalannya.
Pohon randu adalah tanaman multifungsi. Buahnya menjadi kapuk pengisi kasur, seratnya yang kasar bisa menjadi bahan dasar matras, lapisan dalam jas hujan, bahan penahan panas dan peredam suara. Biji buahnya yaitu klentheng diolah menjadi minyak pelumas dan minyak lampu.
Bungkil biji bisa dipakai untuk pakan ternak. Masyarakat Filipina dan Thailand sangat menyukai daun, bunga dan buahnya yang masih muda karena bisa dimakan. Daun mudanya banyak mengandung kalsium. Kulit buahnya sering dijadikan bahan bakar untuk memasak. Daun, akar pohon randu bisa dibuat obat diare dan lain-lain dengan cara merebusnya.
Sentra-sentra penghasil kapuk semisal desa Karaban, Kecamatan Gabus, Pati, dimana kapuk menjadi mata pencaharian utama, masyarakat sehari-hari sibuk dengan memunguti kapuk yang matang dan jatuh ke tanah. Jika sudah terkumpul mereka akan sibuk dengan mesin pres. Kapuk yang sudah dipres itu dikirim ke pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara. Masyarakat di pulau-pulau itu membutuhkan kapuk dari Jawa sebagai bahan untuk membuat kasur. Dulu, pasar lokal selalu menanti kapuk asal Pati itu.
Tak hanya itu, Indonesia juga mengekspor bungkil biji kapuk. Jadi biji kapuk yang sudah diolah menjadi minyak pelumas itu meninggalkan ampas. Ampas ini kemudian dibersihkan dan diolah lagi dengan beberapa perasa sehingga menjadi pakan ternak. Negara seperti Korea Selatan mendatangkan pakan ternak dari bahan bungkil biji randu dari Indonesia sampai sekarang.
Di Indonesia, pohon randu yang tahan terhadap cuaca kering ini banyak ditemukan di beberapa kota yang sudah disebut diatas (Kudus, Pati dan Jepara), juga Mojotengah, Pasuruan, Jawa Timur. Di beberapa negara seperti Amerika Serikat (AS), Filipina, Malaysia, dan Thailand, pohon kapuk randu juga banyak ditemukan. Negara asal kapuk adalah Amerika Selatan.
Berbeda dengan pohon kapas yang merupakan perdu dan tingginya tak lebih dari 2 meter, pohon randu tinggi menjulang tanpa cabang dan bisa mencapai 60 -70 meter dan berdiameter 1- 3 meter. Jika menjadi tanaman budidaya, pohon randu hanya mencapai 10-30 meter dan berdiameter lebih kecil. Akar kapuk melintang horizontal di permukaan tanah. Kadang di batang pohonnya tumbuh duri. Kapuk dan biji kapuk punya kandungan minyak tinggi dibanding kapas dan berserat lebih kasar dibanding kapas. Karena itu kapas lebih cocok untuk bahan pakaian, dan kapuk untuk kasur.
Pohon randu berbuah setelah 4-5 tahun tumbuh dan punya nilai ekonomis sepanjang 60 tahun masa hidupnya. Tumbuh subur di wilayah yang punya ketinggian maksimal 500 meter dari permukaan tanah dan bercurah hujan 1500- 2000 mm / tahun.
Kebutuhan Dunia Pada Biji dan Bungkil Randu bakal Naik
Kapuk Jawa mulai ditanam pada masa kolonial Belanda yaitu sekitar 1900-an. Pada tahun 1928 mulai dikirim ke beberapa negara. Mencapai puncaknya pada tahun 1936-1937 dimana kapuk Jawa mampu memenuhi 85% kebutuhan dunia. Saingan utamanya adalah kapuk dari Thailand.
Pada saat Indonesia merdeka, sampai era tahun 1990-an, kapuk Jawa masih berproduksi dengan baik untuk pasar lokal. Mereka menggunakannya terutama sebagai kasur tidur. Namun pada era 2000-an, dimana industrialisasi berada pada masa puncak, kebutuhan masyarakat pada kapuk Jawa berangsur turun. Jika dulu masyarakat banyak memakai kasur dari kapuk, kini mereka lebih senang kasur dengan bahan dasar busa dan pegas.
Para petani juga mulai enggan menanam kapuk terutama karena dia hanya bisa dipanen sekali dalam setahun, meski Balai Penelitian Tanaman Pemanis dan Serat (Balittas) Balitbangtan Kementrian Pertanian masih rajin memperkenalkan bibit-bibit unggul kapuk Jawa. Petani di Gabus, Pati, dan penghasil kapuk randu lainnya kini lebih suka menanam tanaman musiman seperti ketela pohon atau palawija lainnya karena lebih cepat mendatangkan uang dibanding randu.
Sejak itulah banyak batang pohon randu ditebang untuk bahan utama pembangunan rumah penduduk. Masyarakat tidak lagi menggantungkan hidupnya pada produksi pohon randu. Pabrik pengolahan biji randupun mengalami penurunan produksi dan banyak yang berhenti beroperasi. Jika tahun 1990-an produksi kapuk randu bisa mencapai 80 ribu ton dengan nilai ekspornya mencapai 28 ribu ton pertahun, maka pada tahun 2012 nilai ekspor itu menurun tajam menjadi hanya 1500 ton pertahun saja.
Mungkin masa emas pohon randu memang sudah berlalu, tapi belum berakhir. Industri ini masih potensial untuk bangkit lagi. Kapuk randu masih diperlukan untuk industri bahan kedap suara dan bahan lainnya yang butuh penahan cuaca, terutama karena seratnya yang jauh lebih kuat dibanding kapas. Minyak pelumas dari biji randu dan bungkilnya pun masih dinanti dunia untuk segera diproduksi secara besar-besaran. (K-CD)